Seorang perempuan muda baru saja memasuki ruanganku. Ekspresi terkejut tak dapat kutampik ketika melihat perempuan itu menunjukkan wajahnya yang sedari tadi ditutupi oleh masker dan kacamata hitam. Ada bekas memar yang sangat jelas terpampang di sekitar mata dan bibirnya.
"Mbak baik-baik saja? Perlu saya ambilkan es batu untuk kompres?" Gelagatku yang tiba-tiba panik muncul dengan sendirinya—melihat kondisi fisik pasien. Memarnya itu terlihat masih baru.
"Tidak usah, Bu," tolaknya yang membuat segala tingkah kepanikanku berhenti.
Namanya Indira, perempuan muda yang masih berumur 24 tahun. Tentu saja umurnya jauh lebih muda dariku. Jika saja tidak ada lebam di wajahnya, aku bisa melihat betapa cantik wajah itu. Kulit wajah yang putih serta alis yang sepertinya hasil sulaman itu benar-benar menambah kecantikannya.
"Saya mendapatkan memar di wajah karena dipukul oleh suami." Indira membuka suaranya sambil menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Kedua tangannya saling menggenggam erat satu sama lain. Jelas sekali dia terlihat sangat ketakutan.
Indira adalah seorang ibu dari satu anak. Menikah karena sudah hamil lebih dulu, yah biasa disebut Married by Accident. Itu pun karena dia sudah nekat untuk mendatangi ibu dari suaminya pada saat itu. Jika tidak, mungkin lelaki yang sekarang menjadi suaminya itu tak akan pernah mau bertanggung jawab.
"Pada saat kami belum berpacaran, Mas Danu adalah lelaki yang sangat baik. Dia baik dan perhatian kepada saya. Selain itu, dia juga terlihat agamis," jelasnya sambil menatap nanar ke depan.
Mereka terlibat dalam toxic relationship, di mana hubungan ini timbul akibat ketimpangan pribadi pasangan. Sejak mereka berpacaran, Danu mulai memperlihatkan sifat aslinya. Ternyata dia memiliki watak yang keras dan suka mengontrol. Apalagi setelah mendengar cerita Indira—yang selalu saja mengalah jika terlibat pertengkaran, pasti itu yang membuat Danu semakin semena-mena.
Sudah sering sekali terjadi pada banyak pasangan sampai saat ini. Awalnya mereka bermanis-manis, setelah memperoleh hati pasangannya, mereka mulai menunjukkan jati diri yang sebenarnya. Maka dari itu, untuk para perempuan, jangan terlalu gampang terpengaruh dengan kata-kata manis kaum adam. Begitu pula sebaliknya bagi kaum adam yang biasanya terpikat dengan penglihatannya, jangan hanya mencari pasangan karena kecantikannya saja. Cantik itu tidak menjamin apapun selain keturunanmu. Namun, jika tampangmu tidak mendukung juga, tidak akan mengubah keturunan sih.
"Jadi, apa yang sekarang Mbak inginkan? Apa Mbak masih ingin bertahan dengan suami yang selalu saja kasar? Apa dia juga kasar sama anak kalian?"
"Dia tidak pernah kasar dengan anaknya sendiri. Walaupun saat itu dia pernah memarahi anaknya karena menghubungi neneknya, ibu saya. Dia tidak senang kalau saya berhubungan dengan kedua orang tua saya," jawabnya lantas berpikir sejenak.
Aku mengerti dari ucapannya barusan, dia senang karena suaminya sangat menyayangi anak mereka. Pasti hal itu yang membuatnya selama ini masih bertahan dengan perangai buruk suaminya itu.
"Sebenarnya saya masih sangat mencintai suami saya. Selain karena alasan itu, saya juga kasihan sama anak saya jika kami berpisah. Selama ini saya tidak berani bercerita pada siapa pun, malu. Yang orang-orang lihat adalah rumah tangga kami sangat harmonis. Saya malu dengan pandangan orang-orang yang nantinya akan berubah."
Banyak wanita yang terjebak dalam hubungan penuh kekerasan karena tidak tahu harus meminta bantuan ke mana, atau takut dan malu untuk menyatakan bahwa dirinya adalah korban kekerasan. Pada akhirnya, wanita yang cenderung memaafkan akan kembali ke kehidupan yang itu—seperti awal lagi, tertekan batin lagi. Mereka juga kurang informasi bahwa hidup tanpa kekerasan fisik, psikologis, dan emosional merupakan hak asasi setiap manusia.
Persetan dengan cinta jika itu membuat luka. Tidak usah bertahan dengan pasangan yang ringan tangan, sering membentak, dan tak pernah menghargai. Namun, jika kita merasa bisa menangani dan mengubahnya menjadi lebih baik, tak masalah dengan bertahan untuk beberapa saat. Ingat! Hanya untuk beberapa saat, bukan untuk selamanya.
Aku pernah mendengarkan seminar dari salah satu psikolog, Dian Ibung. Beliau menjelaskan bahwa kekerasan dalam pacaran itu timbul saat seseorang memiliki keyakinan, dengan kekerasan maka masalah akan selesai. Biasanya dia memiliki sejarah kekerasan dalam keluarganya, kontrol emosinya kurang baik, lalu dia kurang percaya diri atau merasa kurang aman sehingga memunculkan sifat posesif.
"Saya masih ingin bertahan. Tapi, kok semua rasanya sangat menyesakkan dari hari ke hari ya," tuturnya memegang dadanya mengatur napas yang terlihat sedikit sesak.
Cara menghindari kekerasan tanpa perceraian adalah dengan melakukan perlawanan secara konsisten. Bagaimana perlawanan yang dimaksud? Menyatakan tidak suka atau mengambil sikap tubuh yang jelas bahwa kita tidak menyukainya.
Menjadi perempuan tidak selamanya harus merasa dan menjadi lemah sehingga bisa selamanya dikendalikan oleh laki-laki seperti itu. Wanita juga memiliki derajat yang sama dengan laki-laki. Walaupun dalam agama Islam, seorang istri harus hormat dan patuh kepada suami, namun ini memiliki arti yang berbeda. Hormat dan patuh ini dijalankan jika suaminya menyuruh kepada kebaikan.
Jika seorang suami saja tidak memperlakukan istri dengan baik, untuk apa sang istri harus menghormatinya? Jangan pernah membiarkan harga diri diinjak-injak dengan mudah. Negara kita memiliki sesuatu yang dinamakan dengan Hak Asasi Manusia.
"Mbak Indira masih muda. Masih bisa memiliki hidup yang lebih baik. Memangnya Mbak sendiri ingin seumur hidup bersama dengan suami yang memiliki kepribadian buruk seperti itu? Menurut saya, sebaiknya hentikan saja pernikahan ini. Mbak bisa memulai hidup yang lebih baik bersama anak. Sudah bertahun-tahun bukan sejak kalian pacaran, namun suami masih saja seperti itu?"
Aku sebenarnya sedikit geram dengan sifat Indira yang terlalu tunduk. Sesuai cerita yang diungkapkannya, suaminya itu memang tidak perlu dipertahankan lagi. Tak akan ada yang berubah walau negara api mulai menyerang. Namun, semua itu kembali lagi ke dirinya sendiri. Semua keputusan ada di tangannya. Aku hanya memberikan saran dan pandanganku.
"Ibu saya juga sempat menyuruh kami bercerai, tapi saya menolaknya karena alasan anak kami yang masih kecil," jelasnya dengan sedikit ragu.