"Terima kasih ya, Bu, Mas. Maaf sudah merepotkan malam-malam."
Hiruk pikuk kendaraan masih terpantau jelas dari jendela taksi. Tinggal di daerah perkotaan artinya tak mengenal batas waktu—waktu bekerja, waktu istirahat, dan waktu bermain. Setiap saat jalanan perkotaan pasti dipadati oleh hilir mudik manusia, bahkan hingga malam hari.
Aku masih terpaku menatap ramainya jalan raya. Sesekali jendela taksi yang tertutup ini berembun karena napasku. Aku masih larut dalam pikiran sendiri, tak ada obrolan yang terjadi antara penumpang taksi ini.
"Pak, tolong berhenti di minimarket depan, ya." Suara Mas Awan yang meminta sopir taksi untuk berhenti membuyarkan lamunanku sejenak, memilih untuk memalingkan wajah ke arahnya. Hanya ekspresi tanda tanya yang kutunjukkan, namun dia tak memberi jawaban.
"Tunggu sebentar, aku akan segera kembali. Sebentar saja," tuturnya cepat, lantas berlari ke sebuah toko di sebelah minimarket berwarna merah itu.
Aku yang penasaran dengan tempat yang dituju Mas Awan malah celingak-celinguk sembari menurunkan kaca jendela taksi. Minimarket yang ukurannya cukup besar dengan beberapa kendaraan terparkir di depannya, membuatku tak bisa melihat jelas. Isi kepalaku jelas sedang menebak-nebak apa yang mungkin dibeli oleh Mas Awan. Makan malam? Tidak mungkin, kami sudah makan malam sebelum pergi tadi.
Wajahku masih tetap berada di kaca taksi. Aku sudah menyerah untuk menebak-nebak. Tak berapa lama, selaput jala mataku sepertinya menangkap bayangan orang yang sedari tadi kutunggu.
Benar saja, suamiku itu muncul dari balik mobil hitam dengan senyum di bibirnya. Sedang apa dia senyum-senyum sendiri? Sebelah tangannya juga disembunyikan di balik punggungnya. Aku tak dapat melihat apa yang telah dibeli olehnya.
"Beli apa, Mas?"
Sebuah buket berisi bunga berwarna merah langsung disodorkan oleh pria yang sekarang berada di hadapanku itu.
"Eh, apa hari ini ada momen spesial? Ulang tahunmu? Satu tahun pernikahan?" Aku mengambil buket bunga yang diberikan oleh suamiku. Tulip merah.
"Tulip merah yang melambangkan rasa cinta," jelasnya sembari menatap lekat mataku.
Hei, tahukah bagaimana ekspresiku sekarang? Aku tak bisa berhenti senyum-senyum sendiri. Sesekali kuhirup aroma bunga sedang ku genggam erat ini. Kenapa tiba-tiba dia jadi romantis begini?
"Biasanya orang-orang memilih bunga mawar."
"Ah, sebenarnya aku tidak terlalu paham tentang bunga. Itu salah satu opsi yang ditawar sama penjaga toko. Kamu tidak suka dengan tulip?" Lelaki yang duduk di sebelahku ini mengusap belakang kepalanya kikuk.
"Suka kok. Makasih ya, Mas," jawabku cepat menjawab pertanyaannya.
Dia meraih tanganku dan menggenggam erat. Lagi-lagi hal yang membuatku sedikit canggung dilakukan olehnya. Bukan karena berpegangan tangan, namun suasana yang dibuat olehnya benar-benar membuatku canggung.
"Mas, Mbak, kita pergi sekarang?" Suara sopir taksi membuyarkan suasana romantis di antara aku dan Mas Awan
"Eh, iya. Maaf ya, Pak," jawab Mas Awan yang sempat tersentak karena kaget.
Sepertinya sopir taksi ini sedikit jengkel melihat kami yang seakan sedang pamer kemesraan. Padahal, aku tidak berniat seperti itu. Entahlah dengan Mas Awan. Mungkin dia yang ingin pamer. Tapi, dari mana dia belajar hal-hal seperti ini? Senyum di bibirku masih tak dapat kuenyahkan.
Suasana di dalam taksi kembali hening. Bukan lagi hening karena sedang larut dalam pikiran masing-masing, namun karena suasana canggung yang mendera. Maklum saja, seumur hidup baru kali ini aku berada dalam suasana seperti ini.
Taksi yang kami tumpangi terus saja melaju, membelah jalan raya. Sopirnya terlihat sangat fokus dalam mengemudi. Andai sopir taksi ini memulai percakapan, mungkin bisa sedikit mencairkan kecanggungan yang sedang terjadi.
"Sudah sampai, Mas, Mbak." Kenapa cepat sekali tiba? Padahal aku masih ingin menikmati khayalan romantis ini. Eh, apa yang sedang kupikirkan. Segera saja kusingkirkan pikiran-pikiran aneh yang sempat singgah itu.
Suasana sunyi ketika keluar dari taksi. Kompleks klinikku memang bukan area yang sering berlalu lalang manusia jika sudah malam. Orang-orang lebih memilih beristirahat di tempatnya masing-masing atau pulang larut malam. Sunyi bukan karena sepi penghuni, namun orang-orang di sini tahu kapan saatnya bekerja, kapan saatnya beristirahat, dan kapan saatnya berkumpul bersama keluarga.
Mungkin, hanya beberapa pedagang kaki lima yang berkeliaran di area ini. Karena malam memang jadwal mereka mencari nafkah. Coba bayangkan, pedagang nasi goreng keliling yang berjualan di siang hari, siapa yang akan membelinya? Paling hanya segelintir pembeli yang datang.