Ruang Kosong di Meja Nomor 9

Penulis N
Chapter #24

24

Naya berjalan mengikuti cahaya itu dengan langkah mantap. Setiap langkah terasa semakin berat, namun juga penuh dengan harapan yang menyala dalam dirinya. Cahaya itu, meski kecil, seakan menjadi panduan menuju sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.

Di depan, cahaya itu semakin terang, membentuk lingkaran kecil yang menggantung di udara, seperti matahari yang terperangkap di dalam dunia yang tak dikenal. Begitu dekat, Naya bisa merasakan kehangatan yang memancar dari cahaya itu, namun tidak seperti kehangatan dunia yang ia kenal. Kehangatan ini terasa seperti energi yang berasal dari sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang lebih kekal.

Naya berhenti sejenak, merenung. Ia merasa ada sesuatu yang ganjil di dalam dirinya. Setiap kali ia mendekati cahaya ini, ia merasakan bahwa ada dua dunia yang beriringan dalam dirinya—dunia nyata dan dunia ini, dunia yang kini ia masuki. Apakah dunia nyata hanya ilusi? Ataukah dunia ini yang sebenarnya adalah bagian dari kenyataan yang lebih besar?

Namun, pertanyaan itu segera menghilang dari pikirannya ketika ia melihat sebuah bayangan bergerak di dalam cahaya. Bayangan itu bukan miliknya—ada sosok lain di sana. Seorang pria, dengan siluet yang samar-samar terlihat, berdiri di tengah cahaya.

Jantung Naya berdebar kencang. Ia mengenali pria itu. Meskipun wajahnya tidak sepenuhnya jelas, ia tahu siapa dia.

"Nard..." bisik Naya, mulutnya bergetar. Nama itu terlintas begitu saja dalam pikirannya, seolah sudah tertanam dalam ingatan yang dalam.

Sosok pria itu, yang tadi tampak samar, kini mulai terlihat lebih jelas. Wajahnya tampak familiar, namun penuh dengan kerisauan dan kesedihan. Ia mengenakan pakaian yang sudah usang, seolah telah berada di tempat ini selama bertahun-tahun.

"Naya..." suara pria itu terdengar lemah, seolah melawan angin yang menghalangi kata-katanya untuk sampai ke Naya. "Kamu akhirnya datang."

Naya merasa tubuhnya terhuyung. Hanya satu kata yang terlintas di benaknya: akhirnya. Apa maksudnya? Apa yang ia tunggu selama ini?

"Nard, apa yang terjadi?" Naya akhirnya bisa berkata. "Kenapa kamu di sini? Apa yang sedang terjadi dengan kita semua?"

Nard tersenyum dengan sedih. "Ini bukan akhir, Naya. Ini awal dari perjalanan kita berdua. Kamu mungkin tidak mengingatnya, tapi kita sudah terhubung sejak lama."

"Apa maksudmu?" tanya Naya bingung, melangkah lebih dekat.

"Kamu telah menulis cerita ini, Naya," jawab Nard pelan. "Kamu yang mengubah takdir. Setiap kata yang kamu tulis, setiap keputusan yang kamu buat, membawa kita ke titik ini. Tapi ada harga yang harus dibayar."

"Harga?" Naya bergumam, bingung. "Apa yang harus kubayar?"

"Ruang kosong itu, meja nomor 9, semuanya adalah bagian dari takdir yang kamu ciptakan. Dan sekarang, kamu harus memilih: akan kamu biarkan cerita ini berakhir, atau teruskan hingga kita semua kehilangan segalanya?"

Naya terdiam. Pertanyaan itu terasa seperti beban yang terlalu berat untuk dipikul. Tapi di dalam hatinya, ia tahu satu hal: ia tidak bisa lari dari pilihan ini. Ia sudah sampai di titik ini, dan apapun yang terjadi, ia harus melangkah maju.

"Nard..." Naya mulai berkata lagi, suaranya bergetar. "Aku... aku tidak tahu apakah aku siap."

Nard menatapnya dengan tatapan yang dalam. "Kamu sudah lebih siap dari yang kamu kira, Naya. Takdir kita tidak bisa dihindari. Tapi ingat, apapun yang kamu pilih, aku akan selalu di sini, menunggumu."

Dengan kata-kata itu, sosok Nard mulai menghilang, tenggelam kembali dalam cahaya yang semakin redup. Naya mencoba meraihnya, tetapi cahaya itu menyatu dengan kegelapan, meninggalkan Naya sendirian di tengah lembah yang kosong.

Kehilangan itu mengalir dalam dirinya, seperti aliran air yang tak terhentikan. Ia tahu bahwa waktunya semakin singkat. Apa yang bisa ia lakukan untuk mengubah takdir? Apa yang harus ia pilih?

Sekali lagi, ia mendongak ke arah cahaya yang mulai memudar, merasa bahwa jawaban yang ia cari hanya bisa ditemukan di dalam dirinya sendiri. Namun, untuk itu, ia harus berani menghadapi masa lalu yang telah lama terkubur.

Naya terjaga dari lamunannya, terengah-engah, dengan dada yang berdebar keras. Pemandangan di sekitarnya kembali tampak kabur, dan ia merasa seakan baru saja terbangun dari mimpi yang panjang. Namun, perasaan yang ia alami masih nyata. Ada ketegangan yang menggantung di udara, seolah dunia ini sedang menunggu keputusan terakhirnya.

Tangan Naya terulur ke udara, meraih sesuatu yang tak terlihat. Ia mencoba untuk mengingat apa yang baru saja terjadi—cahaya, Nard, dan pilihan yang harus ia buat. Tapi semakin ia berusaha mengingat, semakin kabur semuanya. Ia hanya bisa merasakan perasaan yang mendalam, perasaan yang seolah melibatkan seluruh jiwanya. Ia tahu, ini bukanlah akhir dari perjalanannya. Ini adalah titik awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.

Langkah demi langkah, Naya melangkah menuju pusat cahaya yang semakin pudar. Ia tahu ia harus menemui Nard, mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi, dan bagaimana mereka semua bisa keluar dari lingkaran takdir ini. Namun, ia juga merasa bahwa ini bukan hanya tentangnya dan Nard. Ini adalah tentang seluruh dunia, tentang mereka yang terjebak dalam kebingungannya, dan tentang masa depan yang tergantung pada pilihan yang dibuat oleh satu orang—dirinya.

Langit di atasnya seolah mengisyaratkan sesuatu, berubah dengan cepat. Naya memperhatikan dengan seksama, merasakan keanehan yang mendalam. Ia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Langit itu mulai mengubah warna, dari biru cerah menjadi abu-abu, seolah dunia ini sedang mempersiapkan sesuatu yang besar.

Di kejauhan, Naya melihat sosok lain. Bukan Nard. Sosok itu lebih gelap, lebih misterius, dengan aura yang berat. Sepertinya sosok ini tahu lebih banyak dari yang ia ingin ketahui. Naya melangkah lebih dekat, hati berdebar. Meskipun sosok itu tampak tidak bergerak, ia tahu bahwa ia bisa merasakan keberadaannya. Ada sesuatu yang membuat Naya merinding.

Lihat selengkapnya