Naya duduk terdiam di depan meja nomor 9, menatap kotak musik kayu yang tergeletak di samping laptopnya. Melodi yang sempat mengalun sebelumnya mulai terngiang-ngiang di kepalanya. Seolah, melodi itu mengisi setiap celah pikirannya, mengikatnya pada sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar cerita yang ia tulis.
Ia meremas buku catatannya, tapi tidak membuka halaman itu. Tangan kirinya mengusap perlahan permukaan meja, seperti mencari sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak tampak.
"Jangan hanya menulis." Kalimat itu terus bergema dalam pikirannya.
Naya menatap kotak musik itu sekali lagi. Ada perasaan aneh yang ia rasakan. Seperti ada sesuatu yang memanggilnya untuk melangkah lebih jauh, untuk tidak hanya terjebak dalam kata-kata. Melodi itu menyentuh sesuatu yang jauh lebih dalam dalam dirinya.
Ia membuka kotak musik itu lagi, mendengarkan bunyi halusnya. Nada-nada lembut itu membawa Naya pada sebuah gambaran kabur—sebuah ruangan yang sangat familiar, namun juga asing. Ia melihat dirinya, duduk di meja nomor 9, menulis. Namun, ada seorang pemuda duduk di seberangnya, menatapnya dengan mata penuh harapan, seolah menginginkan sesuatu dari dirinya.
Nard.
Naya menutup mata sejenak. Seketika, ia merasa tubuhnya terhuyung. Suara melodi itu mengisi ruang kosong di kepalanya, dan dalam sekejap, ia kembali pada saat pertama kali mendengar suara itu. Waktu seakan berjalan mundur, dan ia bisa merasakan betapa sunyinya kafe itu, betapa sepinya dunia yang mengelilinginya saat itu.
Tiba-tiba, matanya terbuka.
Seakan terbangun dari mimpi yang panjang.
Kafe yang ia kenal, tempat yang selama ini menjadi tempat pelariannya, terasa berbeda malam itu. Ada sesuatu yang tak terlihat, sesuatu yang mengikatnya dengan meja nomor 9, dengan kotak musik itu, dan dengan nama yang terus-menerus mengganggu pikirannya: Nard.
Naya merasa seperti ada dorongan untuk menemukan lebih jauh tentang pemuda itu—tentang apa yang menghubungkannya dengan dunia ini. Ia membuka kembali buku catatan cokelat yang mulai terasa sangat penting. Tanpa sadar, ia membuka halaman yang menunjukkan tulisan tangan Nard—atau siapa pun yang menulisnya.
"Setiap cerita punya kehidupan sendiri. Tapi tak semua cerita bisa hidup tanpa sebuah akhir."
Naya menarik napas dalam-dalam. Kalimat itu seolah mengisyaratkan bahwa ia berada di titik yang tak bisa mundur lagi. Tulisannya bukan sekadar cerita fiksi. Semua ini lebih dari itu—lebih dari sekadar kata-kata di atas kertas.
Di luar jendela, malam semakin larut. Angin yang berhembus membawa udara dingin, dan lampu-lampu kafe yang redup menciptakan bayang-bayang yang bergerak di dinding.
Naya menatap layar laptopnya. Tangan kirinya kembali menyentuh keyboard, namun sebelum ia mengetik apa pun, ia merasa ada sesuatu yang menunggu untuk ditulis. Sesuatu yang bukan berasal dari pikirannya, tetapi dari ruang kosong di meja nomor 9.
Tanpa sadar, ia mulai mengetik, kalimat pertama muncul begitu saja:
"Aku menulis kisah ini untuk seseorang yang tidak pernah ku kenal, namun setiap kata yang aku tulis, seakan mengarah padanya. Padamu, Nard."
Kalimat itu menulis dirinya sendiri, seolah ada tangan lain yang mengarahkan jemarinya.
Dan Naya tahu, kali ini, ia tak bisa berhenti.
Naya terdiam sejenak, membaca kalimat yang baru saja ia ketik. "Padamu, Nard." Kata-kata itu terasa aneh, seakan ada sesuatu yang melampaui kendali pikirannya, seperti tangan lain yang menuntunnya menulis. Ketika ia berhenti dan menatap layar, sesuatu di dalam dirinya merasa tidak lengkap. Seperti ada celah yang belum terisi, ruang yang kosong menunggu untuk dipenuhi.
Ia meletakkan tangan di atas meja, memandangi kotak musik yang kini terdiam di samping laptop. Melodi yang tadi mengalun lembut kini tak lagi terdengar. Seperti segala sesuatunya berhenti—atau mungkin hanya dirinya yang berhenti mendengarkan.
Kenapa namanya selalu muncul? Siapa Nard sebenarnya? Pertanyaan itu terus mengusik. Dalam banyak cara, Nard sudah menjadi bagian dari cerita Naya, tapi siapa dia di dunia ini? Apakah dia hanya figuran dalam cerita yang ia tulis? Atau sesuatu yang lebih nyata—lebih dari sekadar imajinasi yang hidup di dalam pikiran seorang penulis?
Dengan langkah ragu, Naya berdiri dan mengambil jaket dari belakang kursi. Ia tahu, malam ini ia harus melangkah keluar, menemukan jawaban yang sudah lama tertunda.
Pintu kafe berbunyi nyaring saat ia membukanya. Udara malam yang segar menyambutnya, menggigit kulit yang terasa hangat setelah berjam-jam berada di dalam kafe. Langkahnya berjalan pelan, tapi hatinya penuh dengan keraguan. Ia tidak tahu ke mana langkah ini akan membawanya, tapi ada dorongan kuat untuk melangkah lebih jauh. Untuk mencari tahu lebih banyak tentang Nard, tentang meja nomor 9, dan tentang segala yang selama ini ia anggap hanya bagian dari cerita.
Kafe itu semakin jauh tertinggal di belakangnya. Lampu jalan berpendar, menciptakan bayangan panjang di trotoar. Di ujung jalan, ada sebuah toko buku tua yang selalu tutup lebih awal, namun malam ini, pintunya terbuka sedikit lebih lebar dari biasanya. Naya merasa dorongan untuk masuk.
Toko buku itu gelap, hanya diterangi cahaya lampu neon yang redup. Di dalam, ada rak-rak buku yang sudah berdebu, sebagian di antaranya tampak sangat tua. Seorang penjaga toko yang lebih tua dari usia buku-buku itu tampak sedang membaca di belakang meja.