Seperti biasa, aku terbangun di subuh hari karena alarm ponsel berbunyi. Hoam, aku meregangkan persendian yang terasa sedikit kaku. Syukurlah sudah tidak terlalu pegal seperti semalam. Kuedarkan pandangan ke seluruh isi kamar. Mataku masih sedikit buram.
Ada yang berbeda dari hari-hari biasanya. Ya, sekarang kasurku sudah ada yang menempati. Lelaki itu masih tertidur pulas di sana. Tenang sekali dia tidurnya.
"Aku akan wudu terlebih dahulu, nanti baru membangunkannya."
Usai sikat gigi, cuci muka, aku berwudu. Aku akan memakai mukena dahulu, lalu membangunkan Mas Awan, mungkin kami bisa salat berjamaah.
"Mas ... Mas Awan, bangun. Ayo kita salah subuh," panggilku dengan suara sedikit naik, namun masih pelan.
Lelaki itu melepaskan penutup matanya dan mengerjap beberapa kali. Haha, wajahmu benar-benar tidak tampan, Mas. Apalagi saat bangun tidur. Untung mancung.
"Jam berapa sekarang, Rin?" tanyanya yang masih setengah sadar sambil mencoba untuk memosisikan diri duduk di ranjang.
"Sudah jam lima subuh, Mas. Ayo kita salat subuh berjamaah. Aku tunggu di sini ya. Mas buruan ambil wudu." Aku beranjak menggelar dua sajadah—untukku dan untuknya.
Tampak hening seketika. Tak ada tindakan selanjutnya yang dia lakukan. Hanya diam membisu sambil menatapku kikuk.
"Mas?"
"Aku tidak tau caranya salat, Rin. Seumur hidup, aku belum pernah melakukan itu," jawabnya sambil menundukkan kepalanya.
Hah? Ya Allah. Aku menikah dengan lelaki yang seperti ini? Bagaimana bisa membimbingku menjadi lebih baik? Dia saja masih tersesat. Kenapa bisa ada orang yang tidak pernah melakukan ibadah? Bahkan orang non-islam pun beribadah ke gereja atau kuil. Apa yang terjadi dengan orang ini.
Namun, seketika aku tersadar. Kondisi orang yang kunikahi ini sangat jauh berbeda denganku, dengan orang-orang pada umumnya. Status yang hanya Islam di KTP. Bahkan, mungkin saja dia juga tidak pernah mengenyam pendidikan formal sejak kecil. Aku tidak pernah menanyakannya selama ini. Baiklah, mungkin ini akan menjadi tugasku, mengajarinya untuk mengenal Tuhan.
Aku mengubah ekspresi terkejutku menjadi senormal mungkin.
"Mas tidak pernah belajar agama? Mungkin melihat orang-orang wudu atau pun salat?" tanyaku memastikan dengan nada se-ramah mungkin. Jangan sampai membuatnya tersinggung.
Namun, dia hanya menatapku sambil menggeleng.
"Tidak apa-apa. Tak ada kata terlambat untuk belajar, bukan? Ayo kuajarkan cara berwudu di kamar mandi." Aku melepas kembali mukena yang baru saja kukenakan, lantas berjalan menuju kamar mandi.
***
Sejak mengetahui betapa awamnya suamiku dalam urusan agama, aku mulai mengajarinya sedikit demi sedikit pengetahuan yang kumiliki. Sesekali aku juga mengajaknya ke pengajian di masjid terdekat.
Banyak peningkatan yang terjadi pada Mas Awan. Sepertinya, dia merupakan tipe orang yang cepat tanggap. Bahkan sekarang, dia sudah bisa berdiri di depanku sebagai imam saat kami salat bersama. Ya, walaupun surat yang dihafalkan baru 'tiga Qul' saja. Tak masalah, belajar itu butuh proses yang tidak singkat.
"Rin, aku mau jualan roti keliling lagi, boleh? Soalnya kamu sudah mulai kembali membuka klinik, aku ingin melakukan sesuatu alih-alih hanya berdiam diri di rumah. Tapi, itu jika kamu izinkan." Perkataan Mas Awan sukses membuatku berhenti melakukan aktivitas menonton televisi. Aku membalikkan badan menghadapnya yang sedang duduk di atas kasur.
Sebenarnya aku bingung, kenapa dia menjaga jarak denganku? Apa tubuhku bau? Atau napasku? Tapi setelah kuperiksa, tak ada yang aneh dari fisikku. Terlebih lagi saat malam hari, dia benar-benar tidak ingin duduk di dekatku dalam waktu yang lama. Lelaki aneh.
"Boleh dong, Mas. Masa izin sama aku. Haha, kayaknya terbalik. Kamu mau kerja lagi jual roti keliling, silakan. Kalau tidak bekerja juga silakan. Aku tidak mempermasalahkan hal itu," jawabku mantap.
Aku benar-benar tidak mempermasalahkan itu. Lagian, jika dia benar-benar jualan roti keliling lagi, penghasilannya juga sangat kecil. Apa yang bisa dibeli dengan uang segitu? Mungkin saja setelah dua hari aku membuka klinik, dia merasa bosan karena tidak melakukan apa-apa di rumah.
Kalau dipikir-pikir lagi, sepertinya peran kami sangat terbalik ya. Seolah aku yang menjadi kepala rumah tangga di sini. Aku yang menentukan segala hal dan aku pula yang bekerja. Namun jangan salah, aku juga selalu memasak dan melakukan pekerjaan rumah tangga untuknya. Jadi dia ngapain dong selama ini? Aku juga baru sadar.
"Mas, sini duduk di sebelahku," pintaku sambil menepuk bagian sofa di samping kanan.
Lelaki itu bangkit dari kasur dan berjalan mendekat.