Ketika pintu itu terbuka, cahaya putih menyilaukan menyelimuti mereka. Sejenak, dunia terasa hening. Tidak ada suara, tidak ada ruang, hanya perasaan seolah melayang di antara batas mimpi dan kenyataan. Namun ketika mereka melangkah masuk, segalanya berubah.
Mereka tiba di sebuah kota yang tak tercantum di peta mana pun. Langitnya ungu muda, pepohonan menjulang dengan daun berwarna biru, dan jalan-jalan dipenuhi buku-buku yang berjalan dengan kaki kecil. Setiap bangunan seperti terbuat dari halaman-halaman yang bergetar, seolah menyimpan kisah dalam setiap dindingnya.
"Apa ini?" Naya berbisik, matanya menyapu keindahan yang tidak masuk akal.
"Ini Dunia Naskah," jawab Nard pelan. "Tempat semua cerita belum selesai berada. Tempat para karakter yang ditinggalkan oleh penulis, atau kisah-kisah yang terlupakan. Dan juga... tempat di mana aku tersesat."
Naya menatapnya penuh heran. "Kau tinggal di sini?"
Nard mengangguk. "Awalnya hanya sesekali. Saat aku sedang menulis, aku bisa masuk dan keluar. Tapi suatu hari, aku kehilangan kendali. Karakter yang kuciptakan memberontak. Mereka marah karena kisah mereka tak selesai. Dan aku... menjadi bagian dari kisah yang tidak pernah tamat."
Naya terdiam, mencoba memahami kenyataan yang terlampau jauh dari logika.
Mereka berjalan melewati pasar yang dihuni tokoh-tokoh yang tampak seperti campuran dongeng dan fiksi ilmiah. Ada putri berambut api menjual kalimat manis, robot tua yang menjahit alur cerita dengan benang cahaya, dan seorang lelaki berwajah buram yang mencoba mengingat namanya sendiri.
Tiba-tiba, seorang perempuan muda menghampiri mereka. Rambutnya abu-abu, matanya kosong. "Kalian karakter utama?" tanyanya tajam.
Naya ragu. "Kami..."
"Jika iya, kalian harus ke Menara Penutup," potong si perempuan. "Kalau tidak, kisah ini akan terus mengulang. Tak akan ada akhir. Kalian akan terjebak seperti kami."
"Menara Penutup?" ulang Naya.
Nard menjawab, "Itulah satu-satunya tempat di dunia ini di mana kisah bisa berakhir... atau dimulai kembali. Tapi untuk sampai ke sana, kita harus melewati semua bab yang belum selesai."
Naya mencengkeram tangan Nard. "Kalau begitu, kita harus ke sana."
Perempuan itu menunjuk ke kejauhan, ke sebuah menara tinggi yang menjulang, seperti pena raksasa menusuk langit. "Menaranya ada di ujung. Tapi hati-hati. Setiap bab yang kalian lewati akan menarik sisi terdalam dari dirimu. Cerita ini akan menulismu kembali jika kau lengah."
Mereka melangkah maju.
Dan dari kejauhan, bayangan hitam mulai terbentuk—siluet tokoh-tokoh lama, kisah yang pernah mereka baca, tulis, atau lupakan, kini hidup kembali. Beberapa akan membantu. Beberapa ingin mereka gagal.
Petualangan mereka di Dunia Naskah baru saja dimulai.
Saat Naya dan Nard melangkah lebih dalam menuju Menara Penutup, suasana di sekitar mereka semakin berubah. Langit yang tadinya tenang kini bergelora, bercampur antara bayangan gelap dan cahaya yang temaram. Jalanan yang mereka lalui menjadi lebih terjal, penuh dengan objek-objek yang tampaknya berasal dari dunia imajinasi yang tidak pernah dipikirkan orang lain.
"Aku tidak bisa membayangkan betapa banyak cerita yang terselip di sini," ujar Naya, matanya melirik sekeliling dengan penuh rasa takjub. Di sepanjang jalan, ia melihat potongan-potongan kisah: sebatang pohon yang memiliki wajah dan berbicara dengan kata-kata dari kalimat-kalimat yang tak pernah ia tulis, patung-patung yang tampaknya bergerak, serta dinding yang dipenuhi dengan kata-kata yang muncul hanya untuk menghilang begitu saja.
"Tapi tak semua cerita baik berakhir dengan bahagia," Nard menjawab, suara berat. "Beberapa cerita berakhir terlupakan, dan kisah-kisah yang terlupakan ini tetap bertahan. Mereka hidup di dalam kerumunan ini, dalam bayang-bayang."
Naya merasakan beban yang begitu berat dari kata-kata Nard. Di dunia ini, apa yang mereka hadapi adalah cerita-cerita yang tak pernah mendapat kesempatan untuk berakhir. Mereka adalah bagian dari dunia yang penuh dengan potongan-potongan tak selesai, seperti mereka yang berjuang untuk menemukan akhir yang tepat bagi kisah mereka.
Beberapa langkah ke depan, sebuah pintu besar muncul di hadapan mereka. Pintu itu terlihat berbeda dari segala yang ada di sekitar mereka. Dibuat dari logam hitam yang berkilauan, pintu itu dihiasi dengan ukiran-ukiran yang Naya kenali sebagai tulisan yang tidak pernah selesai. Sebuah teka-teki yang menggantung, seolah meminta mereka untuk menafsirkan apa yang tidak terucapkan.
"Aku rasa ini adalah bab yang harus kita lewati," kata Nard, mendekati pintu itu dengan hati-hati. "Tidak ada jalan lain."