"Assalamualaikum .... Aku pulang!" teriakku dari lantai bawah setelah membuka pintu rumah.
Lantai bawah yang merupakan klinik—tempat kerjaku ini sangat gelap. Hanya sedikit remang-remang cahaya akibat pancaran sinar lampu dari lantai atas. Aku melewati tempat ini cepat sambil berlari menaiki tangga.
Seperti yang telah diduga, Mas Awan sedang duduk di meja makan dengan beberapa hidangan makan malam di depannya, menungguku pulang.
"Wah, tumben kamu masak banyak, Mas," celotehku dengan memasang ekspresi orang yang tengah merasa kelaparan.
Dengan sigap, aku langsung mencuci tangan dan bergabung di meja makan. Sepotong ikan goreng kuambil dari piringnya. Kebetulan sekali, tadi aku tidak makan siang. Jika Mas Awan tidak memasak makan malam, aku berencana untuk memesan makan malam dalam porsi jumbo. Cacing di perutku mulai menyuarakan kegelisahannya sedari salat magrib tadi.
"Gimana kabar Bu Mirna?" tanya suamiku yang duduk berhadapan denganku.
"Alhamdulillah."
Tidak ada hal luar biasa yang terjadi saat aku ke rumah Pak Dito tadi. Mereka sekeluarga sehat. Tak banyak hal yang kuceritakan tentang keluarga itu pada Mas Awan. Karena memang kabar mereka baik-baik saja. Suasana kompleks itu juga tak jauh berbeda dari saat aku berkunjung beberapa bulan yang lalu.
"Sebenarnya—" Lidahku kelu saat ingin mengatakan hal itu. Aku menghentikan kegiatan makan malam sejenak sembari menundukkan kepala. Banyak sekali kata-kata yang mengambang di kepala belum tersusun rapi ingin keluar melalui mulutku.
Tidak tahu bagaimana ekspresi Mas Awan sekarang, kutarik napas dalam dan melanjutkan pembicaraan itu. "Sebenarnya tadi siang ada pasien yang datang. Dia mengalami KDRT. Wajahnya dipenuhi memar. Awalnya, lelaki ini sangat baik dan perhatian padanya. Namun seiring perjalanan waktu, dia mulai ringan tangan kepada istrinya."
Aku menghentikan cerita sesaat lantas melirik ke arah lelaki yang duduk di hadapanku ini. Benar saja, raut wajahnya mulai berubah. Sekarang rasanya untuk menelan ludah saja susah. Apa aku harus melanjutkannya? Tapi, Mas Awan tidak menyela sedikit pun dan masih duduk di sana. Tandanya dia masih mau mendengarkanku bukan?
"Aku minta maaf, Mas. Saat itu otakku langsung memikirkan hal yang aneh-aneh. Maaf karena aku lagi-lagi meragukanmu dan memilih untuk menceritakannya pada Bu Mirna."
Belum sempat aku menyelesaikan keseluruhan ceritaku, Mas Awan langsung memotongnya. "Apa selama ini aku pernah menyakitimu? Pernah membentakmu? Aku bahkan sudah berusaha menjadi seperti yang kamu inginkan. Saat kamu tidak pernah menceritakan apapun tentang masa lalumu, aku tidak mempermasalahkan itu. Bahkan saat terkadang kamu menghindariku tanpa sebab yang jelas, aku juga tidak pernah mengungkitnya.
"Kenapa? Aku tidak ingin menyinggung hatimu, tidak ingin kalau kamu beranggapan bahwa aku yang hanya orang asing ini berusaha ikut campur dengan urusanmu. Walaupun begitu, aku masih bersabar dengan itu. Apa lagi yang harus kulakukan supaya kamu tidak ragu lagi? Aku benar-benar kecewa, Rin."
Tak kukira, kali ini Mas Awan mengeluarkan segala isi hati dengan nada kecewanya. Raut wajah yang terlihat sedikit menahan emosi dan perasaan kecewa itu benar-benar membuatku bersalah. Apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana ini?
Lelaki itu langsung bangun dari kursinya dan merapikan piringnya sendiri. Dia hanya mencuci piring miliknya saja. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
"Mas ... tapi sekarang aku tidak akan pernah ragu lagi. Ucapan Bu Mirna benar-benar membuatku yakin," ucapku sambil mengikutinya dari belakang. Bahkan, aku belum sempat membilas tangan yang masih berbekas nasi makan malam.
"Kamu lebih percaya ucapan orang lain daripada suamimu sendiri kan? Kita bukan baru menikah satu atau dua minggu. Sudahlah, aku lelah, Rin. Lagi pula pernikahan ini memang dimulai dengan awal yang aneh. Aku saja yang terlalu berharap banyak." Kata-kata itu sukses membuatku tak berkutik, hanya mata ini yang bisa mengekori lelaki itu masuk ke dalam kamar mandi, membuatku tidak dapat melihat apapun lagi.
Atmosfer rumah ini berubah dalam sekejap. Rasa lapar yang beberapa menit lalu masih tersisa, sekarang lenyap entah ke mana. Rasa gelisah mulai menyelimuti bercampur aduk dengan perasaan kalut. Ini lebih menakutkan daripada yang selama ini kubayangkan.
Aku beranjak kembali ke dapur untuk merapikan sisa-sisa makan malam barusan. Mencuci piring dan menyimpan lauk yang tidak habis dimakan. Otakku mulai berpikir keras untuk mengatasi masalah yang sedang terjadi.
Ini semua memang salahku. Tapi aku tidak ingin berada di situasi ini, rasanya benar-benar tidak enak. Dada ini seperti tertahan saat bernapas. Beberapa kali aku juga kesulitan untuk menelan ludah.
"Mau apel enggak, Mas? Biar aku kupas," tawarku sambil berbasa-basi setelah melihatnya keluar dari kamar mandi.
"Tidak usah. Aku ingin keluar sebentar," jawabnya acuh tanpa menghiraukan keberadaanku.
"Ke mana?"
Pertanyaanku yang kedua tak digubris sama sekali. Dia mengambil jaket tabu-abunya dan terus berjalan menjauh dari tempatku berdiri.
"Jangan pulang terlalu larut!" teriakku saat dia sudah berada di lantai bawah.
Tak ada jawaban darinya. Menoleh saja tidak. Apa yang kuharapkan sekarang? Lelaki itu benar-benar marah besar padaku. Marahnya orang pendiam itu lebih mengerikan rupanya. Jika aku marah, mungkin hanya ada omelan sebentar lantas aku akan bersikap seperti sedia kala.
Dengan perasaan gelisah seperti ini tentunya membuat suasana hatiku ikut berubah. Padahal ada teman yang memintaku untuk merevisi jurnal penelitian miliknya. Tak bisa. Aku sedang tidak bisa fokus sekarang.