Hari itu, Naya kembali ke kafe dengan perasaan yang campur aduk. Gambar Raga yang ditemukan di meja nomor 9 terus mengusik pikirannya. Setiap kali ia menatap gambar itu, seolah ada sesuatu yang ingin ia pahami, namun tak mampu dijelaskan dengan kata-kata.
Langkahnya terhenti begitu ia memasuki kafe. Meja nomor 9 sudah menunggu, seperti biasa, namun kali ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang aneh di udara, semacam aura yang menekan dada. Naya duduk, dan dengan perlahan, ia membuka laptopnya, berusaha untuk kembali menulis, meski perasaan gelisah itu terus menghantui.
Namun, saat ia mulai mengetik, kata-kata yang keluar seakan-akan tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Tulisan tentang Raga muncul, begitu mendalam dan terasa sangat hidup, seolah Raga itu sedang menulis bersama dirinya.
Tiba-tiba, ada suara langkah kaki mendekat. Naya menoleh, dan tampaklah Nard, seperti biasa, masuk dengan sikap tenangnya. Namun kali ini, ada yang berbeda. Matanya tampak lebih gelap, lebih dalam, seolah menyimpan sesuatu yang belum ia ungkapkan.
"Naya," suara Nard terdengar lembut. "Apa yang kamu tulis?"
Naya menunjuk ke layar laptopnya, memperlihatkan kalimat yang baru saja ia tulis. "Ini... ini tentang Raga lagi. Aku tidak tahu mengapa, tapi aku merasa seperti dia ada di sini, menulis bersamaku."
Nard mendekat, lalu memandang layar laptop itu. "Kamu sudah mulai menyentuh inti dari cerita itu," kata Nard, suara sedikit bergetar. "Tapi kamu belum siap untuk apa yang akan datang selanjutnya."
Naya merasakan ketegangan di udara, dan matanya tak lepas dari layar. "Apa maksudmu? Apa yang belum aku siap? Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang Raga, tentang siapa dia sebenarnya."
Nard menghela napas panjang dan duduk di kursi sebelahnya. "Raga... adalah bagian dari takdirmu, Naya. Dia bukan hanya karakter dalam cerita. Dia adalah bagian dari kehidupan yang terjalin erat dengan takdir kamu. Setiap langkah yang kamu tulis akan membawa kalian semakin dekat, tetapi juga semakin jauh dari kenyataan."
Naya merasa dadanya mulai sesak. "Aku tidak mengerti... Bagaimana bisa cerita yang aku buat menjadi begitu nyata?"
Nard memandangi Naya dengan mata yang penuh misteri. "Cerita bukan sekadar kata-kata, Naya. Cerita adalah kehidupan yang dibentuk melalui kata-kata. Kamu menciptakan dunia, dan dunia itu mulai hidup sendiri. Raga adalah pintu yang menghubungkan dunia fiksi dan dunia nyata. Takdirnya dan takdirmu sudah saling bertautan sejak awal."
Naya tertunduk, bingung dan sedikit takut. "Apa yang harus aku lakukan? Apa yang aku tulis akan mengubah hidupku selamanya?"
"Semua yang kamu tulis, Naya, tidak bisa diubah. Ini adalah jalur yang sudah dipilih, bahkan sebelum kamu menyadarinya. Tapi ingat, setiap pilihan yang kamu buat akan mempengaruhi apa yang terjadi selanjutnya. Tidak ada yang bisa kembali setelah itu."
Naya menatap layar laptopnya, tempat kata-kata itu mengalir. Raga, si pria misterius yang seolah hanya ada dalam dunia fiksi, kini terasa begitu dekat. Takdir itu semakin nyata, dan Naya tidak bisa menahan dirinya untuk merasa takut dan terpesona pada saat yang bersamaan.
Dengan hati yang penuh pertanyaan, Naya melanjutkan menulis, mencoba memahami lebih dalam tentang hubungan antara dirinya dan Raga. Setiap kata yang tertulis adalah jejak yang mengarah pada jawaban yang semakin mendekat. Namun, jawaban itu masih tersembunyi di balik tirai misteri yang sulit untuk dijelaskan.
"Takdir ini... apakah aku bisa menghadapinya?" pikir Naya dalam hati.
Dan dengan itu, kata-kata terus mengalir, mengisi ruang kosong di meja nomor 9.
Sore itu, kafe tampak lebih sepi dari biasanya. Hanya ada beberapa pengunjung yang duduk di pojok-pojok, tenggelam dalam dunia mereka masing-masing. Naya duduk di meja nomor 9, laptopnya terbuka, namun matanya tidak fokus pada layar. Pikirannya masih terjebak pada percakapan dengan Nard yang terus berputar di kepalanya.
Raga... siapa sebenarnya dia? Kenapa ia selalu hadir dalam cerita-cerita Naya, entah itu dengan cara yang nyata atau hanya sekadar bayang-bayang yang mempengaruhi setiap kata yang ia tulis? Dan mengapa meja nomor 9 ini menjadi pusat dari semua peristiwa aneh yang terjadi?
Naya menarik napas panjang dan menatap kembali layar laptop. Kali ini, ia menulis tanpa ragu. Tulisan itu mengalir begitu lancar, seolah ada tangan lain yang membimbingnya. Seiring dengan kata-kata yang mulai mengisi halaman, sebuah ide tiba-tiba muncul dalam pikirannya.
"Apa jika Raga sebenarnya adalah seseorang yang terperangkap dalam ceritaku? Atau mungkin... dia adalah bagian dari takdirku yang belum sepenuhnya terungkap?" gumam Naya pada dirinya sendiri, berbicara pelan agar tak menarik perhatian pengunjung lain.
Di luar, hujan mulai turun dengan deras. Suara rintiknya semakin keras, menambah kesan suram di dalam kafe. Naya terus mengetik, matanya fokus pada layar, namun hatinya terombang-ambing antara rasa penasaran dan ketakutan. Ia merasa seolah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang ia belum temukan.
Tiba-tiba, matanya tertuju pada benda kecil yang tergeletak di bawah meja, di sebelah kakinya. Sebuah buku kecil yang tertutup rapat. Naya membungkuk untuk memungutnya, dan saat membuka halaman pertama, ia menemukan sebuah catatan tertulis dengan tinta yang hampir memudar:
"Jangan takut untuk mencari tahu. Semua akan terungkap jika kamu berani melihatnya."