Naya duduk diam di meja nomor 9, menatap cincin kecil yang tergeletak di hadapannya. Ukiran samar yang ia lihat di atasnya masih membingungkannya. Apa artinya? Siapa yang meninggalkan benda ini? Semakin ia mencoba memahami, semakin banyak pertanyaan yang muncul. Cincin itu seperti simbol yang menghubungkannya dengan sesuatu yang lebih besar, sebuah takdir yang tidak bisa ia hindari.
Hari itu, Naya memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut. Ia mulai mencari tahu lebih banyak tentang Raga, pemuda yang dulu pernah duduk di meja nomor 9. Meskipun ia telah menemukan beberapa informasi mengenai Raga, masih ada banyak bagian yang hilang. Ia tahu bahwa Raga memiliki koneksi dengan cerita yang ia tulis, tetapi ia belum bisa menghubungkan titik-titik itu dengan jelas.
Sementara itu, cerita dalam novelnya semakin berkembang. Karakter-karakter yang ia buat semakin nyata, seperti mereka memiliki kehidupan mereka sendiri. Setiap kali ia menulis, ia merasa seperti sedang berkomunikasi dengan dunia yang ia ciptakan, dan itu semakin membuatnya merasa terikat pada meja nomor 9.
Naya memutuskan untuk kembali ke kafe, berharap menemukan petunjuk baru. Saat ia tiba, kafe itu sepi seperti biasa, hanya ada dirinya dan seorang barista yang sibuk di belakang konter. Ia berjalan ke meja nomor 9 dan duduk, berharap bisa mendapatkan jawaban dari cerita yang sedang ia tulis.
Saat membuka laptopnya, ia menemukan sebuah catatan kecil terlipat di bawah layar. Dengan hati berdebar, ia membuka catatan itu dan membacanya:
"Tanganmu menulis takdirku. Ingat, tak semua cerita berakhir bahagia. Aku ada di sini, menunggumu."
Naya terkejut. Catatan itu terasa lebih pribadi, lebih intim. Siapa yang meninggalkan catatan ini? Siapa yang menunggu di balik kata-kata ini? Ia merasa ada sesuatu yang semakin mendekat, sesuatu yang lebih nyata daripada sekadar fiksi.
Di luar kafe, hujan mulai turun, menambah suasana misterius yang melingkupi tempat itu. Naya mengumpulkan keberaniannya dan memutuskan untuk melanjutkan pencariannya. Ia harus tahu siapa Raga sebenarnya, dan apa hubungan pria itu dengan dirinya. Jika ia bisa menemukan jawabannya, mungkin ia bisa memahami apa yang terjadi di meja nomor 9—dan akhirnya menemukan jawaban yang selama ini ia cari.
Malam itu, setelah menulis seharian penuh, Naya tidak bisa tidur. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya tetap terjaga, berputar-putar, mencoba memecahkan teka-teki yang semakin rumit. Catatan dan benda-benda aneh yang muncul di meja nomor 9 terus menghantuinya. Ia merasa seperti terjebak di antara dunia fiksi yang ia tulis dan kenyataan yang semakin sulit dipahami. Apakah semua ini hanya kebetulan? Ataukah ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang mengarahkannya ke suatu tujuan yang tak ia ketahui?
Dia menatap laptopnya yang terbuka, halaman kosong itu menunggu sentuhannya. Tapi malam ini, kata-kata itu terasa jauh, seperti mereka sedang bersembunyi darinya. Sebuah perasaan aneh menyerang hatinya, seolah ia tidak hanya menulis cerita, tetapi juga menghidupkan sesuatu yang tidak seharusnya hidup.
Naya mengusap wajahnya, berusaha mengusir rasa lelah dan kebingungannya. Sudah beberapa kali ia mencoba untuk tidur, tetapi setiap kali matanya terpejam, ia merasa ada suara yang memanggilnya, sebuah suara yang datang dari dalam dirinya. Suara itu mengingatkannya pada meja nomor 9. Suara itu mengingatkannya pada catatan yang ditinggalkan di bawah meja dan benda-benda aneh yang muncul setiap kali ia datang ke kafe.
Tidak bisa menahan lagi, Naya memutuskan untuk pergi ke kafe itu, berharap bisa menemukan petunjuk lebih lanjut. Ia merasa ada sesuatu yang menghubungkannya dengan meja nomor 9, dan ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia menutup laptopnya dan berdiri, menyambar jaket di gantungan.
