Ruang Kelabu

Fey Hanindya
Chapter #34

33. Runtuh

Kurenggangkan tubuh sambil sedikit memijat tengkuk leher yang terasa sakit. Mungkin posisi tidurku salah. Sekilas kulirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Sekarang sudah jam tiga dini hari. Sesaat sebelum bus berhenti di terminal tujuan, aku memang sudah berancang-ancang untuk memesan taksi online menuju rumah sakit Medika Husada.

Alhamdulillah, setelah dua kali gagal menemukan sopir taksi, akhirnya pemilik mobil Avanza hitam ini bertakdir untuk bertemu denganku. Ya Allah, lindungilah aku dan calon anak-anakku.

Bermodalkan nekat dan keberanian yang sebenarnya hanya setengah-setengah, kumantapkan langkah masuk ke dalam taksi online yang sudah tiba di depan bus. Semoga saja aku tidak menjadi korban kejahatan sopir taksi seperti yang tersiar di berita-berita itu.

Di sepanjang perjalanan, mataku menatap nanar jalan dari kaca depan taksi. Tak seperti kotaku berasal, meski sudah dini hari, setidaknya masih ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang. Namun di kota ini, jalanan benar-benar lenggang tak ada kehidupan.

Dalam hati tak henti-hentinya aku memanjatkan doa untuk keselamatan kami. Semoga aku bisa tiba sampai di tujuan dengan selamat. Sesekali sopir taksi ini membuka pembicaraan. Mungkin suasana hening membuatnya sedikit canggung dan mengantuk.. Namun, aku hanya menjawab yang penting-penting saja. Semakin ke sini, pikiranku semakin susah untuk fokus dan positif.

Avanza hitam ini akhirnya memasuki pekarangan rumah sakit Medika Husada. Maafkan saya, Pak, karena sudah berprasangka buruk sedari tadi.

Suasana rumah sakit dini hari terlihat sangat sepi. Tak ada orang berlalu lalang seperti halnya siang hari. Hanya ada beberapa satpam dan perawat yang terlihat modar mandir di dalam koridor.

Aku segera berlari masuk dan menghampiri meja resepsionis sambil menahan napas yang terengah-engah. Kueratkan lagi jaket yang membalut tubuh. Suasana dingin seakan langsung menerpaku usai turun dari taksi.

"Permisi, Mbak. Pasien kecelakaan yang semalam masuk atas nama Awan dirawat di kamar mana?" tanyaku memburu.

"Ruang Melati nomor 103, Bu. Koridor sebelah kanan, belok kiri, kamarnya berada di sebelah kiri ibu," jawab resepsionis itu sambil menunjukkan jalan padaku.

"Apakah Ibu keluarga Pak ..."

Tanpa berpikir panjang dan menjawab pertanyaan orang itu, aku langsung berlari dengan susah payah sambil menyeimbangkan tubuh dengan perut besarku menuju kamar inap itu. Semoga tidak ada hal buruk terjadi padanya.

Aku tak mengerti lagi dengan perasaan yang bercampur aduk saat melihat suami terbaring di atas ranjang rumah sakit. Seluruh kepalanya dibalut perban. Ada banyak sekali alat-alat lain yang menempel di tubuhnya, termasuk alat bantu pernapasan yang terpasang di mulutnya. Aku dapat melihat embun di sana karena orang yang tengah berbaring ini masih bernapas teratur.

Senang karena bisa melihat Mas Awan yang masih mengembuskan napas. Sedih karena melihat kondisinya yang sangat memprihatinkan. Lagi-lagi air mataku jatuh. Kini semakin deras hingga aku harus menutup mulut agar suara tangisku tak mengganggu.

Kaki kirinya pun terlilit perban. Aku ingin bertanya tentang kondisi suamiku sekarang. Namun, tak ada satu pun perawat yang memasuki ruang inap ini. Selain itu, dokter yang menangani suamiku pasti sudah tidak sedang berada di rumah sakit lagi.

Sepanjang waktu, aku terus saja memegang tangan suamiku yang masih bergeming. Sesekali aku seolah bercakap-cakap dengannya, meski tahu kalau percakapan ini akan selalu menjadi monolog antar diriku saja.

Tak ada yang bisa kulakukan sekarang, hanya doa yang terus kukumat-kamitkan untuk kesembuhannya. Jika bisa bertukar tempat, aku rela berbaring di ranjang ini menggantikan posisinya. Pemandangan ini benar-benar membuat napasku sesak.

"Mas tahu? Aku tadi berani sekali tengah malam, tanpa persiapan apa-apa, langsung menuju ke sini." Aku membisik sembari menghapus lagi air mata yang masih saja mengalir.

Hening seketika. Hanya terdengar detak jarum jam dinding, sesenggukanku sesekali, dan bunyi monitor yang terhubung dengan tubuh Mas Awan.

Sebentar lagi subuh. Aku masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan wajah yang sangat sembab sambil berwudu. Sejujurnya, tubuhku terasa sangat lemas sekarang. Lututku sesekali bergetar. Aku ingin istirahat sekejap saja, tapi mata ini tak dapat terpejam. Bagaimana seorang istri bisa tidur saat memikirkan kondisi suaminya yang masih kritis dan terbaring lemah tak berdaya seperti itu?

***

Pagi yang suram. Itulah yang kurasakan.

Aku mendengar beberapa derap langkah di lorong rumah sakit. Mereka seolah mendekati ruangan ini.

Benar saja, seorang perawat membukakan pintu memunculkan seorang dokter laki-laki muda di belakangnya. Sontak aku bangun dari kursi dan memberi salam kepada mereka. Perawat itu langsung cekatan mengerjakan tugasnya, mengganti cairan inpus yang hampir habis.

Usai melakukan beberapa pemeriksaan, dokter dengan perawakan tenang dan ramah ini mendekat dan menjelaskan tentang kondisi Mas Awan padaku.

"Ibu pasti suami dari pasien yang baru tiba semalam? Kondisi pasien masih kritis. Sepertinya kepala pasien terbentur keras akibat kecelakaan itu. Sehingga menyebabkan otaknya cedera yang menimbulkan trauma karena pendarahan pada otak.

"Saya tidak bisa menjamin apapun sekarang. Pasien bisa bertahan saja sudah membuat kita semua bersyukur. Kemungkinan pasien ini mengalami koma dalam waktu yang tidak bisa diprediksi. Selain itu, di bagian kaki pasien juga mengalami patah. Namun, Ibu tidak perlu khawatir. Kerusakan di bagian kaki akan segera pulih kembali."

Lihat selengkapnya