Ruang Kosong di Meja Nomor 9

Penulis N
Chapter #18

18

Pagi datang dengan lembut, menebarkan cahaya keemasan yang menyentuh ujung-ujung pepohonan di sekitar kafe tua itu. Naya duduk di meja yang sama, meja nomor 9, tempat semuanya dimulai. Tapi kali ini, tidak ada benda misterius yang ditemukan di bawah meja. Tidak ada pena kuno, tidak ada buku tua yang menggetarkan hati, tidak ada cangkir retak yang mengingatkan pada masa lalu. Semua terasa begitu... biasa.

Namun, ada perasaan berbeda yang menyelimuti Naya. Perasaan ini lebih ringan, lebih tenang. Seperti ruang kosong yang ada di meja nomor 9 telah menuntunnya ke sebuah pemahaman baru—bahwa cerita mereka, cerita hidupnya dan Nard, bukanlah tentang mencari jawaban atas semua misteri yang pernah ada, melainkan tentang merangkul perjalanan itu sendiri.

Naya menatap layar laptopnya. Tulisannya hari ini terasa lebih lancar dari sebelumnya. Tidak ada kekhawatiran berlebihan atau rasa takut bahwa ceritanya akan berakhir dengan cara yang tidak diinginkan. Kisahnya berjalan dengan sendirinya, seperti aliran sungai yang tenang, mengikuti arusnya.

Ia menulis tentang dua tokoh yang kini menjadi bagian dari hidupnya, dua jiwa yang saling mengisi, meskipun tak ada petunjuk jelas tentang masa depan mereka. Naya tersenyum tipis. Seperti kehidupan, seperti kisahnya, yang akan terus berkembang tanpa akhir yang pasti.

"Sudah lama aku tidak melihatmu duduk di meja ini," suara yang familiar membuat Naya menoleh.

Nard muncul dari balik pintu kafe, dengan senyum yang menenangkan. "Tapi rasanya aku tahu, meskipun meja ini tidak mengubah apa-apa, aku bisa merasakan ada perubahan dalam dirimu."

Naya hanya tersenyum, melanjutkan mengetik. "Aku rasa, ini tentang bagaimana kita memilih untuk menjalani kisah ini, bukan tentang jawaban yang kita dapatkan. Meja nomor 9 hanya memberi ruang bagi kita untuk menulis, tanpa banyak berharap pada hal lain."

Nard duduk di kursi di hadapannya, matanya penuh perhatian. "Kau benar. Apa yang kita butuhkan bukanlah sebuah jawaban akhir, tetapi perjalanan yang kita pilih untuk jalani bersama."

Perlahan, mereka mulai berbicara tentang hari-hari mereka yang akan datang. Tentang impian dan harapan, tentang mimpi-mimpi yang sepertinya lebih mungkin tercapai sekarang karena mereka saling mendukung. Tidak ada lagi ketakutan akan akhir yang datang terlalu cepat. Mereka tahu bahwa setiap detik yang mereka habiskan bersama adalah bagian dari kisah yang lebih besar, kisah yang terus berkembang.

"Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Naya, menatap Nard dengan mata yang berbinar. "Cerita kita masih jauh dari selesai, bukan?"

Nard tersenyum. "Ya, kita akan terus berjalan. Tak perlu tahu ke mana arah kita akan pergi, yang terpenting adalah kita terus melangkah bersama, menulis kisah ini."

Naya mengangguk, merasa damai dengan keputusan itu. Mereka berdua tak lagi menginginkan jawaban pasti atau ketegasan. Mereka hanya ingin menjalani cerita ini, berdua, dengan penuh rasa ingin tahu dan penerimaan.

Langit pagi yang cerah, kafe tua yang tenang, dan meja nomor 9 yang tak pernah berubah—semuanya adalah saksi dari kisah ini yang akan terus berlanjut, satu bab pada satu waktu.

Hari-hari berlalu begitu saja, seperti angin yang tak pernah berhenti berhembus. Meja nomor 9 kini menjadi tempat yang sangat familiar bagi Naya dan Nard. Setiap pagi, mereka datang bersama, duduk berhadapan, dan saling berbagi cerita tentang apa yang telah mereka alami, tentang dunia yang mereka ciptakan dalam cerita dan dalam kehidupan mereka sendiri.

