Langkah kaki Naya menggema di jalanan yang sepi. Malam sudah larut, dan udara dingin mulai menyelimutinya. Kafe yang baru ia tinggalkan kini hanya terlihat sebagai titik kecil di kejauhan, sementara pikiran Naya terus berkecamuk. Ia berusaha mengingat setiap detail percakapan antara dirinya dan bayangan yang ia sebut Nard, namun semakin lama, semakin banyak hal yang terasa kabur.
Toko buku tua yang ia tuju berada di ujung jalan, terpencil dan terlindung dari keramaian kota. Lampu neon yang berkedip-kedip dengan pudar memberi kesan mistis pada bangunan tersebut. Naya tahu, toko ini adalah tempat yang akan membantunya menemukan lebih banyak petunjuk, lebih banyak rahasia yang sudah lama terkubur.
Begitu memasuki toko, bau buku tua yang khas langsung menyambutnya. Suasana yang sunyi, dipenuhi rak-rak buku berdebu, menciptakan rasa nostalgia yang mendalam. Naya berjalan pelan, merasakan getaran aneh di setiap langkahnya. Semakin dalam ia masuk, semakin terasa bahwa ada sesuatu yang mengawasi.
"Selamat malam, Naya."
Suara itu tiba-tiba terdengar, dan Naya langsung berhenti. Ia menoleh ke arah suara itu dan mendapati sosok pria berambut hitam panjang, mengenakan pakaian lusuh namun misterius. Dia berdiri di ujung rak buku, seolah sudah menunggu kedatangannya.
"Saya tahu kamu akan datang," lanjut pria itu, senyum tipis menghiasi wajahnya.
Naya tercengang. "Kamu... siapa?"
Pria itu tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia melangkah mendekat, dan setiap langkahnya terdengar berat di telinga Naya. "Aku adalah penghubung antara cerita dan kenyataan, Naya," katanya pelan, namun suara itu seolah menggema di ruangan sempit itu.
Pikiran Naya bergejolak. "Penghubung? Apa maksudmu?"
Pria itu mengulurkan sebuah buku usang dari tasnya dan menyodorkannya pada Naya. "Buku ini akan menjelaskan semuanya. Ini adalah kisah yang tak selesai. Kisah yang tertinggal antara dua dunia."
Naya menerima buku itu dengan ragu. Begitu ia membuka halaman pertama, matanya membelalak. Tulisan tangan yang familiar—tulisan yang pernah ia lihat di meja nomor 9—terlihat jelas di dalamnya. Kalimat pertama berbunyi:
"Kisah kita tidak hanya milik kita. Ada kekuatan yang menghubungkan setiap pilihan yang kita buat, dan setiap pilihan itu membawa kita lebih dekat pada takdir yang telah lama ditulis."
Naya menatap pria itu dengan mata penuh pertanyaan. "Apa maksudmu? Apa hubungannya semua ini dengan aku?"
Pria itu tersenyum tipis. "Semua ini ada hubungannya. Takdirmu sudah terikat pada takdirku, pada takdir yang sudah ditulis di antara halaman-halaman ini. Meja nomor 9 adalah titik pertemuan, Naya. Di sana, cerita kita dimulai."
Tangan Naya gemetar saat ia melanjutkan membaca. Buku itu memuat kisah yang sangat mirip dengan hidupnya, bahkan lebih banyak detail yang tak bisa ia jelaskan. Tentang Nard, tentang meja nomor 9, tentang takdir yang mengalir dalam setiap kata yang ia tulis.
"Nard..." bisiknya pelan. "Kau tahu dia?"
Pria itu mengangguk. "Aku mengenalnya, seperti aku mengenal diriku sendiri. Kami semua terikat pada cerita yang lebih besar. Meja nomor 9 adalah tempat di mana cerita itu hidup, dan Nard... dia adalah bagian dari cerita itu."
Naya merasa ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya. Ia memandang pria itu dengan kesadaran baru. "Jadi, aku benar-benar tidak hanya menulis cerita? Aku... terlibat dalam takdir ini?"
Pria itu mengangguk pelan. "Kamu sudah menjadi bagian dari takdir itu sejak pertama kali kau duduk di meja nomor 9. Sekarang, saatnya untuk memilih: apakah kamu akan melanjutkan cerita ini, ataukah kamu akan menutup bab terakhirnya?"
Naya terdiam, perasaan cemas menyelimuti hatinya. Pilihan itu terasa berat. Di satu sisi, ia ingin mencari tahu lebih banyak, ingin mengungkapkan seluruh misteri yang membelenggu dirinya. Namun di sisi lain, ia merasa takut dengan konsekuensinya. Apa yang akan terjadi jika ia memilih untuk mengungkapkan semuanya?
Akhirnya, dengan tangan yang masih gemetar, Naya menutup buku itu. "Aku... aku harus tahu lebih banyak," katanya, suaranya penuh tekad.
Pria itu tersenyum. "Keputusanmu sudah diambil. Sekarang, ikuti aku."
Naya mengikuti pria itu ke bagian belakang toko, di mana ada sebuah pintu kayu tua yang tertutup rapat. Pintu itu seolah mengarah ke sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, lebih misterius. Di balik pintu itu, tak ada lagi jalan mundur.
Dan Naya tahu, hidupnya tak akan pernah sama lagi.
Pintu kayu yang terkunci terbuka dengan suara berderit yang mengganggu kesunyian toko buku itu. Naya melangkah masuk dengan hati berdebar, menyusuri lorong sempit yang hanya diterangi oleh lampu temaram yang tergantung di langit-langit. Aroma kayu dan debu memenuhi udara, dan semakin dalam ia berjalan, semakin terasa ada sesuatu yang mengintai.
Pria itu berjalan di depan Naya, memimpin tanpa banyak bicara. Suara langkah kaki mereka bergema, namun di setiap tikungan, suara itu semakin teredam, seakan dilahap oleh kegelapan yang melingkupi lorong-lorong di dalam toko. Naya tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Seakan ada sesuatu yang sangat penting menunggu di ujung jalan itu—sesuatu yang akan mengungkapkan kebenaran yang selama ini tersembunyi.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah ruangan yang lebih besar. Di dalamnya terdapat meja kayu besar yang dipenuhi berbagai macam benda aneh: kertas-kertas tua yang telah menguning, pulpen-pulpen tua dengan tinta yang hampir habis, dan beberapa buku usang yang tampaknya sudah tidak pernah dibuka selama bertahun-tahun. Di sudut ruangan, ada sebuah kursi kayu yang tampak seperti kursi tua di meja nomor 9—tempat yang Naya selalu pilih untuk menulis.