"Bagaimana kemarin sore, Bu?" tanya Zara dengan matanya yang menyiratkan rasa ingin tahu yang tinggi. Seperti biasa, dia masuk ke dalam ruanganku tanpa aba-aba.
"Nanti dia akan ke sini, kami akan membicarakan rencana pernikahan. Alangkah lebih baik kalau ada Pak Dito dan kamu, Ra. Setidaknya aku bisa terbantu dari orang yang lebih berpengalaman. Kamu juga pasti sangat membantu kok, Ra," jawabku lantas menyuruhnya kembali ke meja kerjanya.
Hari kerja berjalan seperti hari-hari biasanya. Tidak seperti pasangan pada umumnya yang sangat menanti-nanti kehadiran sang kekasih, aku malah bersikap biasa saja. Tak ada yang berubah padaku, pada perasaanku.
Sore itu, aku memberitahunya untuk datang ke klinik saat jam istirahat. Setidaknya, ketika aku luang dari kunjungan pasien yang datang. Jika jam pulang nanti, Pak Dito dan juga Zara tentu saja tidak bisa kutahan. Atasan macam apa yang menambah jam kerja pegawainya hanya untuk urusan pribadi? Mereka juga pasti memiliki urusan pribadi masing-masing yang lebih penting.
"Bu, saya mau beli nasi padang di persimpangan sana. Pak Dito nitip, Ibu juga mau nitip?" tanya Zara yang muncul dari balik pintu ruanganku.
"Saya titip dua bungkus ya, siapa tau Mas Awan juga belum makan," jawabku cepat.
"Sihiy, calon pengantin perhatian sekali. Laksanakan bosku!" Langsung saja dia memperagakan gaya hormat tiang bendera. Aku hanya tercengang mendengar godaan yang barusan dilontarkannya. Perhatian? Aku memang perhatian dengan semua orang. Apa salahnya membeli dua bungkus nasi?
Seperti biasa, aku langsung naik ke lantai dua untuk menunaikan salat zuhur terlebih dahulu. Selepas itu, langsung menuju lobi, menunggu Zara bersama Pak Dito. Duh, perutku sudah mulai tidak mau berkompromi. Maklum saja, tadi pagi aku tidak sarapan. Bahan makanan di kulkas sudah habis. Dan aku sedang tidak memiliki niat untuk berbelanja. Akhirnya, hanya air putih saja yang masuk ke perut. Hidup seorang diri mah bebas.
"Assalamualaikum," ucap Zara dengan semringah sambil menenteng satu bungkus plastik nasi padang yang baru dibeli.
"Assalamualaikum." Sebuah suara berat muncul beriringan dengan salam dari Zara. Aku menoleh ke arah orang yang memiliki suara itu.
"Eh, Mas Awan. Ayo ikut makan bareng kami. Tadi Bu Erina sudah memesan nasi untuk Mas Awan juga. Sini Mas!" jawab Zara sembari mengajak lelaki yang barusan datang dengan ekspresi cerianya seperti biasanya.
Awalnya lelaki itu menolak untuk makan bersama kami. Dia beralasan kalau sudah makan siang. Namun, karena desakan dari Zara dan Pak Dito, akhirnya dia mengiyakan hal itu. Aku tidak terlalu mendesaknya. Jika dia memang tidak ingin makan, ya sudah. Untuk apa memaksa keinginan seseorang, toh dia sudah besar.
20 menit berlalu, semuanya sudah selesai makan siang. Bahkan Zara yang terkenal dengan durasi makan terlama pun sudah menyapu habis nasi padangnya itu. Sekarang giliranku berbicara tentang rencana bersama Mas Awan. Aku kembali ke ruangan untuk mengambil buku catatan dan bolpoin untuk menulis beberapa hal yang harus dipersiapkan. Memang tampak sedikit kolot, di mana orang zaman sekarang biasanya menulis di ponsel pintar mereka, tapi aku lebih menyukai menulis di kertas.
Ketika kudaratkan pantat kembali di sofa lobi, tiba-tiba Zara berseru kencang.
"Tunggu, Bu!" Dia berlari ke mejanya dan kembali dengan membawa sebuah note book ungunya.
"Nah, Aku sudah menuliskan beberapa hal yang mungkin diperlukan untuk sebuah perencanaan pernikahan. Semalam aku nanya-nanya sama Kak Dara dan mama. Sebenarnya mereka kaget waktu tahu kalau Bu Erina mau menikah. Makanya, karena tahu itu, mama jadi semakin antusias buat ngebantu," jelas Zara sambil memperlihatkan tulisannya padaku.
"Mama jelas agak kecewa sih, Bu. Soalnya enggak jadi besanan sama Bu Erina," sambungnya sambil terkekeh kecil. Aku memicingkan mata ke arah Zara dan gadis itu hanya membalas dengan senyumnya.
Aku terkejut dibuatnya saat melihat isi catatan yang sekarnag ada di tanganku. Ini sangat detail dan mewah. Hei, aku ingin pernikahan sederhana saja, tidak perlu undangan untuk ribuan orang. Tapi, catatan ini benar-benar sangat membantu kami dalam menentukan berbagai hal.
"Untuk undangannya, aku mungkin hanya akan mengundang Asep dan Dadang. Mereka adalah sahabatku dari kecil. Mungkin beberapa tetangga dekat. Selain itu aku tidak memiliki kerabat," jelas Mas Awan mengemukakan pendapatnya.
"Ok, berarti kita buat undangan untuk tamu 50 orang saja. Walaupun itu juga sudah sangat banyak menurutku. Aku juga hanya akan mengundang beberapa orang saja, tidak banyak. Berarti undangan 50, katering juga 50. Kita sewa gedung kecil saja untuk resepsinya," tambahku yang membuat semua orang mengangguk setuju.
"Kalian tidak boleh lupa untuk mendaftarkan pernikahan ke KUA." Oh ya. Hampir saja lupa. Untung saja Pak Dito mengingatkannya.
Aku dan Mas Awan sepakat untuk berdiskusi dulu tentang tanggal pernikahan, baru setelah itu kami ke Kantor Urusan Agama. Untuk pakaian pengantin, mamanya Zara sudah meminta jatah untuk diserahkan kepadanya saja. Baik sekali orang-orang yang berada di sekitarku. Tanpa mereka, aku akan sangat bingung pastinya.
"Lebih baik, booking WO (Wedding Organizer) saja, Bu. Selain lebih mudah, acaranya pasti berjalan lebih lancar," saran Zara terdengar sangat tertarik. Aku memang tipe orang yang tidak terlalu suka dengan hal yang rumit. Jika ada jalan pintas yang mudah, kenapa harus ke jalan yang berkelok-kelok?