Ruang Kosong di Meja Nomor 9

Penulis N
Chapter #4

4

Keesokan paginya, Naya terbangun dengan kepala yang masih penuh pertanyaan. Ia mengecek kembali akun Instagram misterius itu—masih kosong. Tak ada postingan, tak ada jejak baru.

Tapi pikiran tentang pesan tadi malam tidak hilang.

"Kau menemukan foto itu, kan? Jangan berhenti sekarang."

Siapa pun pengirimnya, dia tahu apa yang Naya temukan. Dan itu berarti... ada seseorang yang memperhatikan. Atau sesuatu?

Naya menatap laptopnya di meja. Jari-jarinya gatal ingin mengetik, tapi entah kenapa ia justru membuka kembali draf bab sebelumnya. Ia ingin membaca ulang kalimat terakhir yang muncul sendiri.

"Terima kasih sudah membaca catatanku. Maaf jika aku melibatkanmu. Tapi kau sudah duduk di sana... jadi kau pasti bisa menyelesaikannya."

Kata-kata itu seperti gema yang memantul di dinding pikirannya. Ada nada harapan, tapi juga ketakutan. Seolah si penulis kalimat itu tahu ada beban besar dalam cerita yang tertinggal.

Naya akhirnya mulai menulis. Tapi kali ini, bukan novel.

Ia membuka dokumen baru dan menulis: "Hal-hal aneh yang terjadi sejak aku duduk di meja nomor 9."

Catatan pertama di bawah meja.

Cangkir retak muncul tiba-tiba.

Pena tua dan buku lusuh.

Kalimat muncul sendiri di laptop.

Surat dari seseorang bernama Nard.

Akun Instagram misterius.

Foto polaroid berdebu.

Ia menatap daftar itu lama.

Semuanya memang bisa dijelaskan secara logis—mungkin. Tapi kenapa setiap petunjuk terasa terlalu tepat waktu? Seolah ada benang merah yang menuntunnya ke satu tujuan.

Sore itu, Naya kembali ke kafe. Ada bagian dari dirinya yang menolak, tapi dorongan untuk tahu lebih kuat. Ia tak membawa naskah atau buku catatan hari ini. Hanya duduk, memesan kopi biasa, dan menatap meja kosong.

Meja nomor 9. Selalu kosong, kecuali untuk dirinya.

Baru beberapa menit duduk, pelayan yang sama seperti biasanya datang membawakan pesan.

"Ini dititipkan untuk kamu, Mbak," ujarnya sambil meletakkan secarik kertas kecil di meja.

Naya mengernyit. Kertas itu dilipat rapi, dengan tulisan tangan halus di bagian depan: "Untuk Penulis Meja Sembilan."

Perlahan, ia buka kertas itu. Hanya satu kalimat di sana.

"Ada kalimat yang tidak pernah kutulis, karena aku takut."

Jantung Naya berdetak lebih cepat. Ia membalik kertas itu, berharap ada petunjuk lebih, tapi kosong. Tak ada tanda tangan. Tak ada tanggal. Hanya kalimat itu—terlalu sederhana, tapi terlalu jujur.

Ia menggenggam kertas itu erat.

Ada kisah yang belum selesai. Ada kalimat yang tertahan. Dan entah mengapa, ia merasa kini dialah yang harus menuliskannya.

Naya mengambil ponsel, membuka aplikasi catatan, dan mulai menulis:

"Jika kamu takut menuliskannya, biar aku yang lanjutkan. Aku akan menemanimu menyelesaikan cerita ini."

Di luar jendela, matahari mulai tenggelam. Dan untuk pertama kalinya, Naya merasa malam akan membawanya pada jawaban—bukan sekadar pertanyaan.

Malam itu, selepas dari kafe, Naya tidak langsung pulang. Ia memilih berjalan kaki menyusuri trotoar yang lengang, membiarkan lampu jalan yang redup mengiringi langkah-langkahnya. Angin musim penghujan mulai terasa menusuk tulang, tapi pikirannya terlalu penuh untuk memedulikan dingin.

Kalimat itu terus terngiang:

"Ada kalimat yang tidak pernah kutulis, karena aku takut."

Apa yang ditakutkan Nard? Apakah itu sebuah rahasia kelam? Kenangan yang tak ingin diingat? Atau... akhir dari sesuatu yang seharusnya tak selesai?

Sesampainya di rumah, Naya masuk ke kamarnya yang hangat dan meletakkan kertas kecil itu di atas meja. Ia sempat hendak menempelkannya di dinding bersama catatan lain, tapi merasa... tidak pantas. Kalimat itu terlalu personal. Terlalu hening.

Lihat selengkapnya