Semakin lama, aku semakin tidak tega melihat Mas Awan yang selalu pulang telat dengan bersimbah keringat, tapi hanya mendapatkan upah yang sangat sedikit.
"Mas, gimana kalau Mas jualannya di toko aja? Kita buka toko roti. Kebetulan tadi pagi aku lihat toko seberang jalan, yang pas di persimpangan itu di jual. Tempatnya juga sangat strategis. Pasti kalau tidak buru-buru kita beli, sudah ada orang lain yang mau membelinya," jelasku saat kami sedang makan malam.
"Kamu tidak suka aku jual roti keliling?"
"Bukan." Aku menggelengkan kepala cepat.
"Kamu malu kalau aku jual roti keliling?"
"Bukan, Mas. Tidak ada salahnya kan kalau kita membuka toko roti. Kamu tidak perlu capek berjalan mengedarkan roti seharian. Selain itu, keuntungan yang akan didapatkan pasti lebih banyak, karena yang akan dijual nanti adalah roti buatanmu sendiri," jelasku meyakinkan.
Dia membuang napasnya berat lantas menatap mataku.
"Biaya buka toko pasti mahal, Rin. Aku tidak mau membebanimu lagi," jawabnya dengan ekspresi tidak enak hati.
Awalnya aku merasa berat untuk menawarkan Mas Awan untuk membuka toko roti. Cicilan klinik masih tersisa empat bulan. Menumpuk-numpuk cicilan pasti akan membuatku kewalahan untuk membayar nantinya.
Namun, rasa tidak tega melihat Mas Awan lebih besar. Biarlah saja, semoga toko rotinya nanti memiliki pelanggan dan keuntungan yang banyak.
"Mas Awan tidak perlu khawatir dengan biayanya. Tenang saja. Tapi, nanti kita harus berusaha keras supaya toko rotinya memiliki banyak pelanggan. Pasti bisa. Roti buatanmu kan enak," jawabku dengan pujian dan senyum mengembang.
"Baiklah," jawabnya singkat.
"Ok. Berarti besok kita langsung datang ke lokasinya saja ya. Kalau menurutmu cocok, kita ambil. Kalau tidak, kita cari di tempat lain saja." Memang sangat mudah melakukan bujuk rayu dengan suamiku ini. Dia selalu saja menyetujui usulanku walau ada beberapa penolakan di awal.
Malam ini aku harus menyelesaikan jurnalku. Sudah satu bulan berjalan, aku dan temanku melakukan penelitian tentang kondisi kejiwaan penghuni lapas. Aku merasa kasihan melihat para tahanan yang sudah pasti kondisi psikisnya memburuk selama berada di lapas. Kami ingin pemerintah lebih sadar tentang kebutuhan konseling kejiwaan terhadap mereka.
Terlebih lagi di lapas remaja. Mereka jelas akan mengingat penderitaan psikis jauh lebih dalam, karena ingatan yang masih kuat di usia muda. Para remaja memiliki banyak ketakutan ketika berada di lapas. Takut akan dibenci oleh orang sekitar ketika bebas, takut tidak mendapat pekerjaan, takut mengulangi hal yang sama lagi.
"Rin ... boleh kupeluk?" ucap suami yang tiba-tiba berdiri di samping mejaku.
Hal itu benar-benar membuat fokusku menghilang. Namun, aku tidak membiarkan rasa kesalku muncul. Yang kulakukan adalah bangun dan memeluk tubuh kurus lelaki itu.
Sudah beberapa kali dia melakukan hal seperti ini. Awalnya aku terkejut dan gugup. Namun, aku sering melakukan hal ini dengan pasien yang masih kanak-kanan. Jadi, kuanggap hal ini adalah hal biasa. Pelukan akan membuat seseorang menjadi lebih tenang. Apa belakangan ini dia memiliki masalah yang sulit diatasi?
"Kamu sedang ada masalah?" tanyaku pelan.
Tapi, bukannya menjawab, dia malah semakin mempererat pelukannya itu. Aku semakin bingung dibuatnya. Hei, Bung! Jurnalku masih belum selesai. Apa kita akan terus berpelukan sepanjang malam?
"Mas?" tanyaku lagi memastikan,
Setelah tiga menit berlalu, dia merenggangkan pelukannya. Berlanjut dengan menatap mataku lamat. Aku masih menampilkan ekspresiku yang seperti biasanya. Sekejap kemudian, dia mencium keningku lama, lalu kedua pipi, hidung, dan ... sekarang aku tahu ke mana arah tujuannya.
Buru-buru kuhentikan kegiatannya, lantas mendorongnya menjauh sebelum aksinya semakin tidak terkendalikan.
"Aku sedang mengerjakan jurnal, Mas. Tenggat waktunya besok pagi," jelasku padanya dengan gagap dan berlalu kembali ke mejaku.
Haduh, sekarang aku akan kesusahan untuk kembali berfokus pada jurnalku. Tapi, aku benar-benar tidak punya pilihan lain selain meneruskan ini. Besok jurnal ini harus langsung diserahkan kepada temanku.
Kondisi jantungku saat ini sedang berpacu, memompa darah lebih cepat ke seluruh tubuh. Tanpa kusadari, keringat dingin mulai mengalir di dahi dan juga kedua telapak tangan.
Dia benar-benar hanya laki-laki biasanya yang memiliki keinginan seksual. Apa aku salah karena menahan keinginannya selama ini? Tapi, aku tidak sepenuhnya salah. Bukankah dia juga harus mengerti dengan kondisiku? Berumah tangga itu harus saling mengerti satu sama lain, bukan hanya aku yang harus mengerti dirinya.
Fokus, Rin. Jurnalmu tinggal sedikit lagi. Setelah itu kamu bisa langsung istirahat.
Saat ini hanya ada aku dan jarum jam yang berdetik konsisten. Sesekali aku menguap, menahan kantuk yang datang. Wajah juga sudah kubilas beberapa kali untuk membuat mata tetap terjaga.
Dan akhirnya ... Alhamdulillah, jurnalku sudah selesai.
Revisi keduanya besok saja. Kantukku benar-benar sudah tak tertahankan lagi. Kulirik sekilas ke arah kasur, lelaki itu tidur sambil meringkuk di balik selimutnya. Setelah melakukan ritual sebelum tidur, aku langsung merebahkan badan di sofa. Selamat tidur, dunia.