Ruang Kosong di Meja Nomor 9

Penulis N
Chapter #2

2

Naya merasa seperti ada dua dunia yang bersinggungan dalam hidupnya. Satu dunia adalah kenyataan yang ia jalani setiap hari, dengan rutinitas sebagai penulis online yang masih berjuang. Dunia yang penuh dengan kopi, kafe, dan keyboard. Namun, dunia lain adalah dunia yang semakin menguasainya—dunia yang terhubung dengan meja nomor 9, dengan Nard, dan dengan setiap benda misterius yang muncul entah dari mana.

Malam itu, Naya kembali ke kafe dengan perasaan campur aduk. Ia membawa buku tua itu, namun ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan pengetahuan yang ia dapatkan. Semua petunjuk yang ia temukan lebih banyak menambah kebingungannya. Setiap kali ia berusaha memahami, misteri ini hanya semakin dalam dan semakin rumit.

Deni menyambutnya dengan senyum biasa, tapi ada yang berbeda dalam pandangan matanya. Naya merasa seolah-olah Deni tahu lebih banyak dari yang ia tunjukkan. Itu hanya perasaan, mungkin—tapi ia tak bisa mengabaikannya.

Ia menuju meja nomor 9 dan duduk. Seperti biasa, meja itu tampak kosong, menunggu kehadirannya. Naya mengeluarkan buku dan mulai membuka halaman-halaman yang telah membawanya pada pertanyaan yang tak terjawab. Ia menatap kalimat terakhir yang tertulis dalam buku itu, mengingat kata-kata Nard yang begitu kuat.

"Jika kau membaca ini, berarti aku sudah tidak ada lagi. Tapi ceritaku masih hidup, ada di meja nomor 9."

Apa maksudnya? Siapa Nard, sebenarnya? Dan mengapa ia seolah terjebak dalam takdirnya sendiri?

Naya menarik napas panjang dan menatap buku itu lebih lama. Pikirannya mulai melayang, mencari jejak yang lebih dalam. Jika Nard benar-benar sudah tiada, bagaimana cerita ini bisa terus hidup? Apakah ia yang membuatnya hidup dengan menulis? Ataukah ada sesuatu yang lebih besar yang mengendalikan semuanya?

Ketika Naya merenung, ia merasa ada sesuatu yang berbeda di bawah mejanya. Perlahan ia merunduk, melihat ke bawah. Kali ini, ada kunci.

Kunci kecil dengan pegangan berukir, sama seperti pena yang ia temukan beberapa hari lalu. Kunci itu tampak kuno, sama seperti benda-benda lain yang muncul satu per satu. Naya menggenggamnya, merasakan keanehan yang kembali menyelusup ke dalam dirinya. Kunci ini terasa familiar, seperti sudah ditunggu-tunggu, tapi ia tidak tahu apa yang seharusnya dibuka.

Ia mengamati kunci itu sejenak, lalu memasukannya ke dalam tas. Sesaat ia merasa seperti ada sesuatu yang harus dilakukan, tetapi ia tidak tahu apa. Hal pertama yang terlintas di pikirannya adalah mencari lebih jauh tentang Nard. Apakah ia bisa menemukan lebih banyak petunjuk tentang siapa dia sebenarnya?

Ia pun memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kecil yang sering ia kunjungi di sekitar kafe. Mungkin, ada sesuatu di sana—mungkin sebuah buku atau artikel yang bisa menghubungkan semua kejadian aneh ini.

Sesampainya di perpustakaan, Naya langsung menuju rak bagian belakang, di mana buku-buku lama biasanya disimpan. Di sana, di antara tumpukan buku-buku kuno, ia menemukan sebuah diary tua, yang sampulnya tampak usang dan hampir hancur. Tanpa berpikir panjang, ia membuka halaman pertama.

Tulisan di dalamnya sangat mirip dengan apa yang ia temui di buku yang ditemukan di kafe. Sama-sama ditulis dengan tangan yang rapi dan hati-hati. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Nama yang tertera di atas halaman pertama—Nard Pratama.

Nama itu membuat jantung Naya berdebar. Ia pernah mendengar nama ini, bukan? Tapi di mana?

