Ruang Kosong

Aurora Lyra š™š
Chapter #1

01. Persimpangan Jalan

Di persimpangan jalan yang lengang, Liora berdiri di tepi jalan, menatap lampu merah yang berkedip pelan. Seharusnya ia melangkah menyeberang, tapi entah kenapa kakinya terasa berat, seolah sesuatu menahannya di tempat.


Hujan baru saja reda, menyisakan genangan di jalanan dan udara yang lembap. Aroma aspal basah bercampur dengan dinginnya malam, membungkus tubuhnya dalam kesunyian yang asing. Liora tidak ingat sudah berapa lama ia berdiri di siniā€”menatap ke arah yang sama dan tak tau harus pergi ke mana.


Sebenarnya, Liora bukan tipe orang yang seperti ini. Tapi kali ini berbedaā€”kesedihan menyelimutinya saat mengingat kembali perkataan ayahnya siang tadi. Menurutnya, apa yang dikatakan ayahnya siang tadi adalah yang paling menyakitkan dari semua perkataan ayahnya sebelumnya.


Di tengah lamunannya, tiba-tibaā€”


Tin! Tin!


Suara keras dari klakson membuyarkan lamunannya.


Liora tersentak. Baru sadar ia sudah melangkah terlalu maju, hampir ke tengah jalan.


Dalam hitungan detik, sebuah tangan mencengkeram kuat pergelangan tangannya, menariknya kembali ke trotoar dengan kasar.


Brak!


Tubuhnya membentur dada seseorang. Napasnya memburu, jantungnya berdegup kencang.


Liora mendongak. Tepat di depannya, seorang pria berdiri menatapnya tajam.


"Kamu ini punya nyawa cadangan?" tanyanya, suaranya terdengar datar, tapi sarat dengan kekesalan.


Liora terdiam, tenggorokannya tercekat.


Pria itu mengangkat alisnya, seolah menunggu jawaban. Tapi melihat ekspresi Liora yang masih shock, ia hanya menghela napas panjang.


"Kalau mau melamun, jangan di sini. Ini tempat untuk nyebrang, bukan untuk cari mati."


Kalimat itu seharusnya hanya teguran biasa, tapi entah kenapa, kali ini terasa sangat menusuk dadanya.


Liora menunduk, menggigit bibirnya. Rasa bersalah menyelimutinya.


Bodoh.


la mengutuk dirinya sendiri.


Udara malam terasa semakin dingin, Liora masih berdiri di tempatnya, bahkan setelah pria asing itu melepas genggaman tangannya.


Harusnya dia berterima kasih pada pria itu, tapi bibirnya masih terasa berat untuk sekadar membuka suara.


Pria itu masih menatapnya, tapi kali ini lebih tenangā€”seolah ingin memberinya ruang untuk sedikit bernapas lega. Lalu, tanpa diduga, pria itu merogoh saku jaketnya dan menyodorkan sesuatu ke arah Liora.


Liora berkedip. Permen Cokelat? batinnya.


Pria itu mengangkat dagunya, lalu berkata, "ambil!"


Liora diam sejenak, menyipitkan mata curiga. Jemarinya terulur ragu-ragu, menyentuh plastik pembungkus permen yang terasa sedikit lembap karena udara malam.


Lihat selengkapnya