Ruang Kosong di Meja Nomor 9

Penulis N
Chapter #21

21

Keputusan untuk membiarkan cerita ini terus berlanjut membawa perubahan dalam diri Naya. Meskipun ia merasa lega, ada perasaan tak terjelaskan yang mengikutinya. Seiring waktu, ia mulai merasakan ketegangan yang tumbuh di sekelilingnya, seakan setiap pilihan kecil yang ia buat memengaruhi banyak hal yang tak terlihat.

Hari-hari berlalu, dan cerita yang ia tulis semakin mengarah ke puncak ketegangan. Setiap kata yang ia ketik terasa lebih hidup, lebih mendalam. Begitu pula dengan perasaan yang ia alami. Seperti sebuah jalinan takdir yang mengikat dirinya dengan dunia ini, dunia yang ia kenal dan dunia yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Naya duduk di meja tulisnya, tangan terangkat di atas kertas kosong. Pikirannya sibuk memutar kembali percakapan dengan Raga, saat ia dipertanyakan tentang pilihan hidup yang seakan menyatu dengan takdir yang lebih besar.

"Aku telah memilih," gumam Naya, bibirnya bergerak meski tidak ada suara yang keluar. "Tapi apa yang akan terjadi selanjutnya?"

Tidak ada jawaban yang datang, kecuali angin yang berdesir melalui jendela. Naya merasa ada sesuatu yang menyentuh hatinya—suatu ketakutan yang aneh, namun begitu nyata. Sesuatu yang lebih besar dari apa yang bisa ia pahami. Ia melirik kembali pada lembaran kertas kosong di depannya.

Tiba-tiba, sebuah suara berbisik dari balik jendela. Naya menoleh, merasa jantungnya berdegup lebih cepat.

"Apakah kamu yakin ingin terus menulis?" suara itu bertanya.

Suara itu tidak asing, namun tidak bisa ia kenali. Naya berusaha untuk tidak panik, meskipun ia tahu bahwa ini bukan hal yang biasa. Ada banyak hal yang harus ia hadapi, dan ia tak bisa menghindar dari kenyataan yang semakin mendekat.

"Siapa di sana?" Naya bertanya, suaranya bergetar.

Tidak ada jawaban. Tetapi, ia merasakan ada sesuatu yang bergerak di dalam pikirannya—sebuah ingatan yang hampir terlupakan. Seperti potongan puzzle yang hilang, sesuatu yang ia kira sudah lama terkubur, kini muncul kembali.

Sekilas, bayangan Raga melintas di depan matanya. Mungkin ini memang bagian dari cerita yang harus ia hadapi. Jika ia ingin melanjutkan, ia harus siap dengan konsekuensi yang datang, dan itu berarti menghadapi kebenaran yang mungkin lebih sulit dari yang ia bayangkan.

"Apakah kamu akan terus menulis?" suara itu mengulang, kali ini dengan nada yang lebih dalam, lebih mendesak.

Naya menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri. Sebuah keputusan besar harus dibuat. Ia merasa ada kekuatan yang lebih besar mengawasi, dan mungkin juga mengarahkan langkahnya. Namun, apakah ia bisa menghadapinya sendirian?

Tangan Naya terangkat dengan sendirinya, dan ia mulai menulis.

"Tulis saja," pikirnya. "Tulis saja apa yang terjadi selanjutnya."

Tapi saat ia mulai menulis, kata-kata itu berubah. Kalimat-kalimat yang muncul di atas kertas bukanlah yang ia rencanakan. Mereka seolah-olah hidup, seolah-olah ada kekuatan lain yang mengendalikan setiap kata yang ia tulis.

"Tulis yang sebenarnya," bisik suara itu lagi. "Tuliskan kebenaran yang tak terungkap."

Naya berhenti sejenak. Keringat dingin mulai merembes di dahinya. Ia memandang sekeliling ruangan, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, semakin ia menulis, semakin jelas baginya bahwa cerita ini bukan hanya tentang dirinya. Ini adalah tentang sesuatu yang lebih besar, yang melibatkan takdir, pilihan, dan kenyataan yang tak dapat diputarbalikkan.

"Aku tidak tahu apa yang harus kutulis," kata Naya pada dirinya sendiri. "Tapi aku akan terus menulis."

Dengan itu, Naya kembali menulis. Setiap kalimat yang muncul di kertas terasa semakin membebani dirinya, namun ia tahu satu hal: ini adalah jalan yang harus ia tempuh. Tidak ada jalan keluar, hanya jalan maju, dan setiap langkah akan membawa dirinya lebih dekat pada kebenaran yang harus ia hadapi.

Hari-hari setelah Naya memilih untuk melanjutkan menulis semakin berat. Seiring waktu, ia merasa ada sesuatu yang makin mengikat dirinya dengan meja nomor 9, bahkan kafe itu sendiri. Setiap kali ia datang, rasa kekosongan di meja itu semakin terasa, seolah ada yang menunggunya di sana—menunggunya untuk menulis, untuk menyelesaikan cerita yang tak bisa ia hentikan.

Naya mulai merasakan bahwa cerita-cerita yang muncul dalam tulisannya adalah cerminan dari apa yang sedang ia jalani. Ketika ia menulis tentang ketegangan yang tumbuh antara karakter-karakter dalam novel, ia merasa seperti sedang berbicara dengan seseorang yang tak bisa ia lihat, namun bisa ia rasakan.

Kadang-kadang, saat menulis, Naya merasa seolah-olah ia sedang berbicara langsung dengan Raga, dengan suara yang samar-samar bergema di pikirannya, seperti bisikan angin yang masuk melalui celah-celah jendela. Terkadang suara itu terdengar mengingatkan dirinya tentang pilihan yang harus ia buat, tentang apa yang sedang ia kejar.

Saat itu, di suatu malam yang dingin, Naya duduk di meja nomor 9. Cahaya lampu temaram yang berasal dari sudut ruangan membuat bayangannya lebih panjang di dinding. Naya menatap kertas kosong di depannya, menunggu kata-kata itu datang.

Tiba-tiba, ia mendengar langkah kaki ringan di belakangnya. Seperti biasa, tidak ada orang lain di kafe itu selain dirinya. Namun, kali ini, Naya tidak langsung menoleh. Ia sudah mulai terbiasa dengan sensasi aneh yang sering datang.

Lihat selengkapnya