"Pak, saya boleh minta alamatnya Mas Awan? Sepertinya nanti sore saya akan menemuinya langsung."
"Apa nanti mau ikut bapak saja? Toh kami bertetangga, biar bapak antarkan," tawar Pak Dito padaku sembari berjalan ke arah tempatku duduk.
"Tidak usah, Pak. Saya berencana datang sore agak malaman dikit. Ada yang perlu saya urus dulu," kilahku.
Pak Dito hanya mengangguk dan tak memperpanjangnya lagi. Beliau menuliskan alamat yang kupinta di secarik kertas yang telah kusiapkan.
"Hati-hati di daerah sana, Bu. Banyak preman. Berhubung rumahnya Awan tidak ada nomor pagar, bukan seperti perkotaan, jadi Ibu harus bertanya ke orang-orang yang tinggal di daerah itu. Tapi, Ibu harus berhati-hati dengan para preman di sana. Mereka senang mengganggu perempuan yang lewat," jelas Pak Dito. Peringatan yang serius itu membuatku sedikit was-was. Semoga saja tidak ada hal buruk yang akan terjadi nanti.
Jam berjalan dengan cepat, seperti biasanya. Hanya ada dua pasien hari ini. Dua orang gadis yang patah hati karena dikhianati kekasih. Terkadang aku heran, kenapa harus memberikan seluruh hati jika kekasihnya itu bahkan belum berani membuat hubungan yang serius di antara mereka. Jika belum menikah, jangan pernah sesekali memberikan 99 persen hatimu kepada pasanganmu. Karena ketika hati itu dipatahkan, para perempuan akan hancur seketika. Tapi lelaki? Mereka mungkin akan melanglang buana mencari yang baru. Cintai sekedarnya saja, tidak perlu berlebihan.
Klinik sudah tutup, sekarang aku tinggal berkemas untuk mengunjungi alamat yang diberikan oleh Pak Dito. Kata beliau, Mas Awan tidak berjualan lagi semenjak ditinggal oleh ibunya. Jadi, kemungkinan besar aku bisa bertemu dengan lelaki itu di rumahnya.
Baiklah, ojek pesananku sudah sampai. Kenapa kali ini aku memesan ojek dan bukan taksi? Karena alamat rumahnya Mas Awan berada di kompleks dengan gang yang tidak akan muat oleh mobil. Dari pada harus berjalan kaki jauh, lebih baik memesan ojek sebagai transportasiku.
15 menit perjalanan yang aku dan Bang Ojol tempuh. Daerah yang tidak dapat dilalui dari jalan raya membuat kami tidak perlu berurusan dengan macetnya jalan karena jam pulang kantor. Namun, jalan menuju kompleks tujuan sungguh buruk. Banyak lubang-lubang di jalanan. Selain itu, anak-anak berlarian ke sana ke mari, membuat ojek yang kutumpangi tidak dapat mengebut.
Aku turun dari ojek, melihat ke arah sekitar. Hatiku benar-benar terenyuh melihat kondisi perumahan di sini. Rumah yang dibangun dari tripleks dan kardus. Beberapa lubang di jalan dengan genangan air usai diguyur hujan semalam terlihat seperti kolam mandi bebek. Alangkah nikmatnya hidupku daripada kondisi mereka ini. Ya Allah, terkadang aku hanya iri dengan orang-orang di atas, namun lupa mengintip ke bawah.
Abang ojek berhenti di depan gerbang kompleks. Menurut informasi dari Pak Dito, setelah gerbang ini, harusnya tidak jauh lagi aku bisa menemukan pemilik rumah yang kucari. Lebih baik aku mencarinya dengan berjalan kaki saja.
Lingkungan ini benar-benar kumuh dan sedikit bau (maksudnya lebih dari sedikit). Ada beberapa wanita mengenakan pakaian seksi melenggak-lenggokkan pantatnya yang aduhai lewat di jalanan. Mataku tercengang melihat pemandangan itu. Tanpa sadar, ekor mataku terus melirik ke arah beberapa wanita yang sedang berjalan sambil bercengkerama dengan sesamanya itu.
"Kenapa lihat-lihat?" bentak salah satu wanita yang mengenakan rok merah itu. Aku terkejut dengan bentakan itu. Nafasku seperti tertahan karena merasa sedikit takut.
"Oh, maaf Mbak. Saya mau tanya alamat rumahnya Mas Awan," sahutku dengan sedikit gelagapan.
Mereka saling memandang satu sama lain. Hingga ada salah satu yang akhirnya memberiku jawaban.
"Oh, Awan anaknya Cek Laras? Kau lurus saja, nanti setelah rumah warna hijau itu belok kanan. Lurus lagi, di sebelah kiri ada gang kecil, sebelah kanan gang kecil itu, rumah terakhir adalah rumahnya," sahut wanita berbaju merah jambu dengan intonasi yang lebih bersahabat.
"Terima kasih ya, Kak." Aku segera berpamitan dengan mereka untuk mencari alamat yang kutuju. Sebenarnya arah yang ditunjuk tadi sedikit susah untuk diingat. Apalagi setelah berjalan beberapa meter, terdapat banyak belokan dan gang di sekitarku. Aku semakin bingung.
"DEK! Kalau ada preman yang godain, jangan ditanggapi ya. Kau terus saja jalan," teriak wanita yang berbaju merah jambu tadi memberi peringatan.
"Ngapain lo sok baik sih sama orang asing?" Sayup-sayup aku mendengar temannya yang lain menegur perempuan yang baru saja berteriak padaku, tapi tak sempat kuhiraukan obrolan mereka. Aku harus terus berjalan, sebelum kegelapan malam menghampiri.
Sampai saat ini, sudah berapa kali aku mendapatkan peringatan untuk berhati-hati dengan preman yang berada di sini. Namun, sampai sejauh ini belum terlihat satu preman pun yang berkeliaran. Ah, mungkin saja mereka sedang nongkrong di warung kopi.
Aku terus saja berputar-putar di kompleks ini. Kenapa tidak ada orang yang keluar rumah pada jam segini sih? Suasana kompleks ini benar-benar sepi, tak ada batang hidung yang muncul. Sama siapa aku bisa bertanya lagi? Haduh, seharusnya kuterima saja tawaran Pak Dito untuk mengantarku langsung. Nasi sudah menjadi bubur.
Eh, ada orang yang lewat. Tapi, cara mereka berpakaian terlihat menakutkan. Celana yang sobek-sobek, kemeja jeans, dan beberapa pernak pernik leher yang dikenakan. Sepertinya mereka adalah preman di kompleks ini. Kamu harus menghiraukannya, Rin. Tapi, jika aku tidak bertanya pada mereka, tidak ada orang yang berlalu lalang di sekitar sini. Sebaiknya kuberanikan diri saja biar urusan ini cepat kelar. Tarik napas, keluarkan perlahan.
"Permisi, Bang. Saya ingin menanyakan alamatnya Awan."
"Kau pacarnya Awan tengil itu rupanya? Katanya tidak ingin bermain perempuan. Benar-benar najis itu si Awan. Rupanya dia punya cewek juga, cantik pula," celoteh pria dengan rambut kuncir dan kalung rantai di leharnya.