Ruang Kosong di Meja Nomor 9

Penulis N
Chapter #10

10

Naya tidak bisa menahan rasa penasaran yang membara. Buku di hadapannya tampak begitu mengundang, seolah memanggilnya untuk melanjutkan apa yang sudah mulai tertulis. Setiap kata di halaman pertama menggetarkan hatinya. "Jika kau ingin mengakhiri cerita ini, kau harus menghadapinya secara langsung." Kalimat itu berputar-putar di pikirannya, seperti bisikan yang tak bisa ia abaikan. Ia menggenggam pena yang ada di tangannya, berusaha untuk tenang, meskipun jantungnya berdegup kencang.

Namun, ia tahu satu hal pasti—sesuatu di sini, di dalam ruangan ini, mengikatnya pada takdir yang tidak bisa ia lupakan. Takdir yang sejak awal seolah sudah menantinya.

Dengan hati yang berdebar, Naya mulai menulis di halaman pertama buku itu, mengikuti langkah-langkah yang sudah dia ambil. "Jika ini adalah bagian dari takdirku, jika ini adalah jalan yang harus aku tempuh, maka aku akan melakukannya," pikirnya. Ia menulis kalimat itu dengan tangan yang mulai gemetar, namun juga penuh dengan keinginan yang besar untuk mengetahui kebenaran yang selama ini tersembunyi.

Buku itu, dengan setiap halamannya, seolah menjadi jembatan antara dunia nyata dan dunia imajinasinya. Setiap kata yang ia tulis terasa seperti mengambil bagian dari dirinya. Kisah Nard, kisah pria misterius yang selalu mengikutinya melalui setiap jejak di meja nomor 9, semakin menguat. Dan kini, Naya merasa seolah-olah ia sedang menulis takdir seseorang yang entah siapa, tetapi terasa begitu dekat—terlalu dekat.

Saat ia menulis, tiba-tiba bayangannya bergetar. Lampu-lampu yang redup di ruangan itu berkedip sejenak. Naya menatap ke sekelilingnya, namun tak ada yang berubah. Ia merasakan sesuatu yang semakin berat, seolah ada kehadiran yang tak terlihat, yang sedang memantau setiap gerak-geriknya.

Ia melanjutkan menulis, tak bisa menghindar dari rasa cemas yang terus meningkat. Kata demi kata mengalir begitu alami, begitu tepat, seperti kisah yang selama ini tersimpan jauh di dalam dirinya. Ia merasa seolah sedang menyelesaikan sebuah cerita yang sudah lama terbengkalai. Tetapi siapa yang menulisnya? Apakah itu dirinya, ataukah Nard? Apakah ia benar-benar mengendalikan takdirnya, ataukah takdir itu sudah menuntunnya ke arah yang tak bisa ia hindari?

Lamat-lamat, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Naya membalikkan badan, namun yang ia lihat hanya bayangannya sendiri di cermin yang tergantung di dinding. Tidak ada yang lain. Namun, ia bisa merasakan ada sesuatu yang berubah di udara, sebuah kehadiran yang begitu nyata, tetapi tidak bisa ia lihat.

"Nard..." bisik Naya pelan, suara itu terdengar samar di telinganya. Seperti sebuah panggilan yang ia buat tanpa disadari. Setiap kata yang ia ucapkan seolah menjadi pemicu bagi sesuatu yang lebih besar untuk terjadi.

Kunci kecil yang tadi ia temukan di meja nomor 9 bergetar di dalam sakunya. Naya meraba sakunya dengan cemas. Tangan yang teraba di dalamnya terasa dingin. Kunci itu tidak pernah terasa begitu nyata sebelumnya, dan kini ia tahu bahwa kunci itu adalah kunci untuk membuka lebih banyak misteri. Ia tidak bisa lagi berpaling dari cerita yang sudah ia tulis—cerita yang terhubung begitu erat dengan kehidupannya.

Dengan tekad yang semakin bulat, Naya bangkit dari tempat duduknya. Ia tahu, jalan yang harus ditempuh sudah jelas, meskipun tak tahu pasti apa yang menantinya di ujungnya. Seperti halaman yang kosong menunggu untuk diisi, dunia ini juga menunggu untuk diselesaikan.

Langkah kaki Naya terdengar ringan, meskipun hatinya penuh dengan pertanyaan. Setiap detik terasa begitu berharga, dan setiap langkah menuju pintu ruangan itu adalah langkah menuju sesuatu yang lebih besar, lebih dalam. Takdir yang selama ini tersembunyi kini muncul dengan jelas, dan Naya tahu ia harus menyelesaikan apa yang sudah dimulai.

