Pagi yang cerah membawa semangat baru bagi Naya, meskipun hatinya masih dibelit ketegangan. Setelah membaca pesan misterius yang ia temukan di meja kemarin, ia merasa seolah-olah dunia yang ia kenal perlahan terbelah menjadi dua. Sebagian besar hidupnya telah dilalui dengan menulis cerita-cerita fiksi yang keluar dari imajinasinya, namun kini imaji itu tampak semakin hidup dan nyata.
Hari ini, Naya memutuskan untuk kembali ke kafe. Di luar sana, sinar matahari yang hangat tidak mampu menghilangkan ketidaknyamanan yang ia rasakan. Sesampainya di kafe, Naya menghela napas dalam-dalam. Kafe ini, yang dulu menjadi tempat ia menemukan kedamaian, kini terasa seperti sebuah labirin yang penuh teka-teki yang harus ia pecahkan.
Ia melangkah masuk dengan hati-hati, berusaha tidak terlalu memikirkan pesan yang ia terima semalam. Meja nomor 9 masih kosong, seperti yang ia harapkan. Namun, kali ini ada perasaan yang berbeda. Seolah, ruang di sekitar meja itu lebih padat, lebih intens.
Naya duduk di kursi itu dengan hati-hati, meletakkan tas di sampingnya. Tangan kirinya meraih secangkir kopi yang masih hangat, sementara tangan kanannya membuka laptop. Sebelum mulai menulis, ia memandangi meja nomor 9. Mungkin, dengan menulis lagi, semuanya akan terasa normal seperti dulu.
Namun, ketika ia memulai menulis, matanya menangkap sesuatu di bawah meja. Di sana, tepat di samping tempat duduknya, sebuah benda kecil tergeletak. Itu adalah sebuah buku kecil, tampaknya sudah sangat tua. Penasaran, Naya menundukkan tubuhnya dan mengambilnya. Buku itu berjudul "Takdir yang Tak Terungkap."
Naya mengernyitkan dahi, lalu membuka halaman pertama buku itu. Tidak ada tulisan, hanya gambar-gambar samar yang tampak seperti sketsa. Semakin ia membuka halaman, semakin ia merasa aneh. Gambar-gambar itu terasa familiar, seolah menggambarkan cerita yang tidak asing baginya. Gambar pertama adalah seorang pria dengan mata yang penuh rahasia—pria yang mirip dengan Raga.
Jantung Naya berdegup kencang. Ia memeriksa halaman-halaman berikutnya, setiap gambar semakin jelas menggambarkan momen yang ia tulis dalam novel terakhirnya. Ini bukan kebetulan. Gambar-gambar ini, meskipun berupa sketsa kasar, menggambarkan adegan yang ia ciptakan—adegan yang melibatkan Raga.
"Bagaimana bisa?" gumam Naya dengan suara pelan. Ia merasa dunia di sekitarnya seperti berputar, seolah-olah kisah yang ia tulis semakin mendekatkan dirinya pada kenyataan yang semakin sulit dipahami.
Di sisi lain, suasana kafe tiba-tiba berubah. Lampu-lampu yang tadinya terang mulai meredup, dan udara terasa lebih dingin dari biasanya. Ada angin sepoi-sepoi yang berhembus di dalam kafe, padahal tidak ada jendela yang terbuka. Naya merasakan hawa dingin menyelimuti dirinya, dan dalam sekejap, ia merasa seperti ada yang mengawasinya.
Ia menoleh dengan cepat, namun tidak ada siapa pun yang duduk di meja-meja di sekitar. Hanya ada dirinya dan meja nomor 9 yang tampak sepi. Namun, ketika ia melihat ke arah pintu masuk, ia bisa melihat bayangan seorang pria berdiri di sana—pria itu tidak lain adalah Nard.
Jantung Naya hampir melompat keluar dari dadanya. Apa yang sedang terjadi? Apakah Nard ini nyata atau hanya khayalan? Apa hubungannya pria itu dengan semua yang terjadi? Mengapa ia muncul begitu tiba-tiba?
Naya menahan napas. Ia tahu, tak lama lagi, ia akan menemukan jawabannya—entah itu sebuah kenyataan yang menakutkan atau sekadar ilusi yang ia ciptakan sendiri. Namun, saat pria itu mulai melangkah mendekat, Naya tak bisa menahan diri untuk tidak merasa terjebak dalam labirin yang semakin rumit.
