Ruang Kelabu

Fey Hanindya
Chapter #36

35. Sembuhkanlah Suamiku

Waktu terus berlalu tanpa peduli dengan penduduk bumi yang masih tertinggal. Kini umur bayi kembarku sudah memasuki bulan ke enam. Aku menamai keduanya dengan nama Nara Zhafran Muhammad dan Nava Kinaan Muhammad. Entah kenapa aku tertarik dengan kedua nama itu. Mungkin karena artinya yaitu lelaki sejati dan pemimpin yang menjadi doa dari pengganti yang hilang.

Kedua anakku adalah bentuk pengganti dari mereka yang telah pergi jauh dariku: mama, papa, dan orang-orang yang kusayangi. Terima kasih, Nak. Kalian sudah hadir dan menemani mama di dunia ini.

Aku memutuskan untuk membuka lagi klinik dan kembali praktik di rumah sakit setelah beristirahat total selama dua bulan. Bukannya tak merasakan kerepotan mengurusi dua anak kembar sekaligus bekerja, aku bahkan menyewa jasa babystitter untuk membantu mengurus Nara dan Nava, tapi aku rindu dengan kegiatan rutinitas harianku. Rasanya jenuh sekali hanya berkutat di rumah saja.

Selain itu, satu bulan pasca melahirkan, kuputuskan untuk membawa Mas Awan pulang ke rumah. Sama halnya seperti bulan awal suamiku dirawat; tidak ada perkembangan apa pun, hingga detik ini pun Mas Awan tidak menunjukkan gerakan apa-apa.

Ada beberapa kasus yang pernah kubaca di artikel tentang orang-orang yang mengalami koma akibat pendarahan pada otak. Kemungkinan sadar itu ada, hanya saja kondisinya tidak akan kembali normal dan akan ada kecacatan yang terbilang berat.

Sebenarnya aku juga kewalahan dengan biaya rumah sakit yang tidak sedikit, terlebih lagi biaya persalinan dan keperluan bayi kembar yang tidak sedikit. Aku benar-benar bingung memikirkan keuangan yang semakin hari semakin merosot. Oleh karena itu, sebaiknya merawat Mas Awan di rumah saja. Tidak perlu mengeluarkan uang terlalu mahal untuk biaya inap lagi, hanya butuh untuk alat-alat medis yang diperlukan oleh pasien koma.

"Bu, saya bawa Nara sama Nava main ke bawah boleh? Sudah lama saya tidak bertemu dengan mereka berdua," pinta Zara padaku seraya memasang wajah memelasnya.

"Boleh, asalkan kamu tidak melalaikan pekerjaanmu sendiri."

Ekspresi Zara sangat girang saat mendapat izin untuk bermain bersama anak-anakku. Dia langsung berlari menuju lantai atas untuk menemui mereka. Ini masih jam 10 siang, artinya bayi kembarku itu sedang sibuk bermain bersama babysitter mereka. Tidak ada salahnya jika mereka bertemu dengan orang-orang baru di sini.

"Hei, jagoan mama ini." Aku langsung mengambil Nava yang sedang digendong oleh Bi Siti, babysitter anak-anakku.

Kulit mereka berdua benar-benar persis sama sepertiku, putih langsat. Ya, walaupun menurutku warna kecokelatan lebih cocok untuk kulit anak laki-laki, tapi aku yakin anak-anakku yang berwajah lucu dan rupawan ini cocok dengan warna kulit apa pun. Ha ha.

"Nara, tante punya sesuatu loh buat Nara," ucap Zara dengan wajah antusias sambil membawa lari Nara dalam gendongannya menuju meja kerja miliknya. Sebuah mainan berbentuk alat musik krecek keluar dari dalam tas Zara. Tak usah ditanya lagi bagaimana ekspresi anakku yang satu itu. Dia langsung merampas mainan itu dan memainkannya dengan semangat menggebu-gebu.

Hei, Nak. Kamu seakan mengatakan pada Tante Zara kalau mama jarang sekali membelikanmu mainan.

Melihat saudaranya memegang mainan, otomatis Nava merengek ikut meminta mainan juga. "Nak, nanti mainnya gantian ya. Ini ada mainan Nava," tuturku sambil mengeluarkan mainan yang dipegang Bi Siti. Namun, bukan anakku namanya kalau menurut pada perkataanku begitu saja. Dia akan terus merengek-rengek hingga keinginannya terpenuhi.

"Eh, Nava juga mau? Ini tante juga bawain satu lagi dong buat Nava," sahut Zara seraya mengeluarkan mainan yang sama persis untuk kembaran Nara. Lihat? Mereka langsung lalai dengan dunia mereka sendiri. Bodoh amat dengan orang sekitar, yang penting aku main ya, Nak? Baiklah.

Aku bisa bermain dengan anak-anak jika sedang tidak ada pasien yang datang. Jika ada konsultasi dengan pasien, tentu saja seorang psikolog harus bekerja secara profesional. Aku tak bisa membawa anak-anak masuk ke dalam ruang konsultasi, meski terkadang mereka merengek tak ingin lepas dariku.

Pekerjaanku tidak seperti orang yang berjualan—bisa multitasking antara berjualan dan mengurus anak. Ini menyangkut kehidupan seseorang. Penyakit mental tak dapat disepelekan dan dikesampingkan begitu saja. Jika salah penanganan, bisa berakibat fatal pada pasien itu sendiri.

"Assalamualaikum." Seorang wanita paruh baya tiba-tiba masuk setelah dibukakan pintu klinik oleh Pak Dito.

"Wah, Bu Mirna. Aku rindu sekali dengan Ibu. Sudah sebulan ibu tidak ke sini. Biasanya hampir setiap hari kita bertemu," teriakku sambil melangkah ke arahnya. Aku memeluk pelan tubuh wanita itu sambil membawa Nava yang masih dalam gendongan.

"Eh, siapa ini? Siapa namanya ini?" Bu Mirna langsung mengajak si kecil ini berbicara dengan caranya sendiri. Anak-anakku sekarang sudah bisa mengucapkan beberapa kata, meski belum lancar. Ya, namanya juga baru belajar. Mereka benar-benar menjadi penghibur di tengah masalah-masalah yang sedang kuhadapi.

Lihat selengkapnya