Ruang Kelabu

Fey Hanindya
Chapter #20

19. SAH

"Ananda Awan Bin Burhadito, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak saya, Erina Mahiyra Binti Bakhtiar Subroto dengan maskawinnya berupa seperangkat alat salat, tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Erina Mahiyra Binti Bakhtiar Subroto dengan maskawinnya yang tersebut, tunai."

SAH! Gema seluruh tamu undangan menjawab pernyataan penghulu. Aku tidak tahu harus berekspresi seperti apa sekarang. Senang, tapi hatiku tidak meledak-ledak bahagia. Sedih, tidak juga.

Kuhadapkan badanku miring ke kanan menuju pria yang sekarang sudah sah menjadi suamiku. Benar-benar sulit dipercaya, statusku sekarang berubah menjadi istri seseorang, hanya dengan satu kalimat saja.

Kuambil tangan kanan Mas Awan dan menciumnya. Hei, jangan anggap ini mudah. Jantungku hampir copot saat melakukan hal ini. Kulirik sekilas, gelagat Mas Awan juga terlihat sedikit gugup. Apa dia tidak mau membalas mencium keningku? Padahal kalau di sinetron, mempelai pria pasti akan mencium kening istrinya. Ah, sudahlah. Aku tidak sedang membintangi sinetron Indosiar.

Hari ini penampilan Mas Awan benar-benar berbeda. Sudah tidak ada lagi rambut gondrong. Dia sudah memangkas rambut gondrong itu. Sekarang, lelaki di sampingku ini terlihat jauh lebih rapi dan sedikit bergaya. Setelah lamat-lamat menatap wajahnya, ternyata lumayan juga.

"Mbak Erina! Nanti saja puas-puaskan adegan tatap menatapnya," cerocos Zara yang membuatku kikuk. Aku malu, ya Allah. Anak ini kalau bicara terkadang tidak melihat kondisi. Sekarang kan banyak tamu undangan.

Setelah sungkeman dengan keluarga. Oh ya, Pak Dito bersedia menjadi orang tuanya Mas Awan hari itu. Makanya, tadi saat ijab, yang disebutkan di belakang nama Mas Awan adalah Pak Dito. Soalnya, orang yang bersangkutan sendiri tidak mengetahui siapa bapaknya. Urusan KUA, aku juga kurang mengerti, tapi semua itu sudah diurus oleh Zara.

"Kalian sekarang duduk saja di pelaminan, banyak tamu undangan yang ingin berjabat tangan dengan pengantin baru," bisik Bu Mirna kepadaku dan Mas Awan.

Aku membuat senyum terbaik saat itu, sakng terbaiknya gigi-gigiku yang berderet rapi ini terlihat dengan jelas. Kemudian kami bersalaman dengan para tamu undangan. Papa juga diizinkan bebas untuk hari ini usai negosiasi panjang dengan pihak lapas. Syukurlah, aku baru tahu kalau seorang tahanan boleh keluar dari sel asal ada yang menjamin. Tentu saja bahagia sekali rasanya melihat papa memancarkan raut kebahagiaan saat ini.

"Selamat ya, Rin. Saya enggak nyangka kamu tiba-tiba menikah. Biasanya kalau ada hal serius seperti ini, kamu akan menanyakan kepada saya dan Ibu terlebih dahulu." Beliau adalah Pak Murjito dosenku. Aku tidak akan lupa untuk mengundangnya datang. Sejak kepergian mama dan menjadi sebatang kara, keluarganyalah yang memberiku pekerjaan dan sering membantuku.

"Bapak, Erina kan sudah besar. Dia sudah bisa memutuskan mana yang baik dan buruk. Tidak perlu lah untuk urusan jodoh juga harus berdiskusi dengan kita," sahut istrinya Pak Murjito sambil menyenggol tangan suaminya. Kami tertawa bersama sambil sedikit bernostalgia. Mereka juga kukenalkan dengan papa. Sebelumnya, Pak Murjito dan istrinya tidak pernah bertemu dengan papa, hanya mendengar beberapa patah cerita dariku.

"Cie, Mbak Erina sudah tidak sendirian lagi, nih. Digenggam dong Mbak tangan suaminya. Kan sudah sah." Ya Allah, tingkah anak ini benar-benar membuatku susah berkata-kata. Aku memelototi Zara ketika dia memaksa tanganku untuk menggenggam tangan pasangan yang berada di sampingku.

"Tante Milla," seruku ketika melihat giliran yang bersalaman selanjutnya adalah mamanya Zara.

"Terima kasih banyak ya, Tante. Sudah banyak membantu acara pernikahan kami." Aku tersenyum haru sambil memeluk tubuh wanita paruh baya yang berada di hadapanku.

"Kalian harus selalu rukun ya. Pernikahan itu membutuhkan kesabaran yang besar agar bertahan dan semakin harmonis. Pokoknya, kalau ada apa-apa, bilang saja sama tante atau om ya, Nak," balasnya sedikit membisik di telingaku. Kulihat mata perempuan itu sedikit berkaca-kaca. Aku memberikan senyum terbaikku untuknya.

Tiba-tiba datang dua orang pemuda, eh, pemuda atau om-om ya. Mereka adalah dua sahabat Mas Awan. Asep yang memiliki tubuh sedikit berisi dengan rambut sok kerennya, dan Dadang memiliki tinggi badan sepertiku (yang artinya kurang tinggi untuk ukuran seorang pria) dan rambut yang sudah di sisir klimis. Mereka tersenyum semringah sambil berjalan menghampiriku dan Mas Awan.

"Ini dia, sohib kita sekarang udah nikah cuy. Istrinya cantik pula. Semoga langgeng ya, Bro! Nanti malam gencarkan aksi," ucap Dadang disertai senyum jahilnya. Dasar otak mesum. Pikirannya cuma selangkangan saja.

"Er, Awan ini adalah laki-lakiĀ limited edition. Cuma kurangnya dia itu kere. Tapi kamu enggak perlu khawatir, sahabatku ini adalah pria yang sangat bertanggung jawab. Kami sering dibantu sama dia walaupun keadaannya juga susah," jelas Asep yang diikuti oleh anggukan Dadang.

"Bisa aja kamu, Sep. Makasih ya sudah hadir," timpal Mas Awan.

"Ya, tentu hadir lah. Kan bisa makan gratis," jawab mereka berbarengan. Aku tertawa melihat tingkah mereka yang tanpa malu-malu dan berbicara ceplas-ceplos. Kalau mereka adalah sahabat Mas Awan, berarti mereka sekarang menjadi temanku juga?

Lihat selengkapnya