Satu per satu, Naya menandai tempat yang terukir di bawah meja. Ia mulai dari yang paling dekat: lemari buku di sudut kafe, yang lebih sering dianggap pajangan daripada rak aktif. Warnanya tua, ukiran kayunya sudah mulai pudar, tapi tak ada yang menyentuhnya selain petugas kebersihan yang sekadar membersihkan debu.
Naya berdiri, menyelipkan laptopnya ke dalam tas, lalu berjalan ke arah lemari. Ia pura-pura santai, berpura-pura tertarik pada buku-buku tua yang berjajar acak—novel-novel klasik, majalah lawas, dan beberapa buku bahasa Prancis yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Tangannya menelusuri sisi belakang rak paling bawah, tempat yang biasanya luput dari perhatian. Jari-jarinya menyentuh celah sempit. Ia mendorong perlahan. Rak itu bergerak sedikit.
"Berongga," gumamnya.
Dengan tenaga pelan tapi pasti, ia menarik bagian kanan rak, dan mendapati bahwa sebagian rak itu bukan permanen, melainkan papan palsu yang menutupi celah kecil di belakangnya.
Di sana, tersembunyi di antara debu dan bekas sarang laba-laba, ada sebuah kotak kayu kecil. Warna coklatnya nyaris menyatu dengan latar, tapi kuncinya sudah karatan. Naya mengeluarkannya dengan hati-hati, duduk kembali di meja nomor 9, dan membuka kotak itu.
Di dalamnya, hanya ada satu benda: foto polaroid yang sudah memudar, memperlihatkan seorang pemuda dengan mata teduh dan senyum setengah hati—duduk di meja nomor 9, dengan buku catatan terbuka di depannya.
Di balik foto itu, tertulis satu kalimat dengan tulisan tangan yang sama seperti catatan sebelumnya:
"Aku menuliskanmu sebelum kamu datang."
Naya menggenggam foto itu erat.
Jantungnya berdetak lebih cepat. Kepalanya dipenuhi pertanyaan, tapi juga keinginan kuat untuk memahami. Apa maksudnya? Apakah Nard sudah tahu dirinya—bahkan sebelum ia menulis kisah ini?
Sore harinya, saat langit mulai oranye keemasan, Naya kembali ke kafe setelah mengambil udara di luar. Ia duduk lagi di meja 9, membawa foto itu, menatapnya lama.
Lalu, pelayan yang sama seperti kemarin menghampirinya.
"Permisi, Mbak," katanya ramah, "ada titipan dari seseorang. Ditaruh pagi tadi. Katanya buat yang duduk di sini."
Ia menyodorkan amplop putih kecil, tanpa nama.
Dengan tangan sedikit gemetar, Naya membukanya.
Di dalamnya, ada sehelai kertas dengan tulisan yang sudah sangat familiar:
"Kalau kamu sudah siap ke lantai atas, cari tangga di balik rak kopi. Jangan takut gelap. Kadang, cerita paling terang justru disembunyikan dalam bayangan."
Rak kopi? Itu tempat para pengunjung biasa mengambil kopi take-away yang sudah dipesan. Rak kayu yang berdiri di dekat dinding belakang, berseberangan dengan dapur.
Naya menggigit bibirnya. Kali ini, tidak ada keraguan.
Ia tahu, bagian dari hidupnya sudah masuk ke dalam cerita yang tidak akan bisa ia abaikan.
Ia berdiri—dan menuju rak kopi, untuk mencari tangga menuju lantai atas yang selama ini seolah tak ada.
Rak kopi itu berdiri kokoh di dinding belakang kafe, tepat di sebelah pintu menuju dapur. Di atasnya, terjejer cangkir-cangkir take-away dan menu harian yang ditulis dengan spidol putih di papan hitam. Tak ada yang aneh. Tak ada tanda-tanda keberadaan tangga atau pintu rahasia seperti yang disebutkan dalam catatan.
Tapi Naya tak ragu. Ia menatap rak itu dengan saksama.
Ia mengamati sisi kanan, lalu menyusuri sisi kiri. Rak itu tampak seperti rak biasa—kayu tua, empat tingkat, bagian bawahnya tak sejajar sempurna karena lantainya agak menurun. Tapi saat Naya menunduk dan meraba sisi dalamnya, jari-jarinya menemukan celah sempit.
Ia menekan celah itu perlahan.
Sesuatu berbunyi. Klik.
Rak bergeser sedikit—cukup untuk memperlihatkan sebuah pintu kayu kecil tersembunyi di baliknya. Cat pintunya pudar, hampir menyatu dengan dinding. Tak ada pegangan. Tapi ada ukiran kecil di tengahnya: angka sembilan.
Dengan napas tertahan, Naya mendorong pintu itu. Engselnya berderit pelan. Di baliknya, tampak lorong sempit dengan tangga batu menanjak ke atas. Lampu kuning redup menyala di dinding, seolah memang disiapkan bagi siapa pun yang datang.
Ia menelan ludah, melangkah masuk, dan menutup pintu di belakangnya.
Tangga itu dingin dan sempit, tapi tak menyeramkan. Ada sesuatu yang menenangkan dari keheningannya. Mungkin karena setiap langkah terasa seperti menginjak bagian dari cerita—ceritanya sendiri.
Tangga berakhir di sebuah pintu kayu lain. Naya membuka perlahan.
Ruangan di baliknya tak besar, tapi dipenuhi aroma kertas tua dan kayu. Sebuah ruangan loteng kecil, dengan jendela bundar menghadap jalan, dan di tengah ruangan, ada meja tulis dengan tumpukan kertas dan pena tua. Di atasnya, menyala sebuah lampu meja klasik, dan di sampingnya—
Sebuah buku catatan kulit coklat dengan pita hitam di tengah.
Naya melangkah mendekat.
Ia menyentuh buku itu, lalu membukanya. Halaman pertama kosong, tapi halaman kedua berisi tulisan tangan yang ia kenal: