Beberapa minggu tak ada kabar dari Bayu, membuatku berpikir apa mungkin Bayu benar-benar akan menjauh dan pergi. Ternyata pertengahan April lalu, dia datang ke rumahku untuk memeriksa kondisi Mas Awan. Bayu memang selalu datang memeriksa kondisi suamiku tiap pertengahan bulan. Itulah yang selalu dilakukannya selama hampir tiga tahun ini.
Suasana di antara kami memang cukup canggung. Sebenarnya bukan kami, sepertinya hanya aku saja. Lelaki itu malah bersikap layaknya tak ada yang pernah terjadi. Santai dan ramah seperti biasa.
Dia bilang padaku, "Tak usah kamu hiraukan tentang pernyataanku saat itu, Er. Lupakan saja. Aku hanya ingin berusaha sekali lagi, tapi lagi-lagi aku masih menuai kegagalan. Mulai sekarang aku hanya akan bersikap profesional sebagai dokter suamimu saja. Aku tak akan mendekatimu di luar hal ini. Terima kasih untuk selama ini." Begitulah ucapnya sambil mengulum senyum di bibir. Hal itu sekilas dari lubuk hati terdalam ada rasa bersalah yang muncul.
Meski dia sudah memintaku untuk melupakan itu, tapi hei, melupakan itu tak segampang membalikkan telapak tangan. Mungkin hingga waktu yang tak terhingga, aku akan merasa canggung jika bertemu lagi dengan Bayu.
Tiga tahun empat bulan adalah waktu yang sudah dihabiskan oleh suamiku dengan berbaring di atas tempat tidur saja. Dia sempat menunjukkan beberapa pergerakan, namun ternyata itu hanya gerakan dari alam bawah sadarnya. Hal yang lumrah terjadi.
Pancaran sinar mentari mulai terlihat dari pantulan kaca jendela. Aku sedang asyik berbincang ria dengan Zara melalui ponsel sambil memasak camilan untuk Nara dan Nava. Ini memang menjadi rutinitasku tiap hari Minggu sejak si kembar mulai bisa mengunyah. Seluruh waktuku adalah milik anak-anakku, tak ada Bi Siti.
"Mbak, aku main ke rumah boleh?" tanya Zara dari seberang ponsel.
Pengeras suara ponselku yang nyala membuat diriku mudah untuk langsung menjawab sambil tetap memasak. Sesekali Nava akan menimpali obrolan kami berdua. Anak ini memang yang paling senang membantuku memasak di dapur. Tak seperti Nara, dia lebih senang bermain dengan mainannya di dalam kamar.
"Boleh dong, Ra. Kebetulan aku sedang memasak sesuatu. Anak-anak pasti senang kalau kamu datang," jawabku sembari mencuci wajan yang kotor.
Semua masakan sudah siap dimakan. Aku hanya perlu mencuci beberapa peralatan masak agar tak terlalu menumpuk di dapur mungilku ini.
"MAMA ...!"
Aku mendengar teriakan Nara dari dalam kamar. Sontak langsung kutinggalkan panci yang belum dibilas dan langsung berlari ke arah sumber suara.
"Kenapa, Nak? Jatuh? Apa yang sakit, Nak?" tanyaku panik sambil memeriksa keningnya yang mungkin memar.
Ternyata anak ini bukan berteriak karena jatuh. Dia menunjuk ke arah kasur, tempat papanya berada.
"Allahuakbar! Mas!"
Suamiku telah sadar dari tidur panjangnya. Dia sedang memosisikan tubuhnya untuk bisa duduk, namun terlihat kesusahan. Aku berlari secepat kilat ke arahnya dan memeluk erat tubuh yang sangat kurus ini, mengucapkan berulang kali kalimat syukur. Rasa haru membuat air mataku jatuh, namun segera ku hapus.
Tanpa sadar alat bantu pernapasan sudah terlepas dari mulut Mas Awan.
"A-apa yang terjadi denganku, Rin?" tanya Mas Awan dengan raut wajah linglung. Kalimat yang keluar dari mulutnya juga terdengar putus-putus. Dia terlihat kesusahan untuk berbicara, suaranya terbata-bata.
"Nanti akan kuceritakan, Mas. Bagaimana perasaanmu sekarang? Ada yang sakit atau butuh sesuatu?" tanyaku masih dengan nada menderu karena keterkejutan itu. Ternyata, air mataku dari tadi sudah menetes dan semakin tak terbendung lagi. Aku sangat bahagia melihat suamiku sudah sadar.
"Ja-ngan nangis, Rin. Padahal baru minggu lalu ki-ta menikah, tapi a-aku sudah membuatmu menangis. Na-nti papamu bisa marah pa-daku," tuturnya seraya menatap lekat mataku.
Apa? Minggu lalu? Mas, umur anak kita bahkan sudah tiga tahun. Apa maksudnya ini?
"Itu anak siapa, Rin?" tanya Mas Awan melihat Nara dan Nava yang berdiri berseberangan denganku. Mereka hanya berdiri mematung, tak berani mendekat ke arah Mas Awan. Seketika tingkah aktif mereka menciut bak ditelan bumi.
"Mereka anak-anak kita, Mas. Namanya Nara dan Nava. Kamu tak ingat sebelum koma aku sedang hamil besar?" Kenapa Mas Awan tak ingat dengan kejadian sebelum dia koma? Suamiku itu hanya menggeleng dan memasang tampang bingung.