Namun, meskipun semuanya terasa sempurna, ada sesuatu yang belum bisa Naya pahami sepenuhnya. Sesuatu yang masih tersembunyi dalam keremangan hati. Naya merasa seolah ada jejak-jejak tak terlihat yang menghubungkannya dengan Nard, jejak yang lebih dalam dari sekadar pertemuan di meja nomor 9.

Suatu pagi, saat ia sedang menulis, Nard berkata, "Kau tahu, ada banyak hal yang tidak kita mengerti tentang dunia ini. Tentang takdir, tentang kenangan, dan tentang apa yang sebenarnya menghubungkan kita."

Naya menatap Nard, terdiam sejenak. Kata-kata itu seperti membawa angin segar, menyadarkannya bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari apa yang tampak di permukaan.

"Apa maksudmu?" tanya Naya, mencoba mencari makna dalam kalimat itu.

Nard tersenyum, matanya berkilau dengan misteri. "Kita adalah bagian dari sebuah cerita yang lebih besar. Kita mungkin tidak akan pernah tahu siapa yang menulisnya, tapi kita tahu kita ada di dalamnya. Dan kita bisa memilih untuk menjadi bagian dari cerita itu, atau hanya menjadi pengamat."

Naya merasa sebuah getaran aneh di dalam dadanya. Apakah ini semua hanya sebuah kebetulan? Ataukah ada kekuatan yang lebih besar yang mengarahkan jalan hidupnya, yang menghubungkannya dengan Nard, dan yang mengarahkan mereka untuk duduk di meja nomor 9?

Ia menggigit bibir, menahan perasaan yang mulai muncul. "Tapi... jika itu benar, mengapa kita harus terus mencari jawabannya? Apa gunanya jika kita sudah tahu takdir kita?"

Nard tertawa kecil. "Karena, Naya, perjalanan itu sendiri adalah jawabannya. Bukankah hidup adalah tentang pengalaman, bukan hanya tentang akhir yang kita capai?"

Naya terdiam. Kata-kata itu menggema dalam pikirannya, mengusik semua keraguan yang telah lama menghantuinya. Selama ini, ia selalu mencari jawaban, selalu ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, apa yang akan membawanya pada akhir cerita. Tapi sekarang, ia mulai memahami—mungkin yang terpenting bukanlah mengetahui akhir, melainkan menikmati setiap langkah yang diambil dalam perjalanan ini.

Di luar jendela, hujan mulai turun perlahan, menambah suasana hangat yang sudah ada di dalam kafe. Naya menatap layar laptopnya, melanjutkan tulisan yang sempat terhenti. Ia menulis tentang seorang tokoh yang menemukan dirinya, bukan dengan mencari jawaban, tetapi dengan menjalani setiap momen yang ada. Tokoh itu seperti dirinya, seperti Nard, seperti mereka yang terus melangkah bersama, meskipun tak tahu ke mana arah mereka.

Setiap kata yang Naya ketik terasa lebih hidup dari sebelumnya, seolah-olah kata-kata itu bukan hanya cerita fiksi, tetapi bagian dari hidupnya yang sesungguhnya.

"Apakah kamu pernah berpikir, kalau kita mungkin sudah menjalani takdir ini sebelum kita tahu?" Nard bertanya, seolah membaca pikiran Naya.

Naya menoleh, mata mereka saling bertautan. "Maksudmu... kita sudah ada dalam cerita ini sejak awal?"

Nard mengangguk perlahan. "Mungkin. Mungkin kita hanya belum menyadarinya."

Naya merasa ada sesuatu yang menenangkan dalam kalimat itu. Seolah-olah semua yang terjadi, semua pertemuan dan perpisahan, adalah bagian dari skenario yang lebih besar, yang sudah ditulis jauh sebelum mereka lahir. Takdir mereka, perasaan mereka, adalah bagian dari perjalanan yang lebih panjang dari sekadar hidup sehari-hari.

"Aku rasa, kita hanya perlu terus melangkah, Naya. Tidak perlu terburu-buru untuk mencari jawabannya. Hanya perlu merasakannya saat kita sampai di sana," kata Nard, suaranya lembut, penuh keyakinan.

Lihat selengkapnya