"Mbak, nanti sore mau ke rumah sakit kan? Aku ikut ya," pinta Zara secara tiba-tiba saat aku baru saja menyelesaikan konsultasi dengan pasien keduaku.
"Boleh, Ra."
"Kita berangkat pakai mobilku saja, Mbak. Aku pulang dulu untuk ganti baju, setelah itu aku jemput Mbak di sini."
"Ok."
Tak terasa, dua bulan sudah berlalu. Mas Awan masih saja terbaring dan tak kunjung membuka mata di atas ranjang rumah sakit. Bahkan hingga saat ini, tak ada tanda-tanda perkembangan kondisi kesehatannya. Semuanya masih sama seperti saat itu.
Tiap hari rutinitasku sudah berubah. Usai klinik tutup, aku akan berangkat menuju rumah sakit, terkadang aku menginap di sana. Tapi, jika benar-benar sedang tidak enak badan, aku akan memilih untuk pulang ke rumah.
Usia kehamilanku sudah mencapai sembilan bulan. Hanya tinggal menghitung jari saja sampai aku akan melahirkan. Ini benar-benar di luar nalarku. Semua yang dulu kubayangi, lenyap dalam sekejap. Tak akan ada Mas Awan saat aku melahirkan nanti. Tak akan ada Mas Awan yang membantuku mengurus anak kami saat awal-awal nanti.
Kenapa kamu begitu lama ingin beristirahat, Mas? Apa sebenarnya kamu marah denganku? Kamu tak ingin bertemu denganku karena malam itu aku mengingkari laranganmu untuk makan makanan cepat saji? Jika benar itu, aku mohon maaf, Mas. Aku bersumpah tak akan mengulanginya lagi. Apapun perkataanmu akan kuturuti, yang penting kamu segera sadar.
Aku tak pernah melewatkan doa untuk kesembuhan suamiku usai salat. Padahal sudah dua bulan berlalu, tapi diri ini masih belum cukup lihai untuk menahan tangis. Selalu saja ada air mata yang lolos, jatuh membasahi mukena.
Satu-satunya alasanku masih mencoba untuk tetap kuat adalah karena anak-anak yang sedang berada dalam kandunganku. Mungkin jika mereka tidak ada, aku akan mendekam di rumah sakit jiwa. Rentetan cobaan yang menerpa benar-benar hampir membuat akal sehatku hilang. Aku sangat tertekan dengan semua ini.
A ... argh!
Apa dosa besar yang telah kuperbuat sampai harus menanggung semua ini? Kenapa tak ada habis-habisnya? Aku muak, Tuhan. Aku muak dengan masalah besar yang selalu datang tiada hentinya.
"Mbak Erina, ayo kita berangkat!"
"Loh, Mbak? Kenapa?" Zara tiba-tiba masuk ke dalam kamarku dan melihat situasiku yang sangat kacau sekarang.
Aku terduduk di samping ranjang sambil terus memukul-mukul lantai, meraung-raung seperti orang yang sedang kerasukan.
"Sudah cukup, Mbak. Istighfar! Semuanya akan segera kembali membaik," ucap Zara memegang tanganku, menghentikan tingkahku yang seperti orang gila.
"Aku lelah berpura-pura baik-baik saja, Ra."
Zara memeluk erat sambil terus mengatakan hal-hal yang dapat menenangkanku. Semuanya akan segera kembali membaik. Kata-kata itu kucoba tanamkan lagi di dalam kepala. Meski rasanya semakin sulit saja dari waktu ke waktu.
Secangkir teh hangat disuguhkan oleh Zara. Kepulan asap yang masih saja menari-nari di tepian gelas itu segera kutiup. Andai masalahku bisa hilang hanya dengan sekali tiupan seperti ini.
"Sudah merasa baikkan, Mbak?" Asistenku ini adalah orang yang selalu ada saat Mas Awan hanya berbaring di ranjang rumah sakit. Dialah yang selalu memperhatikan dan memberikan semangat untukku.
"Terima kasih ya, Ra, karena sudah selalu ada."
Gadis itu hanya menyunggingkan senyum lebarnya untukku.
Saat perjalanan menuju rumah sakit, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku. Tatapan nanar, pikiran juga kosong. Zara memutarkan lagu favoritnya untuk memecah keheningan.
Walaupun musik itu terus saja mengalun berirama, namun pikiranku masih tetap sama: kosong. Tak ada harapan terbesarku untuk sekarang ini selain tersadarnya Mas Awan dari komanya. Aku merindukanmu, Mas.
"Mbak, umur kehamilannya kan sudah sembilan bulan, apa tidak ada kontraksi atau hal semacam itu?" Pertanyaan Zara yang ini membuat lamunanku buyar.
Benar juga, harusnya aku sudah merasakan hal-hal sejenis itu. Apa karena selama ini aku hanya mencemaskan keadaan Mas Awan, lantas abai dengan keadaanku sendiri ya? Aku juga tidak pernah memeriksa kandunganku lagi semenjak Mas Awan sakit.