Ruang Kelabu

Fey Hanindya
Chapter #30

29. Kepergian Mereka

Suasana sepi dan sesekali embusan angin menerpa wajah. Tak ada penziarah yang datang saat ini, hanya aku dan suamiku. Dedaunan yang gugur singgah di makam-makam terdekat. Inilah yang membuat Mang Ujang sering kali kelahan saat membersihkan makam, terlebih jika sedang musim gugur, dedaunan itu tak kunjung berhenti gugur bertebaran.

Aku memutuskan untuk memakamkan jenazah papa di sebelah makamnya mama. Setidaknya mereka bisa bersatu kembali setelah berpisah bertahun-tahun, itulah yang terpikirkan olehku. Syukurnya, tanah makam tepat di sebelah makam mama sedang kosong saat itu.

"Eh, Neng Erina datang lagi. Sudah lebih mengikhlaskan kepergian bapak kan? Jangan histeris kayak minggu lalu ya, Neng. Kasihan nanti almarhum ikut sedih," sapa Mang Ujang saat kami menampakkan batang hidung di sana.

"Insya Allah enggak akan seperti itu lagi, Mang. Maaf ya, Mang, kalau saat itu saya merepotkan Mamang."

"Tidak apa-apa, Neng. Yang terpenting Neng sudah lebih tabah."

Makam papa masih basah—belum genap usia makam ini dua minggu, tentu saja rasa sedih yang mendalam masih hinggap dalam relung hatiku. Namun, aku harus lebih tegar dari sebelumnya. Meraung dan menjerit tak akan mengubah takdir, papa telah tiada. Semoga beliau ditempatkan di tempat terbaik di sisi-Nya.

Aku dan Mas Awan melantunkan beberapa ayat suci alquran saat berziarah. Ini memang kebiasaanku sejak lama. Saat berkunjung ke makam mama, biasanya aku akan mengaji beberapa lembar ayat suci alquran serta memanjatkan beberapa doa untuk para ahli kubur.

Walaupun sudah bertekad untuk menjadi lebih tegar, ternyata air mata ini tak sanggup terbendung cukup lama. Sesekali dia lolos dan membasahi pipi. Aku menyekanya berulang kali, namun air mata ini urung berhenti mengalir.

"Kamu kuat, Rin." Mas Awan selalu menghibur ketika aku benar-benar merasa sedih dan tertekan. Dia mendekap erat tubuhku yang sesekali sesegukan saat menahan tangis.

Usai melantunkan beberapa ayat suci, aku bercerita tentang apa yang sedang kualami di depan makam kedua orang tuaku. Aku sedang hamil sekarang, usia kandunganku sudah masuk empat minggu. Sekiranya itulah yang dikatakan oleh dokter kandungan kemarin siang.

Ternyata tidak jauh dari tempat kami berada, ada dua orang penggali kubur yang sedang bekerja. Mereka mencangkul sebuah kubur yang hampir jadi. Kematian memang tidak dapat diprediksi—kapan pun dan di mana pun. Kita yang masih mudah bukan berarti masih memiliki umur yang lebih panjang dari seorang lansia. Kita yang selalu berada di tempat aman bukan berarti bisa menghindari maut.

Umur tak dapat diprediksi. Selagi memiliki napas dan kekuatan, jadilah se-bermanfaatnya manusia. Setidaknya itu yang kuyakini dari dulu. Biar lah orang lain tidak bermanfaat bagimu, setidaknya kamu bermanfaat bagi orang lain. Walaupun hidup berakhir, setidaknya ada sesuatu yang dikenang dari dirimu: ada yang mendoakanmu.

"Mas, kalau aku mati lebih awal, kamu boleh menikah lagi. Tapi, tolong kuburkan aku di sini ya. Aku sudah membeli tanah untuk liang lahatku," ucapku menatap lekat mata suamiku.

"Umur enggak ada yang tahu, Rin. Jangan bicarakan kematian seolah-olah kamu lebih tahu dari Tuhan. Tugas manusia hanya memperbanyak ibadah." Nasihat Mas Awan memang sepenuhnya benar, tapi rasanya aku ingin melangkahi orang-orang sekitarku dalam hal ini. Sudah cukup aku merasakan kehilangan orang-orang yang kusayangi.

"Kita pulang sekarang?"

Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan Mas Awan. Kami berjalan pelan sambil sesekali mengitari pandangan ke arah makam-makam yang berjejer di sekitar. Pa, Ma, kami pulang dulu ya. Kami akan sering-sering berziarah ke sini.

"Mang Ujang, kami pamit ya." Aku berpamitan dengan pengurus makam yang sedang mencangkul gundukan tanah itu.

"Iya Neng. Hati-hati."

Hari menjelang siang, matahari sudah memunculkan teriknya dengan percaya diri. Orang yang sedang menjemur sesuatu pasti akan sangat bersyukur atas rasa percaya diri Sang Surya. Namun, para kuli bangunan yang jelas akan merasa sengatan matahari lebih tajam dari biasa mungkin akan merasa tersiksa.

Pemakaman kedua orang tuaku terletak di dekat daerah kelahiranku. Aku dan mama pindah ke kota lain sejak rumah kami di sita. Di sinilah kotanya. Kota yang tidak penuh kebisingan—hanya ada beberapa bangunan kecil tempat para pengusaha membangun bisnisnya dalam berniaga. Udaranya juga masih belum terlalu terkontaminasi dengan asap kendaraan yang berlalu lalang.

Mobil yang kami tumpangi melaju di tengah lenggangnya jalan raya. Sesekali lewat bus antar kota yang membunyikan klaksonnya.

"Mas Awan, awas!" teriakku lantang sambil meraba apa yang bisa kujadikan pegangan.

Seorang anak kecil yang tiba-tiba muncul dari arah utara itu hampir tertabrak dengan mobil kami. Apa yang orang tuanya lakukan, kenapa membiarkan anak sekecil ini berlarian di jalan raya?

"Allahuakbar!" Kami langsung turun dari mobil untuk memeriksa keadaan anak yang mungkin saja terserempet mobil.

Lihat selengkapnya