"Apakah kamu sudah siap mengetahui lebih banyak?" suara itu terdengar, tidak dari Nard, tetapi dari suara yang jauh lebih dalam. Suara itu datang dari dalam dirinya, seolah-olah jawabannya sudah ada sejak lama.
Dengan gemetar, Naya menatap pria yang kini berdiri di hadapannya. "Siapa kamu, Nard? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"
Nard hanya tersenyum. Senyuman itu, meskipun lembut, membawa rasa yang sulit untuk dijelaskan. "Aku bukan siapa-siapa. Tapi cerita yang kamu tulis, Naya, adalah lebih dari sekadar kata-kata."
Naya merasa perasaannya kacau. "Maksudmu apa?"
Sebelum Nard sempat menjawab, suara pintu terbuka keras, mengalihkan perhatian mereka. Seorang pelayan masuk ke dalam kafe, membawa sepiring makanan. Naya terkejut, seolah baru menyadari bahwa seluruh kafe kembali normal, seolah tidak terjadi apa-apa. Nard telah menghilang begitu saja.
Apa yang baru saja terjadi? Apakah itu nyata? Naya merasa bingung, seolah dia baru saja menyaksikan sebuah mimpi yang tidak bisa ia bangunkan.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia kembali menatap buku yang masih tergeletak di mejanya. Semua gambar itu mengingatkannya pada Raga. Apakah pria itu, atau siapa pun yang berada di balik meja nomor 9, tahu lebih banyak tentang takdirnya daripada dirinya sendiri?
Naya menulis lagi, kali ini dengan hati yang semakin penuh dengan keraguan dan pertanyaan. Semuanya terasa semakin nyata, dan ia harus menghadapinya, meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Hari-hari berlalu, dan meskipun Naya kembali menulis di kafe setiap pagi, perasaan aneh yang ia rasakan semakin mengganggu. Meja nomor 9 yang dulunya menjadi tempat favoritnya kini terasa lebih misterius, seolah menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang bisa dia temukan.
Setiap kali Naya duduk di sana, ada ketegangan yang merayap di dalam dirinya, sebuah perasaan yang mengingatkannya pada sesuatu yang belum selesai. Entah itu tentang Nard, tentang cerita yang ia tulis, atau bahkan tentang benda-benda aneh yang sering kali ia temui di meja itu. Semua itu seolah semakin mengikatnya pada ruang yang tak pernah ia pahami.
Namun, ada satu hal yang membuat Naya tak bisa berhenti menulis. Novel yang ia kerjakan, yang terinspirasi oleh kisah-kisah Raga, semakin berkembang dan menjadi lebih hidup dari hari ke hari. Meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu mempercayai semua keanehan ini, kenyataannya cerita-ceritanya semakin masuk akal dengan apa yang terjadi di dunia nyata.
Suatu pagi, saat Naya membuka laptopnya, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Di layar komputer, terlihat bahwa kalimat yang baru saja ia ketik tiba-tiba berubah. Kalimat itu menjadi lebih detail, lebih mendalam—seakan ada seseorang yang mengarahkannya dari kejauhan.
"Raga duduk di kursi kayu itu dengan tatapan kosong, menunggu sesuatu yang tak pernah datang. Seperti Naya, yang selalu menunggu jawabannya, tanpa pernah benar-benar tahu apa yang harus dia cari."
Naya terhenyak. Kalimat itu terlalu mirip dengan dirinya sendiri. Apakah ini kebetulan? Apakah ia sedang menulis kisah orang lain atau justru kisahnya sendiri? Perasaan bingung dan takut mulai memenuhi pikirannya.
Ia menatap layar, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Sebuah pesan muncul di pojok layar komputernya, pesan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Pesan itu berbunyi:
"Kau semakin dekat, Naya. Jangan berhenti sekarang."
Jantung Naya berdegup kencang. Dia segera menutup layar laptop dan berdiri. Ia harus keluar dari kafe ini sejenak untuk menenangkan pikiran. Namun, sebelum ia sempat melangkah, sebuah suara memanggilnya.
"Naya?"
Naya menoleh ke arah suara itu. Di ujung ruang kafe, berdiri seorang pria. Pria itu mengenakan jaket hitam dan tampak familiar, meskipun Naya tidak bisa ingat dari mana ia mengenalnya. Namun, ada satu hal yang jelas—pria itu adalah Raga.
"Raga?" suara Naya bergetar, bingung apakah ini nyata atau hanya bayangannya yang semakin kabur.