Tak ada yang berbeda antara hari ini dengan hari-hari biasanya. Selasa siang ini aku hanya berkutat di dalam ruangan klinik sambil menemui pasien yang berkonsultasi. Perutku kini kian membesar, usia kandungan sudah memasuki bulan ke tujuh.
Sebenarnya aku sudah meminta Zara untuk membatasi jumlah pasien yang datang per harinya. Maklum saja, sekarang aku sudah tidak terlalu sanggup untuk duduk berlama-lama untuk berkonsultasi dengan pasien. Namun, berhubung sudah banyak daftar pasien yang membuat janji dari beberapa minggu lalu, sekarang aku terpaksa menerima lebih banyak pasien dari target harian.
Mentari semakin membanggakan dirinya. Sinarnya menembus kaca jendela ruangan. Aku tak bisa membayangkan para pejuang nafkah di jalanan, menahan teriknya pancaran mentari yang membakar kulit.
Hari ini Mas Awan akan pergi ke Semarang. Katanya ada yang harus diurus di toko roti barunya. Maklum saja, umur toko roti itu baru sekitar dua bulanan. Jadi, Mas Awan masih harus sering memantau sendiri. Mungkin sebentar lagi dia akan pergi. Toko roti di sini akan diurus oleh Mas Asep untuk setengah hari lagi.
Jam dinding bundar ruanganku sudah menunjuk angka dua sejak sepuluh menit lalu. Mas Awan belum kunjung pulang untuk persiapannya ke Semarang. Padahal, semakin telat dia berangkat, semakin telat pula nanti dia kembali pulang.
Namun, tak berselang lama setelah aku menduga-duga, suamiku pulang. Aku mengekorinya naik ke lantai atas. Meski kesusahan naik turun tangga, tapi tak masalah lah, siapa tahu ada yang bisa kubantu untuk persiapan Mas Awan ke Semarang.
"Mas, kalau kira-kira sudah kemalaman untuk pulang, lebih baik Mas nginap di hotel saja. Dari pada memaksakan diri malam-malam." Jujur aku khawatir dengan orang-orang yang mengemudi di malam hari, terlebih saat larut malam. Para pengemudi itu pasti menahan kantuk mereka. Aku tahu bagaimana susahnya menahan kantuk dan apa dampak yang mungkin bisa disebabkan olehnya.
"Aku janji akan pulang malam ini, Sayang. Insya Allah semuanya akan baik-baik saja dan aku akan sampai di rumah dengan selamat," jawabnya sambil membawaku ke dalam pelukannya.
Sekarang, untuk berpelukan saja sudah susah. Perutku benar-benar sudah membesar. Apalagi aku yang sedang mengandung anak kembar, tentu ukuran perutku lebih besar dari kehamilan tunggal.
"Pokoknya jangan paksakan diri kalau kamu mengantuk di tengah jalan," ucapku sekali lagi mengingatkan. "Aku bisa meminta Zara untuk menginap di sini kalau Mas khawatir aku tinggal sendirian."
"Iya. Nanti aku usahakan untuk tidak pulang terlalu larut ya. Biar bisa melek deh." Sebuah kecupan didaratkan di dahiku.
Bukannya terlalu berlebihan, tapi menurutku ini hanya bentuk antisipasi untuk mencegah terjadi hal yang tidak-tidak. Karena sebelum-sebelumnya, Mas Awan selalu pergi pagi-pagi ke Semarang. Sorenya dia sudah kembali ke rumah.
"Nak, papa pergi sebentar ya. Kalian tidak boleh nakal di dalam perut mama," ujar Mas Awan sambil berjongkok mengelus perut besarku. Aku menyunggingkan senyum sambil sesekali memijat pinggang yang terkadang terasa nyeri.
"Iya, Papa," jawabku menirukan suara anak kecil. Hal itu menimbulkan gelak tawa di antara kami untuk sesaat.
Akhirnya Mas Awan berangkat setelah berpamitan denganku dan para penghuni klinik lainnya.
Syukurlah selama tujuh bulan kehamilan ini, aku tak pernah merasakan ngidam sesuatu yang aneh. Semua berjalan lancar tanpa ada rintangan yang cukup berarti. Sekali-dua kali mual-mual di pagi hari sudah menjadi rutinitasku tiap hari. Namun, aku masih bersyukur karena hanya mual-mual ringan yang kualami. Selebihnya tidak ada.
Mengidami makan malam di Monas? Atau gado-gado di tengah malam? Aku tak pernah merasakan itu. Walaupun kata Mas Awan, dia sudah siap siaga selama 24 jam jika aku meminta hal-hal aneh seperti itu.
Alhamdlillah a'la kulli hal.
Sesungguhnya semua itu adalah rezeki yang diberikan oleh Allah untukku. Semakin bertambah usia, aku semakin tahu bahwa rezeki itu tidak semata-mata tentang uang dan kesuksesan. Bisa bernapas dengan normal, merasa tenang setiap saat, melihat apa yang ingin dilihat, dan tetap bersama dengan orang tercinta juga merupakan rezeki yang diberikan oleh Tuhan untuk kita. Namun, terkadang manusia tak menyadari hal-hal berharga ini.
"Ra, kalau tidak ada pasien lagi, kita tutup klinik saja."
"Sayangnya ada, Bu. Soalnya selama ini kita sering buka klinik setengah hari saja. Makanya pasien yang sudah buat janji jadi menumpuk dari hari ke hari," jawab Zara. Gadis ini tersenyum sambil menahan rasa bersalah.
Huft. Gagal sudah rencanaku ingin rebahan. Segalanya hanya tinggal angan saja. Sampai ketemu nanti Magrib wahai kasurku. Sungguh aku merindukanmu melebihi rinduku pada donat Mas Awan.
"Semangat, Bu," tambah asistenku ini sambil membuat kepalan dua tangannya untuk ditunjukkan padaku.