Ruang Kosong di Meja Nomor 9

Penulis N
Chapter #14

14

Keesokan harinya, Naya kembali duduk di meja nomor 9, tempat yang selalu terasa seperti rumah baginya. Namun, hari itu ada sesuatu yang berbeda. Benda yang biasanya muncul di atas meja, benda yang terasa seperti petunjuk dari dunia lain, kini tidak ada. Meja nomor 9 kosong. Hanya ada laptop dan secangkir kopi yang mulai mendingin.

Naya memandangi meja itu, menanti sesuatu yang biasa ia temui—sebuah benda kecil yang mungkin menyiratkan bahwa ia tidak sendirian di sana. Namun tidak ada. Hanya kesunyian yang terasa begitu menyesakkan. Ini bukan pertama kalinya ia merasa seperti ini, namun kali ini, kesunyian itu terasa lebih berat.

Ia membuka laptop dan melihat dokumen yang masih terbuka. Cerita yang sedang ia tulis kembali mengalir, namun tidak seperti biasanya. Rasa cemas dan kebingungannya semakin menghalangi pikirannya. Apa yang terjadi dengan Nard? Mengapa benda-benda itu berhenti muncul? Apa yang berubah?

Pikirannya kembali melayang pada foto Nard yang ia temukan sebelumnya, diambil dari sebuah buku tua yang tiba-tiba muncul di meja. Semuanya terasa seperti petunjuk, namun sekarang, petunjuk itu menghilang begitu saja. Apakah ini tanda bahwa sesuatu akan berubah dalam cerita ini? Ataukah ia hanya terjebak dalam ilusi yang diciptakan oleh pikirannya sendiri?

"Apakah ini berarti aku harus berhenti?" gumam Naya pada dirinya sendiri, meskipun ia tahu jawabannya. Menulis adalah bagian dari hidupnya, dan berhenti menulis bukanlah pilihan. Tapi ada sesuatu yang tak bisa ia abaikan—sesuatu yang membuatnya merasa terjebak dalam sebuah lingkaran yang tak bisa ia keluar.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Naya menoleh, terkejut. Seorang pria berdiri di pintu kafe, tampak ragu-ragu sebelum melangkah masuk. Matanya langsung tertuju pada meja nomor 9, yang biasanya hanya ditempati oleh Naya.

"Maaf, saya boleh duduk di sini?" tanyanya, dengan suara yang terdengar begitu familiar. Naya tertegun. Itu suara yang sering ia dengar dalam pikirannya—suara yang seolah sudah lama ia kenal. Suara yang mengingatkannya pada Nard.

Naya terdiam beberapa detik, mencoba menelan rasa terkejutnya. "Tentu," jawabnya akhirnya, suaranya sedikit tercekat. Pria itu tersenyum, duduk di kursi yang ada di seberang meja. Dia mengeluarkan laptopnya dan mulai bekerja, namun Naya merasa ada sesuatu yang aneh dengan kehadirannya.

Saat pria itu membuka laptopnya, Naya memperhatikan setiap gerak-geriknya. Wajahnya samar, namun ada sesuatu dalam ekspresinya yang mengingatkan Naya pada pria dalam foto yang ia temukan. Sontak, hatinya berdebar lebih cepat.

"Maaf, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" Naya bertanya, meskipun ia tahu bahwa pertanyaannya terdengar konyol. Pria itu menatapnya dengan mata yang tajam, seolah mencoba mengenali dirinya.

"Sepertinya tidak," jawab pria itu dengan senyum tipis. "Saya baru pertama kali datang ke sini."

Naya tersenyum, namun di dalam hatinya ada rasa yang tak bisa ia jelaskan. Ada sesuatu yang aneh tentang pria ini, sesuatu yang membuatnya merasa terhubung dengan apa yang telah ia tulis, dengan Nard, dengan meja nomor 9. Apakah ini semua hanya kebetulan? Ataukah ada sesuatu yang lebih besar yang mengikat mereka semua?

