Ruang Kosong di Meja Nomor 9

Penulis N
Chapter #1

1

Naya menyukai kafe tua itu lebih dari apapun. Suasana sepi dan tenang menjadi tempat ideal untuknya, seorang penulis yang tengah berjuang dengan cerita-cerita yang tak kunjung selesai. Kafe itu tak ramai pengunjung, hanya beberapa orang yang datang sekali-sekali untuk menikmati secangkir kopi di tengah hiruk-pikuk kota. Di sana, di sudut yang paling jauh, terdapat meja nomor 9. Meja yang selalu menjadi tempat duduknya, tempat di mana ia merasa nyaman menulis, menyusun kata-kata yang berusaha menemukan makna.

Namun, ada satu hal aneh yang tak pernah ia pahami. Meja itu—meski sering kosong—selalu tampak seolah ada seseorang yang menunggu di sana. Tidak pernah ada yang memesan meja nomor 9, tetapi Naya merasa, entah bagaimana, ada yang menjaga tempat itu tetap hidup. Suatu hari, setelah menulis selama berjam-jam, Naya menemukan secarik catatan terlipat di bawah meja, bertuliskan:

"Terima kasih sudah menjaga tempat ini tetap hidup."

Pada awalnya, Naya menganggapnya hanya lelucon dari seorang pengunjung iseng, namun semakin lama ia datang, semakin banyak kejadian aneh yang tak dapat ia jelaskan. Setiap kali ia duduk di meja nomor 9, benda-benda kecil mulai muncul: pena kuno, cangkir retak, bahkan buku tua yang seolah milik seseorang yang tak pernah ia temui. Anehnya, benda-benda itu seperti memiliki hubungan dengan cerita yang sedang ia tulis, dan kehidupan nyata serta fiksinya mulai terjalin dalam cara yang tak dapat ia pahami.

Apa yang sebenarnya terjadi di meja nomor 9? Siapakah yang menulis pesan itu? Dan mengapa dunia fiksi yang ia ciptakan terasa begitu nyata?

Ini adalah kisah tentang penulis, misteri, dan takdir yang berkelindan di ruang kosong yang tampaknya tak pernah terisi.

Kafe itu tidak pernah ramai. Bahkan pada hari Sabtu sore seperti ini, hanya ada dua pengunjung lain selain dirinya—sepasang muda-mudi yang sibuk dengan ponsel dan minuman mereka masing-masing. Di antara dentingan sendok dan alunan musik jazz yang samar, suara ketikan dari laptop Naya menjadi irama pelengkap.

Ia duduk di meja nomor 9. Selalu di situ. Sudut dekat jendela, menghadap ke pohon beringin tua yang berdiri di pelataran kecil. Cahaya matahari sore menembus tirai tipis, menciptakan pola-pola hangat di permukaan mejanya.

Meja itu seperti miliknya. Atau setidaknya, tidak ada yang pernah duduk di sana selain dirinya.

"Latte seperti biasa, Mbak Naya," ujar Deni, barista muda yang sudah hafal kebiasaannya.

"Terima kasih, Den," jawab Naya tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

Ia menulis. Atau setidaknya, mencoba menulis. Ide-ide berhamburan, tapi tak ada satu pun yang cukup kuat untuk dituangkan menjadi kalimat utuh. Tiga minggu terakhir ini, novel terbarunya mandek. Tokoh utama seperti kehilangan arah, dan Naya pun ikut tersesat bersamanya.

Tangannya berhenti di atas keyboard. Pandangannya mengarah ke meja. Meja nomor 9. Meja kayu berwarna coklat tua dengan sedikit goresan di sudutnya. Tidak terlalu istimewa, tetapi punya sesuatu yang... nyaman. Aneh memang, tapi Naya merasa lebih tenang saat duduk di sana. Seolah tempat itu memeluk pikirannya yang berantakan.

Saat ia mengangkat cangkir untuk menyeruput latte, matanya menangkap sesuatu di bawah meja. Sebuah lipatan kertas, terselip di antara papan kayu dan kaki meja.

Ia ragu-ragu sejenak, lalu menariknya keluar.

Kertas itu kusut, usang, dan berbau samar seperti buku tua. Hanya ada satu kalimat di sana, ditulis dengan tinta hitam:

"Terima kasih sudah menjaga tempat ini tetap hidup."

Alis Naya mengerut. Ia menoleh ke kanan dan kiri. Tidak ada yang memperhatikannya. Ia balik kertas itu. Kosong. Tidak ada nama, tidak ada tanggal.

Apakah ini semacam pesan promosi dari kafe? Tapi kenapa diselipkan di bawah meja?

Ia tersenyum kecil. Mungkin seseorang sedang iseng.

Atau mungkin... sebuah awal cerita?

Dan tanpa sadar, jemarinya mulai mengetik. Kata demi kata mengalir. Tentang seorang perempuan yang menemukan catatan di kafe tua. Tentang meja kosong yang menyimpan kenangan seseorang. Tentang misteri yang pelan-pelan menuntunnya pada cerita yang lebih besar.

Sementara di luar, matahari mulai tenggelam. Dan meja nomor 9... tetap terasa hidup.

Naya kembali ke kafe keesokan harinya.

Ia tahu itu terlalu cepat. Biasanya ia hanya datang dua kali seminggu, sekadar untuk mencari suasana berbeda saat menulis. Tapi ada yang mengganjal sejak ia menemukan catatan kemarin. Dan bagian dirinya yang selalu penasaran—bagian yang menjadikannya penulis—tidak bisa diam begitu saja.

Meja nomor 9 masih kosong. Seolah menunggunya.

"Pagi, Mbak Naya. Tumben, dua hari berturut-turut?" sapa Deni sambil menyeka meja di dekat kasir.

Naya hanya tersenyum. "Lagi banyak ide."

Itu tidak sepenuhnya bohong.

Lihat selengkapnya