Di luar, hujan mulai turun, deras. Jalanan yang basah memantulkan cahaya lampu jalan yang berkelap-kelip, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Tetapi Naya tidak peduli. Ia tahu ia harus ke sana. Kafe itu adalah tempat yang memberi ruang bagi pikirannya, tempat di mana ia merasa bebas untuk menulis, untuk berpikir, dan untuk mencari jawaban. Meja nomor 9 adalah miliknya—miliknya dan mungkin milik seseorang yang sudah lama pergi.
Sesampainya di kafe, pintu terbuka dengan bunyi berderit. Naya melangkah masuk, merasakan aroma kopi yang selalu menyambutnya. Kafe itu masih sepi, hanya ada dirinya dan barista yang sedang membersihkan meja. Meja nomor 9, seperti biasa, kosong, menantinya untuk duduk dan menulis. Naya berjalan menuju meja itu dan duduk, merasakan kehangatan yang memeluknya. Sejenak, ia menutup mata, menarik napas dalam-dalam.
Di atas meja, ada sebuah benda kecil yang belum pernah ia lihat sebelumnya—sebuah cincin kecil dengan ukiran samar di atasnya. Ukiran itu terlihat seperti tulisan tangan, tetapi begitu halus dan kecil, Naya hampir tidak bisa membacanya. Ia memungut cincin itu, merasakannya di tangannya. Ada sesuatu yang aneh tentang cincin ini—sebuah perasaan yang menggigit, seperti benda ini membawa kenangan yang sudah lama terkubur.
Naya menatap cincin itu lama, merasakan ketegangan yang semakin kuat. Apa arti cincin ini? Kenapa benda ini ada di sini, di meja yang selalu ia duduki? Dan siapa yang meninggalkannya?
Dengan jantung yang berdetak cepat, Naya melirik sekeliling. Hanya ada dirinya dan barista itu, yang sibuk di belakang konter. Tidak ada yang lain, tidak ada jejak yang mengarah pada jawaban. Namun, rasa penasaran itu semakin menguat dalam dirinya. Apa yang harus ia lakukan dengan cincin ini? Apa hubungannya dengan cerita yang ia tulis?
Saat membuka laptopnya, sebuah catatan kecil terlipat muncul di bawah layar. Naya segera membukanya, merasa ada sesuatu yang menunggu untuk ditemukan. Catatan itu hanya berisi beberapa kata:
"Tanganmu menulis takdirku. Ingat, tak semua cerita berakhir bahagia. Aku ada di sini, menunggumu."
Naya terkejut. Catatan itu terasa lebih pribadi, lebih intim. Siapa yang meninggalkan catatan ini? Siapa yang menunggu di balik kata-kata ini? Ia merasa ada sesuatu yang semakin mendekat, sesuatu yang lebih nyata daripada sekadar fiksi.
Naya menggenggam cincin itu erat, merasa semakin terhubung dengan kata-kata dalam catatan. Ada sesuatu yang harus ia selesaikan, dan itu bukan hanya cerita dalam novelnya. Ia merasa terhubung dengan dunia yang tidak bisa ia jelaskan. Semua ini, semua yang terjadi, bukanlah kebetulan.
Dengan hati yang berdebar, Naya memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut. Ia harus menemukan siapa yang meninggalkan catatan itu dan mengapa benda-benda seperti cincin itu selalu muncul di meja nomor 9. Tak lama lagi, ia menyadari bahwa pencariannya bukan hanya untuk menyelesaikan cerita, tetapi untuk mengungkap kebenaran yang tersembunyi di balik meja itu, dan siapa sebenarnya yang mengarahkan takdirnya. Siapa yang sedang menunggu di balik meja nomor 9, menunggu untuk ditemukan?
Dengan langkah pasti, Naya memutuskan untuk melanjutkan pencariannya—ke tempat yang lebih jauh, ke tempat yang mungkin akan mengubah segalanya.
Naya duduk di kursinya, menatap cincin kecil itu di telapak tangannya. Hatinya berdebar-debar, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Catatan yang ia temukan tadi malam masih terbayang jelas di pikirannya. "Aku ada di sini, menunggumu." Siapa yang menulis itu? Dan apa hubungannya dengan Raga, sosok yang begitu sering ia temui dalam ceritanya? Kenapa semuanya terasa semakin nyata, seperti ia sedang terjebak dalam dunia yang tak bisa ia kendalikan?