Naya duduk diam, terperangkap dalam kebingungannya. Tidak ada suara lain selain detak jantungnya yang terus berpacu cepat. Meja nomor 9 yang biasa terasa familiar kini malah terasa asing. Sudah berapa kali ia datang ke kafe ini, tetapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ada sesuatu yang lebih dalam mengalir, sesuatu yang lebih besar dari sekadar cerita yang ia tulis.
"Apakah ini benar-benar berakhir?" Naya bergumam pada dirinya sendiri, tidak yakin apakah ia baru saja menulis akhir cerita atau justru membuka bab baru dalam hidupnya.
Langit di luar sudah gelap. Hujan baru saja reda, dan udara malam yang sejuk menyelimuti kafe. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam atmosfernya malam ini. Bahkan dengan pencahayaan temaram, kafe ini terasa lebih hangat dari biasanya. Seolah sesuatu yang tak tampak memberikan perlindungan kepada Naya. Ia menatap secarik kertas di meja, membaca ulang kalimat terakhir yang baru saja ia tulis.
"Terima kasih sudah menjaga tempat ini tetap hidup."
Kata-kata itu mengingatkannya pada sesuatu. Sesuatu yang sudah lama terlupakan. Sesuatu yang tersembunyi di balik misteri meja nomor 9. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan "menjaga tempat ini tetap hidup"? Dan siapa yang seharusnya berterima kasih padanya?
Tiba-tiba, pintu kafe terbuka. Langkah kaki terdengar, dan seorang pria muda melangkah masuk. Naya menoleh, hampir tak percaya. Pria itu mengenakan jaket hitam dan rambutnya sedikit berantakan, seolah baru saja bangun tidur, tetapi ada sesuatu yang sangat familiar tentangnya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya pria itu dengan suara lembut namun dalam.
Naya terdiam sejenak, merasa seperti melihat seseorang yang sudah lama ia kenal, namun wajahnya terasa asing. "Aku... aku hanya sedang menulis," jawab Naya, suaranya sedikit gemetar.
Pria itu tersenyum samar. "Aku tahu," katanya pelan. "Aku sudah menunggumu."
Naya merasa ada yang aneh. "Menungguku?"
"Ya," pria itu berkata, matanya menatap Naya dengan intens. "Aku sudah menunggumu di sini. Di meja nomor 9."
Naya terdiam, jantungnya berdebar kencang. Semua yang ia rasakan kini seperti menjadi kenyataan. Pria ini... pria yang seolah keluar dari dunia fiksi yang ia tulis. Naya mencoba untuk memahami, mencoba untuk menghubungkan semuanya, namun pikirannya terasa kacau.
"Siapa kamu?" tanya Naya dengan suara yang hampir hilang. "Apa yang kamu inginkan dariku?"
Pria itu menghela napas, dan matanya tampak penuh dengan rahasia. "Aku Nard. Aku adalah bagian dari cerita yang kamu tulis, Naya. Tapi aku bukan hanya fiksi. Aku ada di sini, sama seperti kamu."
Kata-kata itu mengguncang Naya. Sejenak, ia merasa seperti terjebak dalam dunia yang tidak bisa ia kontrol. Pria ini, Nard, adalah karakter yang pernah ia tulis, namun kali ini, ia tampak lebih nyata daripada sebelumnya.
"Ini... ini tidak mungkin," kata Naya, berusaha menenangkan dirinya. "Kamu... kamu hanya karakter dalam novelnya. Kamu tidak bisa nyata."
Namun Nard hanya tersenyum, kali ini senyuman yang penuh pengertian. "Begitulah, bukan? Kadang, cerita bisa melampaui imajinasi kita. Dan terkadang, cerita itu bisa hidup."
Tiba-tiba, sesuatu dalam diri Naya tergetar. Ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan—sebuah keterhubungan yang dalam dengan pria ini, dengan Nard, yang datang dari dunia fiksi yang ia buat. Dia adalah bukti bahwa cerita dan kenyataan bisa bertabrakan.
"Apakah kamu... apakah kamu yang membuat semua benda-benda aneh muncul di meja ini?" tanya Naya, mencoba untuk memecahkan teka-teki yang selama ini mengganggunya.
Nard mengangguk pelan. "Ya. Aku mencoba membantu kamu menyelesaikan ceritamu. Tapi sebenarnya, ini bukan hanya tentang novel yang kamu tulis. Ini lebih tentang kamu, tentang takdirmu yang sedang berinteraksi dengan dunia cerita. Kita saling berhubungan lebih dari sekadar kata-kata di atas kertas."
"Apa maksudmu?" Naya bertanya, bingung.
Nard berjalan mendekat, duduk di kursi di sebelahnya. "Kau pernah bertanya-tanya kenapa meja nomor 9 selalu kosong? Karena itu adalah tempat di mana takdir kita bertemu. Dunia ini, dunia cerita, dan dunia nyata—semuanya terhubung melalui meja ini. Aku ada di sini karena kamu memberiku kehidupan, Naya. Kamu menulisku ke dalam eksistensi, dan sekarang, aku hadir untuk menunjukkan kepadamu bahwa tak ada yang benar-benar fiksi."
Naya merasakan sesuatu yang lebih dalam dalam kata-kata Nard. Sesuatu yang lebih dari sekadar misteri—sesuatu yang mengubah pandangannya tentang dunia. Dunia yang selama ini ia anggap nyata, kini tampak berbeda. Apakah ia akan memilih untuk menerima kenyataan ini? Apakah ia akan menerima bahwa ceritanya dan takdirnya mungkin telah ditentukan jauh sebelum ia mengetahuinya?