Sejak subuh, rintik hujan sudah membasahi tanah, menguar bau khasnya yang terkadang membuat orang jatuh cinta. Barangkali air langit itu sudah dari semalam turun dengan derasnya, namun aku yang terlelap dalam mimpi membuat seolah tak merasa apa-apa. Satu yang kutahu, tanah sudah cukup basah.
Hujan itu rahmat. Tapi kalau berubah menjadi bencana, apa masih disebut rahmat? Entahlah, biar lah setiap kepala mengeluarkan pendapatnya masing-masing. Yang jelas, Tuhan tidak akan pernah memberikan sesuatu yang tidak berguna kepada umatnya.
Aku melempar pandangan ke luar jendela, banyak sekali burung penyanyi yang hinggap di tali listrik. Mereka seperti sangat menikmati rintik-rintik gerimis yang perlahan mulai berhenti.
"Mas, mau pergi ke taman enggak?" usulku pada Mas Awan. Melihat para burung yang sesekali terbang di dalam gerimis, membuatku ingin menikmati hari di alam terbuka juga.
"Boleh. Mau pergi sekarang?" Suamiku memang yang terbaik. Dia selalu saja mengiyakan keinginanku tanpa tawar menawar.
Hari Minggu memang hari terbaik untuk melakukan penyegaran pikiran. Setelah enam hari berkutat dengan pekerjaan yang menguras banyak energi dan pikiran, rekreasi adalah ide terbaik.
Aku menyiapkan beberapa camilan untuk bekal kami nanti, sedangkan Mas Awan menyiapkan terpal yang akan digunakan sebagai alas untuk duduk. Untung saja hujan sudah berhenti. Semoga saja rumput taman tidak digenangi air.
"Semua bekal sudah selesai, tinggal berangkat. Yuk, Mas!" Entah kenapa, hari ini aku sangat bersemangat untuk piknik. Mungkin akal sehatku sudah mulai kembali setelah berminggu-minggu berkutat dengan pasien-pasien tanpa henti. Apalagi pasien di rumah sakit, luar biasa membuat lelah jasmani dan rohani.
"Sudah tidak ada lagi yang tertinggal kan?" Mas Awan memastikan untuk terakhir kalinya sebelum memutuskan untuk menstarter mobil.
Jalanan terasa sangat lenggang hari ini. Mungkin ini karena pengaruh hujan yang baru saja berhenti. Orang-orang lebih memilih menetap di dalam rumah bersama keluarga. Mungkin sambil menikmati mi instan rebus dengan segelas teh hangat.
"Tumben kamu mau piknik ke taman, Rin?" Pertanyaan Mas Awan sukses membuat perhatianku terhadap jalanan sekitar terhenti. Aku menoleh ke arahnya. "Hmm ... Aku hanya merasa, sepertinya kita sudah lama tidak jalan-jalan, menikmati waktu luang di luar rumah."
Perjalanan yang memakan waktu sekitar 45 menit itu akhirnya usai. Kami telah tiba di lokasi tujuan—sebuah taman yang sedang dipenuhi oleh bunga yang bermekaran. Anehnya, tanah di daerah ini tidak sebasah tanah di kompleksku. Mungkin hujannya tidak turun merata.
Aku mengedarkan pandangan, mencari tempat yang cukup strategis untuk dibentangi alas. Yap, mataku berhasil menangkap sebuah tempat di bawah pohon rindang. Nice place.
Ketika berjalan menuju titik itu, aku mendapatkan beberapa pasangan yang juga sudah menggelar tikar di taman ini. Tidak hanya pasangan saja, beberapa keluarga dengan anak-anak yang berlari riang juga ada. Hari yang sangat indah.
"Di sini saja, Mas," ucapku sambil meletakkan barang yang kutenteng.
Mas Awan dengan cepat menggelar alas sebagai tempat duduk serta mengatur barang-barang yang kami bawa. Tidak banyak, hanya seperangkat alat makan dan bekal.
Ah, nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?
"Kita foto yuk, Mas. Jarang sekali kita memiliki foto berdua," tawarku sembari mengeluarkan ponsel dari saku celana.
Haha, lihatlah suamiku ini! Dia benar-benar terlihat kikuk saat berpose di depan kamera. "Senyumnya yang ikhlas dong, Mas."
Dua foto, lima foto, hingga tak terhitung jumlahnya. Sepertinya sudah cukup.
Aku membuka keranjang bekal sambil mengeluarkan isinya. Untung saja kulkas di rumah baru saja terisi. Jadi, aku tidak perlu khawatir dengan apa yang harus kubawakan.
Pandanganku beredar menjelajah sekitar taman untuk ke sekian kalinya. Aku tak pernah bosan melihat dua anak kecil itu berlari ke sana ke mari. Lihatlah tubuh mungil mereka yang tertatih-tatih itu. Benar-benar membuatku menggigit gigi gemas. Aku jadi teringat dengan Rina, keponakannya Zara. Apa kabar dia sekarang? Sudah lama aku tak mengunjunginya dan Mila.
Tiba-tiba saja lelaki yang dari tadi duduk satu terpal denganku membaringkan tubuhnya di atas pahaku. Lima detik napasku seolah tertahan, namun kembali berembus setelah itu.
Aku melihat lamat-lamat bentuk wajahnya itu. Dia menutup matanya sambil melipat dua tangannya di atas perutnya. Sepetinya suamiku ini sedang menikmati sepoi-sepoi angin pagi taman.