Senin pagi itu, Naya bangun dengan perasaan aneh. Antara bersemangat dan gugup, seperti hendak menghadapi sesuatu yang tak ia mengerti. Di kepalanya, kalimat terakhir dari buku harian Nard terus berputar:
"...Maka sekarang, ceritanya jadi milikmu."
Ia tak yakin apa yang harus dilakukan setelah itu. Menulis? Menunggu tanda? Atau kembali ke kafe dan pura-pura semuanya biasa saja?
Tapi, seperti biasa, langkah kakinya tetap menuntunnya ke sana—ke kafe tua dengan cat tembok yang mulai pudar dan lonceng kecil yang berbunyi tiap kali pintu dibuka.
Ia memasuki ruangan dengan napas perlahan. Matanya langsung tertuju ke meja nomor 9. Kosong. Tapi ada sesuatu di atasnya.
Bukan benda kali ini.
Melainkan... secarik kertas.
Dengan hati-hati, ia berjalan mendekat dan mengambilnya. Tulisannya singkat, dengan huruf miring yang ia kenali dari catatan-catatan sebelumnya.
"Coba dengarkan suara di sekitar, bukan hanya yang kau tulis."
Naya menelan ludah. Ia melirik kanan dan kiri. Tidak ada yang tampak mencurigakan. Barista di balik meja menyapa seperti biasa, pengunjung hanya dua orang—sepasang lansia yang duduk di dekat jendela.
Ia duduk. Diam. Mendengarkan.
Awalnya, yang terdengar hanya suara mesin espresso, denting sendok, dan helaan napas. Tapi kemudian, samar-samar, ia mendengar suara lain.
"...aku yakin dia tahu tentang surat itu."
Suara seorang pria. Pelan. Naya menoleh. Sepasang lansia itu sedang berbincang. Si wanita menunduk, matanya tajam.
"Kalau dia menulis tentang Nard, berarti dia sudah membaca buku harian itu."
Naya terpaku. Apakah mereka sedang membicarakan... dirinya?
Ia menunduk, berpura-pura membuka laptop, jantungnya mulai berdebar cepat.
"Aku tak menyangka gadis itu akan datang setiap hari, seperti dia dulu," kata si pria, pelan. "Kau yakin kita tak perlu bilang padanya?"
"Belum saatnya," jawab si wanita. "Biarkan dia menemukannya sendiri. Seperti Nard dulu."
Naya berhenti mengetik. Tangannya gemetar.
Siapa mereka?
Kenapa mereka tahu tentang Nard?
Kenapa mereka membicarakan dirinya seolah ia bagian dari cerita yang sudah ditulis bertahun-tahun lalu?
Ia memejamkan mata sejenak. Tiba-tiba, meja nomor 9 tak lagi terasa seperti tempat yang aman. Tapi juga bukan tempat yang menakutkan.
Ia tahu satu hal pasti.
Ada lebih banyak orang yang tahu tentang kisah ini selain dirinya sendiri.
Dan sepertinya, misteri meja nomor 9 baru saja membuka babak berikutnya.
You said:
Naya menatap layar laptop yang belum menampilkan satu huruf pun. Tangannya masih gemetar, pikirannya melayang ke percakapan yang baru saja ia curi dengar. Lansia itu—si pria dengan sweater abu dan si wanita bermata tajam—masih duduk di meja mereka, menyesap teh dengan tenang seolah tak terjadi apa-apa.
Tetapi jelas, mereka tahu sesuatu tentang Nard. Tentang buku harian itu. Bahkan tentang dirinya.
Suara pintu terbuka membuat Naya menoleh reflek. Seorang remaja lelaki masuk dengan tergesa, membawa ransel dan mengenakan hoodie hitam. Ia langsung menuju meja di sudut, memasang headphone, dan membuka buku tulis penuh coretan. Bukan siapa-siapa. Tapi Naya tak bisa lagi menganggap siapa pun di kafe ini sebagai kebetulan.
Ia menoleh kembali ke kertas kecil di mejanya. "Dengarkan suara di sekitar."
Jangan-jangan... selama ini petunjuknya bukan hanya dari benda-benda aneh, tapi juga dari orang-orang yang sering datang dan pergi. Pelanggan tetap. Penjaga tempat. Bahkan... karyawan.
Ia menatap ke arah meja barista. Della, gadis yang sering menyambutnya dengan senyum manis, sedang merapikan cangkir. Tanpa pikir panjang, Naya berdiri dan menghampirinya.
"Del," ucapnya pelan. "Kamu pernah kenal seseorang bernama Nard, enggak?"