Ruang Kosong di Meja Nomor 9

Penulis N
Chapter #15

15

Langkah-langkah Naya bergema pelan di sepanjang koridor apartemennya yang sepi. Sudah hampir pukul dua pagi ketika ia kembali dari kafe, namun rasa kantuk tak juga datang. Kepalanya masih penuh dengan pikiran—tentang Nard, tentang takdir, tentang cerita yang ia tulis dan hidup yang ia jalani.

Begitu pintu terbuka, hawa dingin menyambutnya. Tapi bukan hanya udara yang membuat bulu kuduknya meremang—ada firasat aneh, seolah ia tidak sendiri di dalam sana.

Naya menyalakan lampu.

Apartemen tampak normal. Tidak ada yang berubah.

Namun saat ia melangkah masuk, matanya langsung tertuju pada sebuah amplop putih yang diletakkan di atas meja makan. Ia yakin benda itu belum ada tadi pagi. Dengan hati-hati, ia mendekat, mengambil amplop itu dan membukanya. Di dalamnya hanya ada selembar foto usang.

Sebuah foto berwarna pudar, memperlihatkan dirinya—Naya kecil—berdiri di depan kafe tempat ia biasa menulis sekarang. Di sampingnya, berdiri seorang pria dewasa yang wajahnya separuh tertutup bayangan.

Wajah itu... tidak asing.

Naya membalik foto itu. Di baliknya tertulis: Kita pernah bertemu, jauh sebelum kau mengingat.

Jantungnya berdebar keras.

Segalanya semakin membingungkan. Bagaimana mungkin ia tidak pernah mengingat momen ini? Ia menatap wajah pria dalam foto itu dengan saksama. Wajah itu memang samar, tapi bentuk rahangnya, garis senyumnya... itu wajah Nard.

"Nard?" bisiknya. "Sudah sejak kapan kau mengikutiku?"

Naya tertegun di tempat. Ia tidak tahu harus merasa takut, bingung, atau marah. Jika benar Nard sudah muncul dalam hidupnya sejak ia masih kecil, maka semua ini bukan lagi tentang pilihan sesaat. Ini sudah menjadi bagian dari takdir hidupnya—takdir yang tak pernah ia sadari ditulis sejak lama.

Ia duduk di sofa dengan tangan masih menggenggam foto itu. Pikirannya berkelana, memutar kembali semua pertemuannya dengan Nard: tatapan pertama, kata-kata penuh teka-teki, dan kebiasaan aneh pria itu yang selalu muncul saat ia merasa tersesat.

Apakah semua itu bagian dari rencana?

Atau... Nard juga terjebak dalam sesuatu yang lebih besar?

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:

Kamu tak akan bisa menulis akhir cerita ini tanpaku.

Naya menelan ludah. Ia mencoba membalas, namun pesan itu langsung hilang dari layar. Seperti tidak pernah ada.

Ia bangkit berdiri, berjalan menuju jendela, memandang ke luar. Di bawah cahaya lampu jalan, ia melihat seseorang berdiri di seberang jalan. Sosok itu mengenakan mantel panjang, kepalanya sedikit menunduk, wajahnya tak terlihat.

Tapi Naya tahu siapa dia.

"Nard..." gumamnya.

Sosok itu tidak bergerak. Tidak mendekat. Hanya berdiri di sana, diam, seolah menunggu. Naya tahu, jika ia membuka pintu dan turun ke bawah, ia akan bertemu dengannya. Tapi hatinya ragu. Apakah ia sudah siap? Apakah ia sudah siap mendengar seluruh kebenaran, apapun itu?

Ia mundur selangkah, lalu menutup gorden. Malam ini, ia tidak akan mengejarnya.

Bukan karena takut.

Tapi karena ia ingin menulis dulu—menuliskan semua bayang-bayang yang mulai menari di dalam pikirannya.

Naya duduk kembali di meja kerjanya. Membuka laptop. Menyusun kata.

Karena ia tahu, malam ini adalah malam yang akan mengubah segalanya. Dan mungkin, hanya dengan menulis... ia akan bisa menghadapi apa pun yang akan Nard ungkapkan esok hari.

Dan untuk pertama kalinya, ia tidak menulis fiksi. Ia menulis tentang dirinya sendiri. Tentang Nard. Tentang takdir yang menggema bahkan sejak sebelum ia mengerti maknanya.

Tentang bayangan yang selalu mengikutinya.

Tentang kisah yang belum selesai.

Naya tertidur di sofa dengan laptop masih menyala di hadapannya. Jari-jarinya yang lelah menggantung di udara, dan layar menampilkan satu paragraf terakhir yang belum selesai diketik. Di luar, matahari belum menampakkan diri, tapi langit mulai berwarna kelabu.

Dalam tidurnya, Naya bermimpi. Namun ini bukan mimpi biasa. Semuanya terlalu nyata—bau hujan, suara lonceng tua, dan dinginnya udara seperti menusuk tulang. Ia berdiri di tengah jalan berbatu, dikelilingi rumah-rumah tua bergaya kolonial.

Lihat selengkapnya