Ruang Kosong di Meja Nomor 9

Penulis N
Chapter #13

13

Naya merasa udara di sekitar mereka semakin tebal, seolah-olah dunia di sekelilingnya mulai berubah. Meja nomor 9, tempat yang selama ini ia anggap sebagai zona aman untuk menulis dan merenung, kini terasa begitu berat dengan kehadiran Raga di hadapannya. Setiap kata yang diucapkan pria itu menyelimuti pikirannya, membawa pertanyaan yang semakin membelenggu hatinya.

"Jadi, semua yang aku tulis, semua yang aku ciptakan... ada kaitannya dengan kamu?" tanya Naya, mencoba memahami.

Raga mengangguk perlahan. "Kau menulis tentangku, Naya. Setiap kata yang kau tulis menghidupkan aku lebih dekat denganmu. Dan aku tahu, cerita yang kau buat tidak hanya sekadar fiksi. Itu adalah bagian dari takdir kita, meski kita berdua belum sepenuhnya mengerti bagaimana semuanya bisa terjalin."

Naya menggigit bibirnya, berpikir keras. Di satu sisi, ia merasa terhormat. Selama ini ia hanya menulis untuk dirinya sendiri, untuk melepaskan perasaan dan mengalirkan imajinasi ke dalam dunia yang ia ciptakan. Namun, sekarang ia dihadapkan pada kenyataan bahwa cerita-cerita yang telah ia tulis memiliki dampak yang lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.

"Tapi," Naya memulai dengan suara pelan, "jika aku menyelesaikan cerita ini... kau akan pergi? Menghilang dari hidupku?"

Raga menatapnya dengan tatapan yang dalam, seolah-olah mencoba mencari jawaban di dalam dirinya sendiri. "Ya, itu salah satu kemungkinan. Aku akan pergi, dan takdir kita akan berakhir di sini. Tapi, jika kau memilih untuk terus menulis, untuk membiarkan cerita ini terus hidup, kita akan selalu terhubung. Namun, kita tidak akan pernah benar-benar bebas."

Kata-kata itu menghantam Naya seperti badai. Keputusan apa yang harus ia ambil? Menulis adalah bagian dari dirinya, dan Raga adalah bagian dari cerita itu. Namun, jika ia memilih untuk terus menulis, apakah ia akan terperangkap selamanya dalam lingkaran tak berujung ini? Atau apakah ada cara lain untuk mengakhiri semuanya dengan damai?

"Kenapa kamu tidak memberitahuku lebih banyak?" Naya bertanya, suara seraknya mulai terdengar. "Kenapa tidak memberi tahu aku sejak awal? Kenapa aku harus menunggu sampai saat ini untuk mengetahui kebenarannya?"

Raga terdiam sejenak, sebelum akhirnya berbicara dengan lembut, "Aku tidak bisa memberitahumu lebih awal, Naya. Takdir kita harus berjalan dengan cara yang alami, meski aku tahu itu akan menyakitimu. Dan aku tahu, sekarang kamu harus memilih. Kamu harus memutuskan jalanmu sendiri."

Naya menundukkan kepala, mencoba menenangkan pikirannya. Semua yang terjadi begitu cepat. Seperti potongan-potongan puzzle yang mulai tersusun, namun tidak ada gambar yang jelas. Semakin ia berusaha memahami, semakin ia merasa terombang-ambing antara kenyataan dan dunia yang telah ia buat sendiri.

"Tapi aku tidak tahu bagaimana melanjutkannya," kata Naya akhirnya, suaranya penuh keraguan. "Aku takut jika aku salah memilih, semuanya akan hancur. Jika aku terus menulis, apakah aku bisa hidup normal lagi? Jika aku berhenti, apakah itu berarti aku menghancurkan apa yang sudah kita buat bersama?"

Raga mendekat, tangannya meraih tangan Naya dengan lembut. "Aku tidak ingin kau merasa terjebak, Naya. Pilihanmu adalah milikmu. Tapi ingat, takdir kita akan tetap terjalin, meski apapun yang kau pilih. Apa yang penting adalah bagaimana kau menghadapi pilihan itu."

Naya menatap tangan Raga yang menggenggamnya. Tiba-tiba ia merasa ada kekuatan yang tak terlihat antara mereka, sebuah koneksi yang lebih dalam daripada yang ia duga. Ia menyadari bahwa cerita ini, kisah yang telah ia tulis, bukan hanya tentang dirinya atau Raga. Ini adalah tentang pilihan, tentang bagaimana memilih jalan hidup meski tak tahu apa yang akan datang.

"Aku akan memilih," kata Naya dengan tegas. "Aku akan menulis akhir cerita ini, tetapi aku tidak akan membiarkan takdir menulis seluruh hidupku. Aku akan mencari jalan keluar."

Raga tersenyum, senyumnya yang penuh harapan. "Itulah keputusan yang benar, Naya. Takdir memang tidak selalu harus diikuti. Kadang, kita bisa menciptakan jalan kita sendiri."

Naya merasakan keberanian baru tumbuh dalam dirinya. Ia tahu jalan yang ia pilih tidak akan mudah, dan mungkin akan membawa konsekuensi yang besar. Tapi ia juga tahu bahwa ini adalah waktunya untuk mengendalikan takdirnya, untuk mengambil kendali atas cerita yang selama ini ia tulis.

Dengan satu keputusan, Naya merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri. Ia siap menghadapi apa pun yang akan datang. Meja nomor 9, yang selama ini menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya, kini hanya menjadi bagian dari cerita yang akan segera berakhir. Tapi ia yakin, cerita baru akan dimulai dari sini.

You said:

Lihat selengkapnya