Ruang Kosong di Meja Nomor 9

Penulis N
Chapter #22

22

Naya membuka matanya. Pagi hari datang dengan perlahan, mengusir kegelapan malam yang menyelimuti pikirannya. Ia duduk di meja yang kini terasa lebih familiar, seperti sebuah tempat yang bukan hanya untuk menulis, tetapi untuk menemukan diri.

Namun, pagi ini ada sesuatu yang berbeda. Naya merasa bahwa dunia di sekitarnya tidak lagi seperti dulu. Ada sebuah kesadaran baru yang hadir dalam dirinya—sesuatu yang menyadarkannya akan hal yang lebih besar daripada sekadar cerita yang ia tulis di meja nomor 9.

Saat Naya memeriksa kertas yang ia tulis malam tadi, ia menyadari bahwa kata-kata di atasnya lebih dari sekadar tulisan biasa. Ada pesan tersembunyi yang menunggu untuk ditemukan, seperti jejak yang mengarah pada sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang menyangkut Raga.

Ia memutuskan untuk kembali ke kafe, tempat di mana segala sesuatu dimulai. Ketika ia tiba, kafe itu masih sama—tenang, sepi, dengan aroma kopi yang khas. Meja nomor 9, tempat yang kini menjadi saksi dari perjalanan batinnya, tetap di sana, menunggu.

Naya duduk, menggenggam pena, dan mulai menulis lagi, meskipun ia merasa bingung dengan apa yang harus ditulis. Tulisannya terasa berbeda kali ini, seperti bukan lagi sekadar cerita, tetapi sebuah perasaan yang membawanya kembali ke masa lalu. Ke masa di mana ia pertama kali bertemu dengan Raga, meskipun tidak ada yang bisa benar-benar mengingat kejadian itu.

Tiba-tiba, Naya merasakan sebuah getaran aneh di dalam dirinya, seolah-olah ada sesuatu yang bergerak di antara ruang dan waktu. Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas, lebih nyata.

"Naya," suara itu terdengar lembut, hampir seperti bisikan yang menyentuh jiwanya. "Saatnya kamu mengetahui siapa sebenarnya Raga."

Naya terdiam. Hatinya berdegup kencang, dan ia merasa sesuatu yang besar akan terjadi. Di balik kata-kata itu, ada sebuah kebenaran yang selama ini disembunyikan darinya.

"Raga," Naya berbisik, suaranya hampir tak terdengar. "Siapa dia sebenarnya?"

Suara itu menjawab, kali ini lebih dalam, lebih kuat. "Raga adalah bagian dari takdirmu. Dia adalah bayangan dari keputusan yang kamu ambil di masa lalu. Dia ada karena kamu menciptakan dia, tetapi juga karena dia menciptakanmu. Kalian berdua saling bergantung satu sama lain, dan hanya dengan memahami satu sama lain, kalian akan menemukan tujuan kalian."

Kata-kata itu terasa berat, seolah-olah mereka mengguncang seluruh dasar pikirannya. Naya merasa seperti ada potongan-potongan dari kenangan yang mulai menyatu. Raga bukan hanya sebuah karakter fiksi dalam ceritanya. Dia adalah bagian dari takdir yang lebih besar, bagian dari dunia yang lebih luas daripada yang pernah ia bayangkan.

Naya menatap meja nomor 9 dengan perasaan yang campur aduk. Ia mulai menyadari bahwa semua yang terjadi bukanlah kebetulan. Takdirnya telah digariskan sejak lama, dan Raga adalah salah satu kunci untuk mengungkapnya. Tapi bagaimana ia bisa mengetahui kebenaran itu?

Tanpa berpikir panjang, Naya kembali menulis, kali ini lebih cepat, lebih intens. Setiap kata yang ia tulis terasa seperti membuka pintu ke dunia yang lebih dalam. Sebuah dunia yang menghubungkannya dengan Raga, sebuah dunia yang terjalin di antara kata-kata, kenangan, dan takdir yang tidak bisa ia hindari.

"Raga, kamu dan aku..." Naya berhenti sejenak, menatap kata-kata yang baru saja ditulis. "Apa yang sebenarnya terjadi?"

Suara itu kembali, namun kali ini terdengar lebih jauh, seolah-olah berasal dari kedalaman hatinya sendiri. "Semua akan terungkap, Naya. Kamu harus siap."

Naya merasa bahwa waktunya semakin dekat. Waktu untuk menghadapi kebenaran yang selama ini ia cari. Waktu untuk mengungkapkan takdir yang terjalin di antara dirinya dan Raga.

Kafe itu kini tampak lebih hidup. Orang-orang berlalu-lalang, namun Naya merasa seperti ia berada dalam dunia yang berbeda. Dunia yang hanya bisa ia masuki dengan hati yang terbuka, dengan keberanian untuk menghadapi segala yang ada di depannya.

Ketika Naya menatap kembali kertas yang ia tulis, ia merasa sebuah ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Seperti ada rasa damai yang menyelimuti hatinya, meskipun ia tahu bahwa takdirnya akan segera terungkap—dan itu mungkin akan mengubah segalanya.

"Naya," suara itu lagi, kali ini lebih kuat, lebih meyakinkan. "Kamu sudah siap."

Naya menatap kertas itu sekali lagi. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, namun kini ia siap untuk menghadapi apapun yang akan datang. Takdirnya dengan Raga bukanlah akhir, tetapi awal dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang akan membawa mereka ke tempat yang tidak mereka bayangkan sebelumnya.

Dengan satu tarikan napas dalam, Naya menulis kalimat terakhir untuk bab ini.

"Semua yang kita takuti adalah bagian dari kita sendiri."

Pagi itu, langit tampak cerah meski angin bertiup agak dingin. Naya merasa seperti baru terbangun dari mimpi panjang yang penuh dengan teka-teki. Setiap langkah yang ia ambil di dunia nyata kini terasa begitu berbeda. Dunia ini, tempat di mana semuanya tampaknya berjalan dengan aturan yang sudah ditentukan, mulai terasa lebih seperti permainan—sebuah labirin yang dipenuhi dengan rahasia dan petunjuk tersembunyi.

Ia melangkah keluar dari kafe, melewati jalan yang sudah begitu familiar baginya. Namun, entah mengapa, segala sesuatunya terasa baru. Tidak ada lagi rasa takut yang menghantuinya, tidak ada keraguan. Semuanya kini tampak lebih jelas.

Naya tahu bahwa Raga adalah kunci, tetapi bagaimana ia bisa mengungkap lebih banyak tentang dirinya? Apa yang benar-benar tersembunyi di balik sosok yang selama ini ia anggap sebagai sekadar karakter dalam ceritanya?

Pikirannya terus berputar, namun ada satu hal yang membuatnya tenang—ia merasa tidak sendirian. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar dirinya yang mengalir bersama langkahnya. Takdir mereka berdua, ia dan Raga, sudah digariskan jauh sebelumnya, dan kini waktunya untuk mengungkapnya.

Lihat selengkapnya