Ruang Kosong di Meja Nomor 9

Penulis N
Chapter #6

6

Malam itu, kafe tampak lebih sepi dari biasanya. Langit di luar mendung, menggantung rendah seperti sedang menyimpan rahasia hujan yang belum sempat turun. Naya duduk di meja nomor 9, menatap layar laptop yang masih terbuka, namun belum ada satu pun kata yang bergerak di sana sejak ia mengetik paragraf terakhir tadi sore.

Ada rasa rindu aneh yang mengendap di dadanya. Bukan rindu pada seseorang, melainkan pada sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya. Meja ini. Kisah ini. Dan... Nard.

Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, membiarkan pandangannya menyapu sekeliling. Kafe tua ini kini lebih dari sekadar tempat menulis baginya. Rasanya seperti perpanjangan ruang pikirannya sendiri. Dan setiap bayangan yang menari di dinding bata itu seperti gema dari cerita-cerita yang belum sempat selesai.

Ketika matanya mengarah ke jendela, ia terpaku.

Di luar sana, di balik kaca yang basah oleh embun, tampak siluet seorang lelaki berdiri. Ia mengenakan hoodie gelap, topinya tertarik hingga menutupi sebagian wajah. Tapi entah kenapa, Naya yakin ia mengenal postur itu. Cara lelaki itu berdiri—tegak tapi sedikit condong ke kiri, seperti sedang menyandarkan beban pikirannya sendiri ke dunia.

Detik berikutnya, lelaki itu melangkah pergi, menghilang ke lorong sebelah kafe.

Naya berdiri refleks. "Mbak Rani," katanya pada penjaga kasir. "Tadi lihat cowok yang berdiri di luar?"

Mbak Rani mengernyit. "Cowok? Nggak ada siapa-siapa, Mbak."

"Tadi... barusan. Dia berdiri di depan kaca."

Mbak Rani menggeleng. "Mungkin hanya bayangan orang lewat. Dari tadi sepi, lho. Mbak sendiri kan yang pertama datang malam ini."

Naya menelan ludah. Perasaannya berdesir, campuran antara penasaran dan... takut.

Ia kembali ke tempat duduk, tapi kali ini ia menyelipkan tangan ke bawah meja. Jemarinya menyapu permukaan kayu, mencari... apa pun.

Dan di sana, ia menemukannya.

Sepotong kertas, terlipat rapi. Ia membukanya perlahan.

Tulisan tangan itu sudah mulai familiar di matanya:

"Kalau kamu bisa melihatku, itu artinya ceritanya belum selesai.

Jangan takut, Naya. Aku hanya ingin didengar."

Napas Naya tercekat.

Nama itu. Dia menulis namanya.

Dengan tangan bergetar, Naya menoleh ke jendela lagi, berharap bisa menangkap sosok itu sekali lagi. Tapi yang tersisa hanya pantulan wajahnya sendiri—terlihat sedikit lebih pucat, sedikit lebih bingung.

Dan untuk pertama kalinya... sedikit lebih terhubung dengan sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar kisah fiksi.

Di layar laptopnya, kursor berkedip pelan.

Dan akhirnya, kata pertama malam itu mengalir.

"Dia muncul seperti bayangan—tak diundang, tak diminta. Tapi dalam diamnya, ia membawa cerita yang ingin disampaikan..."

Naya tahu, ini bukan lagi hanya tentang menulis novel. Ini tentang mencari seseorang yang tersesat di antara baris cerita. Dan mungkin... menyelamatkannya.

Keesokan harinya, Naya kembali ke kafe dengan langkah yang lebih cepat dari biasanya. Hujan semalam menyisakan udara basah dan dedaunan yang menempel di trotoar, tapi pikirannya hanya dipenuhi oleh satu nama: Nard.

Ia membawa buku catatannya kali ini, bukan laptop. Entah kenapa, menulis dengan tangan terasa lebih dekat dengan pesan-pesan misterius yang ia temukan selama ini.

Meja nomor 9 menunggunya, seperti biasa. Tak tersentuh, kosong, seakan hanya ia yang berhak mendudukinya.

Begitu duduk, Naya langsung memeriksa bagian bawah meja.

Kosong.

Tidak ada catatan hari ini.

Tapi sesuatu yang lain menarik perhatiannya—di bagian sisi dalam meja, tersembunyi dari pandangan biasa, ada guratan kecil. Ia merunduk, menyipitkan mata, dan menyadari bahwa itu adalah ukiran.

N + A

Tulisannya tak rapi, seperti tergores dengan benda tumpul. Namun jelas. Dua inisial. Dan satu kemungkinan yang membuat jantungnya berdetak lebih keras.

"N... A...?" gumamnya pelan. "Nard... dan... aku?"

Ia menyentuh ukiran itu, dan sebuah kilasan aneh menghampirinya—gambar samar seorang lelaki duduk sendiri, menulis sesuatu dengan kepala tertunduk. Lalu hilang, secepat ia datang.

Naya menggeleng cepat. "Aku ngelantur."

Tapi pikirannya menolak berhenti.

Lihat selengkapnya