Ruang Kosong di Meja Nomor 9

Penulis N
Chapter #16

16

Naya membawa pulang kotak logam itu malam itu juga, menyimpannya hati-hati di rak buku tempat biasanya ia meletakkan draft novel. Tapi ia belum membuka surat-surat lainnya. Ada rasa takut yang ganjil, seolah setiap lembar bisa mengubah cara ia melihat Nard—atau bahkan dirinya sendiri.

Keesokan paginya, ia duduk di kamarnya yang hangat oleh cahaya matahari pagi. Kotak logam itu tergeletak di meja kerja, seakan memanggil. Ia menarik napas panjang, lalu mengambil lembar surat kedua.

Tulisannya mirip, namun lebih tergesa. Ada bekas noda tinta seperti ditulis di tengah malam:

Naya—

Kalau kau sudah membaca ini, mungkin kau sedang bingung. Mungkin kau merasa cerita ini makin menjauh dari kendalimu. Tapi percayalah, aku tidak berniat menakutimu. Aku hanya ingin... diteruskan. Hidup ini tidak memberiku akhir yang bisa kutulis sendiri, jadi aku menitipkannya padamu.

Kadang, kisah yang tak selesai bukan berarti berakhir. Ia hanya menunggu penulis yang baru.

—Nard

Naya terdiam. Nama "Naya" tertulis jelas di sana. Ia membalik surat itu, tapi tak ada tanggal, tak ada keterangan. Surat itu bisa saja ditulis bertahun-tahun lalu, atau... beberapa malam lalu.

Ia membuka lembar ketiga. Kali ini lebih panjang. Bercerita tentang seseorang yang duduk di kafe tua setiap malam, menulis cerita yang tak pernah dimuat, yang tak pernah dibaca siapa pun. Ia menuliskan kegelisahan karena merasa dilupakan oleh dunia, tapi masih berharap bahwa satu hari, akan ada seseorang yang membaca tulisannya dan merasa "terhubung".

Dan sekarang, orang itu adalah Naya.

Dengan napas berat, ia menoleh ke laptopnya. Draft novelnya—yang selama ini ia kira hanyalah imajinasinya sendiri—terbuka di layar. Ia scroll ke atas, menelusuri kembali bagian demi bagian. Cerita itu tak lagi sekadar cerita. Ia terasa seperti gema, pantulan dari kehidupan seseorang yang pernah ada—dan mungkin masih ada, entah di mana.

Naya mulai mengetik lagi.

"Aku tidak tahu siapa yang lebih nyata—aku, atau dia. Tapi meja nomor 9 telah menjadi semacam cermin. Kadang aku melihat diriku, kadang aku melihat dia. Kadang... kami bercampur menjadi satu cerita."

Jari-jarinya menari di atas keyboard. Malam ini, ia tidak hanya menulis untuk pembaca. Ia menulis untuk Nard.

Untuk cerita yang menolak mati.

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Naya merasa hidupnya mulai terjalin dengan cerita yang semakin sulit dibedakan antara nyata dan fiksi. Setiap kali ia kembali ke meja nomor 9, sesuatu yang aneh selalu terjadi. Benda-benda baru muncul, surat-surat dari Nard terus menyusul, dan Naya merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang—atau mungkin ada bagian dari dirinya yang baru ditemukan.

Suatu sore, Naya kembali ke kafe. Hujan kecil turun, dan kafe itu lebih sepi dari biasanya. Ketika ia duduk di meja nomor 9, sebuah benda kecil tergeletak di atas meja. Sebuah jam saku tua, tampaknya sudah tidak berfungsi lagi, namun terukir dengan tulisan yang sama: "Nard".

Tanpa ragu, Naya memegang jam itu, merasakannya dengan hati-hati. Tak ada suara detikannya, hanya keheningan yang terasa berat di udara. Ia memandangi jam itu sebentar, lalu menyadari ada sebuah kertas kecil yang tersembunyi di balik tutup jam tersebut.

Dengan gemetar, ia membuka kertas itu dan membaca:

Aku hanya ingin kau tahu, kadang-kadang, waktu bisa terjebak. Aku menulis tentangmu, Naya, tanpa sadar. Aku menuliskan kisah kita tanpa tahu kapan kisah ini akan berakhir. Meja nomor 9 adalah tempat yang lebih dari sekadar meja—dia adalah tempat dimana cerita-cerita kita mulai bertemu dan saling bertabrakan. Jika kau terus menulis, maka kita akan terus bertemu, dan kita tidak akan pernah bisa berpisah.

Kau dan aku adalah bagian dari cerita yang tak pernah selesai. Kita adalah dua sisi dari satu takdir, terjalin di antara kata-kata dan ruang yang tak terlihat.

Nard

Surat itu menambah beban di dada Naya. Ia menunduk, merenung dalam-dalam. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apakah ia hanya terjebak dalam cerita yang terus berulang, atau apakah Nard benar-benar ada—seperti yang ia rasakan, meskipun hanya dalam bayangan?

Naya merasa semakin terperangkap dalam dilema yang tak bisa ia jawab. Setiap kali ia menulis, sesuatu dari dunia nyata seakan berpadu dengan dunia fiksi yang ia buat. Kata-kata dalam cerita seolah menghidupkan hal-hal yang ia tak tahu harus dijelaskan dengan cara apa.

Saat ia mengangkat pandangan dari kertas itu, ia melihat sosok seorang pria yang tiba-tiba muncul di ambang pintu kafe. Wajahnya samar, seakan kabur, namun matanya—mata itu—terasa begitu familiar.

Naya menelan ludah, tubuhnya membeku. Matanya tidak bisa lepas dari pria itu, yang perlahan berjalan menuju meja nomor 9.

Pria itu berhenti tepat di depan meja Naya. Ia tersenyum, sebuah senyuman yang begitu tenang namun penuh misteri. Naya merasa terperangkap dalam tatapan itu, seolah-olah pria itu tahu apa yang ia rasakan, apa yang ia pikirkan.

Lihat selengkapnya