Ruang Kelabu

Fey Hanindya
Chapter #29

28. Pelangi Setelah Badai

Semua orang yang kusayangi dan kucintai pergi meninggalkanku. Apa benar kalau ini akibat aib yang telah aku terima? Padahal aku sudah mencoba sekeras mungkin untuk melupakan trauma itu. Namun, kematian papa benar-benar membuat rasa sakit itu terngiang-ngiang kembali, pedih sekali.

Sudah satu minggu kuputuskan untuk menutup klinik, menghindari interaksi dengan orang-orang, bahkan dengan suamiku sendiri. Siang dan malam kegiatanku hanya melamun dan menitik air mata. Aku tahu Mas Awan teramat khawatir, dia bahkan rela sering bolak balik dari toko rotinya hanya untuk memastikan keadaanku.

"Sayang, aku bawakan roti rasa coklat dari toko," ucap Mas Awan menyuguhkan sepotong roti dengan aroma lezat yang menguar. Tapi, aku sedang tidak memiliki selera makan sekarang. Belakangan ini, aku hanya memakan dua sendok nasi setiap harinya. Mungkin kalau sebulan kegiatanku seperti ini terus menerus, tubuhku hanya akan tinggal kulit dan tulang.

"Atau kamu ingin aku belikan sesuatu? Ayolah Sayang, kamu sudah seminggu seperti ini." Mas Awan tetap kekeh melakukan bujuk rayu terhadapku.

"Aku tak ingin apa-apa, Mas." Lagi-lagi hanya ini jawaban yang terlontar dari mulutku.

"Bagaimana kalau nanti sore kita ziarah ke kuburan papa dan mama?" tawarnya yang ku jawab dengan anggukan saja. "Tapi kamu harus berjanji, tidak boleh lagi sedih berlarut-larut seperti ini. Papa pasti akan sedih kalau tahu putrinya itu sedih sepanjang hari. Dia pasti ingin melihat kamu menjadi Erina seperti dulu—yang ceria dan selalu membuat orang di sekitarnya bahagia."

Aku masih bergelut dengan pikiranku sendiri. Bukan tidak menggubris perkataan Mas awan, aku mendengarnya, hanya saja aku sedang berinteraksi dengan pikiran-pikiran yang sedang berkecamuk di dalam otak.

Berbagai macam usaha kulakukan untuk menyemangati pasienku yang sedang terpuruk. Namun, kini aku tak sanggup membuat diriku bangkit. Ternyata benar, berkata itu memang selalu mudah daripada berbuat hal yang nyata. Makanya, orang-orang lebih senang menggunakan mulut dari pada otot saat melakukan berbagai kegiatan.

Tatapanku masih tetap nanar ke depan. Sedangkan suamiku, dia masih setia duduk di samping sambil terus berbicara denganku. Aku tak dapat mendengar lagi kata-katanya. Bukan tak ingin mendengar, hanya saja kata-kata yang dilontarkannya seolah menguap sebelum masuk ke dalam gendang telingaku.

"Mau kupanggilkan Zara?" Tawaran ini tertangkap oleh indra pendengaranku. Namun, aku hanya meliriknya sebentar, lantas memalingkan pandangan ke arah yang lain.

Ya Allah, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Aku hanya merasa tidak memiliki semangat hidup kembali. Baru kali ini aku benar-benar merasa hidup ini menjadi hampa seketika. Maafkan aku, Tuhan, seharusnya hidupku tak kan pernah hampa. Aku memiliki-Mu.

"Mas ... aku ingin minum teh hangat." Tanpa basa basi, Mas Awan langsung berdiri keluar kamar setelah mendengar permintaanku.

"Tunggu sebentar, kamu jangan ke mana-mana!" teriaknya dari luar kamar.

Aku ingin berdiam saja saat itu, tapi hasrat ingin ke kamar mandi membuatku tak bisa tetap diam di atas kasur. Kuturunkan kaki pelan, lalu melangkah menuju kamar mandi. Aku ingin buang air kecil. Jalanku terasa gontai dan berayun, namun kupaksakan tetap melangkah. Gagang pintu kamar mandi berhasil kugapai, sedikit lagi aku pasti berhasil.

Langkah kakiku terasa kian berat, kepalaku juga seakan semakin berputar-putar. Kenapa pandanganku seolah kabur. Warna-warna keramik di dinding kamar mandi juga berubah menjadi samar-samar. Apa yang sedang terjadi padaku?

Allahu Akbar. Kurasakan tubuhku menghantam ubin kamar mandi dengan keras. Pintunya belum berhasil kututup, sepertinya aku merasa ada cairan hangat yang mengalir di pahaku. Pasti karena sedari tadi menahan hasrat buang air kecil. Aku tak sanggup bergerak lagi, bahkan bersuara pun tak bisa. Mataku perlahan menutup, sepertinya kesadaranku juga perlahan hilang. Mas Awan, tolong aku!

***

"Kamu sudah sadar, Sayang?"

Kepala yang masih terasa sedikit berdenyut membuatku memilih untuk tidak bangun terlebih dahulu. Saat membuka mata, aku sempat heran untuk beberapa detik. Apa ini bukan di akhirat? Di mana, papa? Apa aku bisa bertemu dengan papa dan mama sekarang?

"Apa yang telah terjadi, Mas?"

"Kamu pingsan di kamar mandi, Rin. Karena panik, makanya aku langsung bawa ke rumah sakit," jelas Mas Awan yang kini berpindah ke sebelah kananku.

"Kamu mau makan apa, Rin?" tambalnya lagi dengan tawaran makanan.

"Aku lagi tak ingin makan apa-apa, Mas." Kupaksakan tubuh ini bangun dan bersandar di ranjang.

"Sekarang kamu harus paksakan untuk makan. Kamu harus lebih menjaga kesehatan supaya tidak terjadi apa-apa dengan kandunganmu."

Lihat selengkapnya