Zaman dulu, harga diri seorang perempuan itu sangat rendah. Mereka dijadikan budak, dianiaya, dijadikan pemuas nafsu semata, bahkan dijual. Tidakkah kita para perempuan bersyukur dengan kehidupan sekarang? Kehidupan seorang perempuan yang martabatnya sudah dianggap setara dengan laki-laki.
Banyak tokoh-tokoh nasional maupun internasional yang mengambil andil dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Kenal Raden Ajeng Kartini? Beliau adalah salah satu pahlawan nasional yang memperjuangkan emansipasi wanita kala itu.
Saat para penjajah memasuki Belanda, para perempuan dijadikan wanita tunasusila atau yang dahulu lebih masyhur dengan nama cabo. Tak ada yang sanggup melawan para penjajah itu. Melawan berarti menyerahkan nyawa.
Begitu pula dengan Sojourner Truth dan Elizabeth Blackwell, mereka merupakan salah satu tokoh berpengaruh dunia. Penyuaraan mereka terhadap kesetaraan hak yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki benar-benar luar biasa. Mungkin dua tokoh ini tidak terlalu akrab di telinga, lalu bagaimana dengan Bennazir Bhutto, kenalkah?
Coba bayangkan, bagaimana jika seandainya tak ada para pejuang hak-hak perempuan itu di dunia ini? Tak ada yang berani menyuarakan hak-hak perempuan, akankah hidup para perempuan di zaman sekarang bisa disebut layak? Tak ada pendidikan, tak ada kebebasan.
Banyak sekali perempuan zaman milenium ini yang bahkan tak menyadari hal itu. Ketika R.A Kartini berjuang supaya tidak ada lagi perempuan-perempuan yang menjadi cabo, tapi perempuan zaman sekarang malah dengan senang hati menyerahkan dirinya pada pria asing. Pria yang dianggap sangat mencintai dirinya, padahal mereka tidak dalam ikatan apapun. Cinta? Makan tuh yang namanya cinta.
Di mana harga diri seorang perempuan jika berkelakuan seperti itu? Apa bedanya dengan cabo? Kenapa tidak menghargai perjuangan para pahlawan terdahulu?
"Bu, para tahanan wanita sudah berkumpul di aula." Seorang penjaga lapas memasuki ruang kerjaku, memberitahukan kalau aku sudah bisa memulai kegiatannya.
Tiga hari lagi adalah hari Perempuan sedunia, tepatnya tanggal 8 Maret 2022. Aku ingin memberikan penyuluhan khusus kepada para tahanan wanita. Hal-hal yang dapat membangkitkan semangat mereka. Aku tahu, berada di dalam lapas benar-benar membuat psikologi mereka terganggu. Banyak kecemasan yang mungkin melanda.
Kulangkahkan kaki mantap memasuki aula yang dimaksud. Menurut keterangan penjaga, ada 26 tahanan yang hadir.
"Temen-temen! Ternyata yang akan memberi ceramah hari ini orang cantik," teriak salah satu peserta yang diikuti dengan sahutan riuh peserta lainnya. Baru saja kakiku tiba di ambang pintu, tapi sudah mendengarkan ejekan-ejekan yang luar biasa.
Aku mengedarkan pandangan, mencari sumber suara. Seorang wanita, mungkin masih berkepala tiga duduk dengan selah satu kaki berdiri di depannya, bak seorang bos. Terlihat dari sahutan riuh—yang mungkin saja merupakan pengikutnya.
Hanya senyum yang kusunggingkan menghadapi situasi seperti ini. Apalagi lain? Ini bukan pasar. Jika di pasar ada yang ingin mengajak ribut denganku, akan kuladeni. Hei, Walaupun aku adalah seorang perempuan yang selalu duduk di ruangan ber-AC dan berkutat dengan pasien saja, jiwa bertarungku bagaikan Cut Nyak Dhien. Aku tak takut dengan wanita yang berlagak bak preman seperti itu.
"Semuanya harap tenang! Ini adalah Bu Erina, beliau adalah psikolog di Rumah Sakit lapas. Hari ini, beliau akan memberikan penyuluhan kepada kita semua," terang seorang penjaga lapas selagi memperkenalkanku.
"Terima kasih, Pak." Penjaga itu berlalu meninggalkanku sendiri di hadapan para wanita ini. Untung saja mereka tidak benar-benar meninggalkanku sendiri di dalam ruangan. Ada dua penjaga yang setia menjaga di ambang pintu.
Ternyata ini tidak semudah yang kubayangkan. Tidak seperti saat mengisi seminar di kampus-kampus—yang rata-rata pesertanya mahasiswa—dan menyukai dunia psikologi, di ruangan ini aku merasa seperti sedang ditatap oleh belasan elang yang siap menerkam jika berbuat kesalahan.
Aku mencoba mengatur pernapasan, membuat suasana hati menjadi setenang mungkin. Kamu bisa, Rin. Bismillah.
Penyuluhan ini berjalan lumayan lancar. Walau beberapa kali ada insiden kecil karena kegaduhan yang disebabkan oleh bos para tahanan dan pengikutnya itu. Namun, beberapa tahanan lain terlihat antusias dengan penjelasanku. Mereka juga aktif saat sesi tanya jawab.
Syukurlah tak ada insiden cakar mencakar. Tentu hal itu sangat mungkin terjadi. Tiap si bos tahanan itu menyeletuk, aku akan membalas ucapannya berulang kali hingga dia terdiam. Pasti dia sudah menyimpan dendam padaku. Siap-siap saja kamu, Rin, kalau si bos itu keluar dari lapas.
Sekitar tiga jam aku memberikan penyuluhan kepada para tahanan lapas itu. Waktu yang cukup lama. Itu dikarenakan adu mulut panjang beberapa kali terjadi di tengah kegiatan.
Saat hendak melangkahkan kaki menuju ambang pintu ...
"Terima kasih, Nak. Kemarin anak saya, Gita datang berkunjung. Saya sangat senang. Sudah lama sekali kami tidak bertemu." Seorang wanita paruh baya menghampiriku setelah semua peserta keluar dari ruangan ini. Dia adalah salah satu pasienku di Rumah Sakit lapas ini dengan kasus pembunuhan terhadap suaminya.
Syukurlah, akhirnya wanita setengah baya ini bisa berjumpa kembali dengan anaknya yang sempat kabur dari rumah. Aku bisa merasakan bagaimana senangnya perasaan seorang ibu yang berjumpa kembali dengan anak yang amat disayang.
Beliau langsung memelukku setelah kuberi tanggapanku atas pernyataannya tadi.
"Berarti Ibu harus lebih menjaga kesehatan, supaya bisa berkumpul lagi dengan anak Ibu," ucapku sambil mengelus-elus punggungnya yang hangat.