Pintu itu terbuka perlahan, menuntun Naya ke luar dari bangunan tua itu. Di luar, angin malam yang dingin menyapu wajahnya. Namun, ia merasa hangat. Sesuatu dalam dirinya telah berubah. Mungkin ia belum sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi, tetapi ia tahu satu hal: kisah ini, takdir ini, bukan hanya miliknya. Kisah ini adalah kisah yang harus ia selesaikan—bersama Nard, bersama meja nomor 9, dan bersama takdir yang tidak bisa ia hindari.

Langkah kaki Naya semakin cepat, dan ia tidak bisa menahan senyum yang mulai terbit di bibirnya. Sesuatu yang indah, meskipun penuh misteri, mulai menyelimuti hatinya. Ia tahu, apa pun yang terjadi, ia tidak akan pernah bisa kembali ke kehidupan yang lama. Sebab cerita ini, takdir ini, adalah bagian dari dirinya yang tak akan pernah ia lepaskan.

Kisahnya belum selesai, dan ia siap untuk menghadapinya.

***

Hari itu, Naya kembali ke kafe, meski perasaan dalam dirinya masih bergolak. Pikirannya terus dihantui dengan kunci kecil yang ditemukannya di sakunya, dan buku yang ia mulai tulis dengan tangan gemetar. Sesuatu dalam dirinya mengharuskannya untuk mencari tahu lebih dalam. Semakin lama, perasaan tentang meja nomor 9 semakin nyata, seolah meja itu menyimpan lebih banyak rahasia dari yang bisa ia bayangkan. Ia tak lagi hanya duduk di sana untuk menulis; ia merasa seolah meja itu adalah pintu gerbang menuju dunia yang lebih besar, dunia yang terhubung langsung dengan cerita yang ia tulis.

Setibanya di kafe, Naya berjalan dengan langkah pasti menuju meja nomor 9. Meja itu masih kosong, seperti biasa, menunggu untuk ditempati. Ia duduk, merasakan kenyamanan yang aneh, namun menenangkan. Beberapa pengunjung lainnya sudah mulai datang, sibuk dengan aktivitas mereka sendiri. Tetapi, Naya merasa seolah dunia di sekitarnya perlahan menghilang. Hanya ada dirinya, meja nomor 9, dan buku yang baru saja mulai ia tulis.

Ia membuka halaman pertama, menatap tulisan yang masih setengah terisi. Kata-kata itu seperti dipenuhi dengan kekuatan yang tidak bisa ia kendalikan. Tanpa berpikir panjang, ia mulai menulis lagi, melanjutkan cerita yang sudah ada. Namun, tiba-tiba, matanya tertuju pada sesuatu yang ada di bawah meja. Sebuah benda kecil, tak tampak jelas dari jarak pandang biasa. Perlahan, ia meraba benda itu, lalu mengangkatnya dengan hati-hati.

Itu adalah sebuah pena kuno, yang terlihat sangat tua. Pena itu berbeda dari yang ia temui sebelumnya. Warnanya sudah memudar, tetapi bentuknya masih terjaga dengan baik. Naya tidak bisa menjelaskan mengapa, tetapi ia merasa sangat akrab dengan benda itu. Seolah-olah, pena itu memiliki makna yang dalam baginya, lebih dari sekadar alat untuk menulis.

Dengan penasaran, ia memegang pena itu erat-erat. Lalu, tanpa bisa ditahan lagi, ia mulai menulis di halaman yang kosong. Kata-kata itu mengalir dengan mudah, lebih lancar dari sebelumnya. Seperti ada kekuatan yang membimbing tangannya. Setiap kalimat terasa begitu tepat, seperti cerita yang sudah tertulis di dalam dirinya sejak lama.

Namun, tiba-tiba, Naya merasakan sensasi yang berbeda. Sesuatu yang aneh menyelimuti dirinya. Ia merasa seperti ada yang mengamatinya, tapi saat ia menoleh, tidak ada siapa-siapa di sekelilingnya. Hanya ada beberapa pengunjung lain yang sibuk dengan pekerjaan mereka. Perasaan itu semakin kuat, dan Naya merasakan detak jantungnya yang semakin cepat.

Tiba-tiba, sebuah suara lembut terdengar di telinganya. "Kau sedang menulisnya, Naya."

Naya terkejut, dan segera menoleh. Tidak ada seorang pun di sekitarnya. Hanya ada meja nomor 9, pena kuno yang ia genggam erat, dan buku yang terbuka di hadapannya.

Suara itu datang dari dalam dirinya—atau lebih tepatnya, dari dunia yang tak kasat mata itu. Itu adalah suara yang begitu familiar, suara yang selalu mengikutinya selama ini. Suara Nard.

Lihat selengkapnya