Seiring dengan pembacaan Naya, dia menyadari bahwa diary ini milik Nard. Ia menuliskan setiap detail kehidupannya, penuh dengan rasa cemas dan kesedihan yang mendalam. Namun, yang paling mencuri perhatian Naya adalah tulisan yang ada di akhir diary tersebut.

"Aku tahu aku tidak punya banyak waktu lagi. Kafe ini, meja nomor 9, semuanya terasa seperti tempat terakhirku. Tapi aku harus menulis, aku harus menyelesaikan ini. Untuknya. Untuk kita."

Naya menutup diary itu dengan tangan yang gemetar. Ia merasa seperti ada sesuatu yang harus segera diselesaikan. Ini bukan hanya tentang cerita fiksi yang ia tulis. Ini tentang Nard, tentang meja nomor 9, dan tentang takdir yang sepertinya sudah saling terikat sejak lama.

Dengan hati yang berdebar, Naya memutuskan untuk kembali ke kafe, membawa diary itu bersamanya. Ia tahu bahwa hanya satu hal yang bisa ia lakukan sekarang: mencari jawaban.

Kafe itu terasa lebih sepi dari biasanya ketika Naya kembali ke meja nomor 9. Hujan masih mengguyur, suara tetesan air di jendela mengisi kekosongan yang melingkupi ruang kecil ini. Setiap langkah yang diambilnya terasa lebih berat, seolah beban dari misteri yang semakin dalam menggelayuti hatinya.

Deni tidak ada di kasir malam itu. Naya menduga dia pasti sedang sibuk dengan pekerjaannya yang lain, karena kafe yang tak terlalu ramai membuatnya tampak seperti tempat yang sepi. Tapi, meskipun kafe itu sepi, Naya merasa ada sesuatu yang berbeda. Seolah energi di tempat ini lebih padat dari biasanya, seolah setiap sudut memancarkan sebuah cerita.

Naya duduk dengan hati yang penuh tanya, menyandarkan punggungnya ke kursi, dan menatap buku diary yang ia temukan di perpustakaan. Tanpa pikir panjang, ia mulai membaca lebih lanjut.

Halaman demi halaman diary itu terbuka dengan cepat. Nard menulis tentang berbagai kejadian yang sangat pribadi. Tentang keputusasaannya, tentang mimpi-mimpi yang menghantuinya, dan tentang harapan yang terkadang terasa jauh dari jangkauan. Namun, ada satu hal yang sangat menarik perhatian Naya.

"Meja nomor 9. Ada sesuatu yang aneh dengan tempat ini. Aku merasa ada seseorang yang menungguku di sana. Seseorang yang tidak bisa aku lihat, tapi selalu ada. Aku merasa terikat dengan meja itu, seolah tak bisa pergi. Seolah aku harus tetap menulis, harus tetap hadir di sana."

Naya mengernyitkan dahi. Itu terdengar seperti sesuatu yang ia rasakan sendiri—sebuah ikatan yang tak terungkapkan, sebuah dorongan yang tak bisa dijelaskan. Dia mulai memahami sedikit demi sedikit kenapa meja nomor 9 bisa menjadi tempat yang begitu penting. Tetapi, ia belum mengerti sepenuhnya kenapa Nard merasa begitu terikat pada meja itu, atau siapa sebenarnya "seseorang" yang disebutkan dalam tulisan itu.

Tiba-tiba, Naya mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia menoleh ke pintu dan melihat seorang pria muda berdiri di ambang pintu kafe. Ia mengenakan jaket kulit, rambutnya berantakan, dan matanya tampak lelah. Pria itu menatap sekeliling sebelum matanya berhenti pada Naya yang sedang duduk di meja nomor 9.

Tanpa berkata-kata, pria itu berjalan menuju meja Naya dengan langkah pasti. Ketika ia sampai di depan meja, ia berhenti dan memandang Naya dengan tatapan yang sulit dibaca.

"Meja nomor 9?" tanyanya, suaranya serak seperti baru saja bangun tidur. "Kamu yang sering duduk di sini?"

Naya terkejut, matanya melotot sejenak. "Ya, saya. Kenapa? Ada masalah?"

Lihat selengkapnya