Kertas yang ada di tangan Nard semakin memudar. Tulisan di atasnya tampak berusia puluhan tahun, meskipun jelas terawat dengan baik. Naya memandanginya, rasa penasaran yang tak terucapkan menguasai dirinya. Dengan hati-hati, ia mulai membaca tulisan di kertas itu bersama Nard.
"Untuk Naya yang akan datang setelahku,"
Naya membaca kalimat pembuka itu dengan hati-hati. Nama yang tertulis jelas—dan itu adalah namanya sendiri. Tetapi, apa maksudnya? Kapan surat ini ditulis?
"Aku tahu kau akan sampai di sini suatu hari nanti. Di meja nomor 9 ini, kita akan bertemu, meskipun waktu yang memisahkan kita. Aku yang menulis cerita ini, yang akan menjadi bagian dari hidupmu, dan kau yang akan menulis cerita kita. Jangan takut pada apa yang akan datang, karena jalan ini sudah dipilihkan untukmu."
Naya menurunkan surat itu sejenak, mencoba memproses apa yang baru saja ia baca. Raga, atau siapa pun yang menulis surat ini, sudah tahu bahwa ia—Naya—akan duduk di sini, di meja nomor 9. Bagaimana mungkin?
"Siapa yang menulis ini?" tanya Naya, suaranya hampir tidak terdengar.
Nard menghela napas, tampak seperti sedang mencari kata-kata yang tepat. "Raga. Dia adalah orang yang duduk di meja nomor 9 ini sebelumnya, jauh sebelum kau ada di sini. Dan dia tahu tentangmu. Semua ini... sudah tertulis."
Naya menatap Nard dengan mata yang terbuka lebar, bingung dan semakin tertekan. "Kau... kau tahu tentang ini semua? Kenapa tidak memberitahuku lebih awal?"
"Aku tidak bisa memberitahumu lebih cepat," jawab Nard dengan tenang. "Kau harus menemukannya sendiri. Setiap langkah yang kau ambil membawamu lebih dekat dengan kebenaran. Jika aku memberitahumu terlalu cepat, kau tidak akan memahami seluruh cerita."
"Apa maksudmu dengan 'cerita kita'? Apa yang sebenarnya terjadi di meja nomor 9 ini?" tanya Naya, suaranya bergetar. Ia merasa seperti berada di persimpangan jalan, dan tidak ada jalan mundur.
Nard menghela napas lagi dan duduk di kursi yang ada di sebelah meja. "Semuanya berhubungan dengan takdir, Naya. Takdir yang menuntun kita untuk berada di sini, di saat yang tepat. Raga dan aku... kami memiliki peran yang sama, tapi dalam cara yang berbeda. Meja nomor 9 bukan sekadar tempat untuk menulis cerita—ia adalah tempat untuk mengikat takdir kita."
"Apa maksudnya takdir kita?" tanya Naya, bingung, namun ia merasa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang disembunyikan.
"Meja ini bukan hanya milik Raga," kata Nard, matanya tajam menatap Naya. "Meja ini milik banyak orang, orang-orang yang ditakdirkan untuk bertemu, untuk menulis bersama, untuk berbagi cerita. Dan sekarang... giliranmu."
Naya terdiam sejenak. Semua yang dikatakan Nard tampak sangat misterius dan penuh teka-teki, tetapi ia merasa bahwa apa yang ada di depannya ini jauh lebih besar dari sekadar kebetulan.
"Jadi, selama ini aku sudah menulis cerita yang sudah ditentukan? Aku hanya mengikuti alur yang sudah ada?" tanya Naya, suara penuh keraguan.
"Tidak sepenuhnya begitu," jawab Nard. "Kau bebas menulis ceritamu. Tetapi ada bagian-bagian yang sudah ditulis sebelumnya, bagian yang ada hubungannya dengan takdir. Dan kini, kau harus memilih apakah akan melanjutkan cerita yang sudah dimulai atau menulis sesuatu yang baru—sesuatu yang akan mengubah takdir ini."
Naya merenung. Pilihan yang diberikan Nard terdengar sangat berat. Ia merasa seolah berada di ambang sesuatu yang sangat besar dan tak dapat dipahami.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Naya dengan suara gemetar, berharap Nard akan memberi jawaban yang lebih jelas.
Nard tersenyum tipis, tetapi ada kehangatan di matanya yang membuat Naya sedikit tenang. "Lanjutkan perjalananmu. Temukan lebih banyak petunjuk. Kebenaran ini hanya bisa ditemukan dengan mengikuti setiap langkah yang ada di depanmu."
Naya mengangguk perlahan, meskipun hatinya masih dipenuhi kebingungan. Namun, dia tahu satu hal pasti: perjalanan ini harus dilanjutkan. Takdirnya sudah terjalin erat dengan meja nomor 9, dan ada lebih banyak cerita yang harus ditemukan. Tanpa pilihan lain, Naya memutuskan untuk melangkah ke dalam misteri yang lebih dalam lagi.
"Terima kasih," kata Naya, dengan suara pelan.
"Jangan berterima kasih dulu. Ini baru permulaan," jawab Nard dengan serius. "Kau belum melihat apa-apa."
Naya merasa seolah ada sesuatu yang berat di dadanya. Namun, ia tahu bahwa hanya dengan terus mencari, jawaban atas semua misteri ini akan terungkap. Semua ini adalah bagian dari perjalanan panjang yang harus ia jalani.
Mereka berdua berdiri, Nard memimpin jalan, dan Naya mengikuti di belakangnya. Suara langkah mereka bergema di dalam kafe tua yang sepi, seolah menandai awal dari perjalanan baru yang akan membawa mereka ke tempat yang tidak pernah mereka bayangkan.
Kafe itu semakin sunyi, hanya ada suara langkah kaki mereka berdua yang bergema. Setiap sudut ruangannya tampak seperti memendam rahasia, dan Naya merasakan sensasi aneh yang mengusik. Ia tidak hanya sedang menulis cerita—ia sedang menjadi bagian dari cerita itu, seolah takdirnya sudah tertulis di antara dinding-dinding kafe ini. Raga, Nard, dan sekarang dirinya. Semua saling terkait.
Saat mereka melewati rak buku yang terletak di sudut dekat pintu keluar, Nard berhenti sejenak dan mengambil sebuah buku dari rak tersebut. Naya memandangnya dengan cermat.
"Buku ini," kata Nard sambil menyodorkan buku itu ke Naya, "adalah petunjuk lainnya."
Buku itu tampak usang, sampulnya penuh goresan dan terlihat sudah berumur, namun ada sesuatu yang memikat di dalamnya. Naya meraihnya dan membukanya perlahan. Di dalam buku itu, ada banyak halaman kosong, namun ada beberapa baris tulisan yang tampaknya baru ditulis beberapa waktu lalu.