Pria itu kembali fokus pada laptopnya, namun Naya masih merasa cemas. Apakah ini tanda bahwa Nard akan muncul dalam bentuk yang berbeda? Apakah pria ini adalah bagian dari cerita yang sedang ia tulis, ataukah ia benar-benar orang biasa yang tidak tahu apa-apa tentang meja nomor 9?

Sambil menatap pria itu, Naya merasa ada pertanyaan yang harus dijawab. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, jawabannya semakin mengabur. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, atau bagaimana cerita ini akan berakhir. Semua yang ia tahu adalah bahwa takdirnya, tak peduli bagaimana ia mencoba menghindarinya, selalu berputar kembali ke meja nomor 9, dan entah bagaimana, meja itu menyimpan rahasia yang lebih besar daripada yang ia bayangkan.

Ketika hujan kembali turun dengan deras, Naya kembali membuka laptopnya dan melanjutkan menulis. Meski kebingungannya semakin mendalam, ia tahu satu hal: takdirnya sudah tertulis, dan ia harus terus menulis untuk menemukan akhir dari cerita ini.

Namun, saat matanya melirik pria itu sekali lagi, ia merasa bahwa jawaban dari semua misteri ini mungkin sudah sangat dekat.

Keesokan harinya, Naya memutuskan untuk datang lebih pagi dari biasanya. Ia ingin meresapi suasana kafe yang sepi dan menenangkan pikirannya yang mulai berlarian ke sana kemari. Meja nomor 9 kembali tampak kosong. Tidak ada benda asing yang diletakkan di atasnya, tidak ada petunjuk, tidak ada jejak dari kehadiran yang entah bagaimana terasa sangat kuat dalam hidupnya belakangan ini.

Naya duduk, membuka laptopnya, dan memulai ketikan baru. Namun, pikirannya kembali terhenti pada bayangan pria yang duduk di seberang meja kemarin. Ada sesuatu yang tidak beres. Matanya begitu familiar, dan senyumnya menyimpan misteri yang belum terpecahkan.

"Apakah dia benar-benar orang biasa?" gumamnya pelan. Naya menarik napas panjang dan mulai mengetikkan kalimat demi kalimat, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mengganggunya. Ia ingin fokus pada cerita yang sedang ia tulis, namun di balik setiap kata yang ia ketik, bayangan pria itu terus mengganggu.

Saat ia hampir selesai menulis beberapa paragraf, suara langkah kaki kembali terdengar, lebih dekat dari sebelumnya. Naya menoleh dan melihat pria yang sama, yang kemarin duduk di meja nomor 9, berjalan menuju arah kursi di seberangnya. Wajahnya masih sama, namun kali ini ada kesan yang berbeda—seakan-akan ia mengenali Naya lebih dalam.

Naya terkejut, namun berusaha tetap tenang. "Selamat pagi," sapa pria itu, kali ini dengan suara yang lebih hangat. Naya membalas senyumannya, meski hatinya berdebar tak karuan.

"Pagi," jawab Naya, berusaha terdengar biasa saja. "Kembali lagi?" tanya Naya, suaranya sedikit terputus.

"Ya, sepertinya saya tak bisa jauh-jauh dari tempat ini," jawab pria itu dengan senyum tipis. "Rasanya seperti ada yang menarik saya kembali ke sini."

Naya terdiam sejenak, mencoba mengatur napasnya yang sedikit memburu. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang membuat hatinya terasa tidak tenang. Apa maksudnya dengan "sesuatu yang menarik"?

"Nama saya Naya," ia akhirnya memperkenalkan diri, meski tidak yakin mengapa ia merasa perlu melakukannya. "Kamu siapa?" tanyanya, meskipun ia sudah bisa menebak jawaban pria itu.

Pria itu tersenyum lagi, kali ini lebih tulus. "Nard," jawabnya, dengan nada yang sedikit lebih rendah.

Lihat selengkapnya