Ruang Lain

tukang sedih
Chapter #1

1. Kali Pertama

Aku tidak pernah suka gaun panjang menutupi betis. Menurutku kakiku yang jenjang dan mulus ada baiknya dipamerkan pada khalayak. Namun malam ini, Eru berhasil membuatku mau tidak mau harus memakai gaun panjang berlengan milik kakaknya itu. Padahal Kamis lalu aku sudah beberapa kali mengingatkan untuk membawakan gaun hijau botol sepaha milik Shanaz yang pernah kupakai seminggu lalu.

"Shanaz akan marah kalau kuambil gaun yang itu."

"Tapi kau sudah janji." Eru selalu banyak alasan kalau kubilang akan menemui cowok di kota. Aku tahu dia tidak suka, tapi tidak bisakah dia membantuku kali ini saja? Aku ingin Zach melihatku sempurna. Lagipula setahuku Shanaz tidak pernah mengingat gaunnya hilang atau bahkan sudah kembali ke lemari. Waktu itu Eru pernah cerita padaku.

Sesuai asumsiku Eru memang tidak suka aku menemui cowok di kota.

Eru masih berdiri di sampingku sambil beberapa kali mengatakan, "maafkan aku," meski wajahnya tidak menunjukkan ekspresi menyesal. Eru menarik kursi dari balik pintu kamarku dan duduk di sana. Aku masih menyikat high heels tua cokelat milik mendiang ibuku untuk kupakai malam ini. Kemarin high heelsku satu-satunya rusak dan bersyukur masih menemukan high heels tua ini di gudang.

"Besok begitu upahku keluar, ikutlah denganku ke toko sepatu yang baru buka di depan. Akan kubelikan high heels baru," sambung Eru sambil diam-diam meringis melihat high heelsku.

Bulan lalu Eru sudah janji akan membelikan high heels bahkan sebelum high heels milikku rusak. Upah pertamanya bekerja sudah diatur hanya untuk bersenang-senang, karena memang Eru bekerja untuk menghabiskan waktu luang, tidak sepertiku yang bekerja untuk menghidupi keempat adikku.

"Aku mau gaun seperti Shanaz saja." Selesai dengan urusan heels tua, aku berdiri dan mengenakannya lalu menyampirkan tas kecil usangku ke pundak. Eru mengikutiku ke kamar sebelah.

"Upahku cukup untuk membeli keduanya."

"Tabung upahmu untuk keperluan lain," kataku pelan. Begitu memasuki kamar adik-adikku dan menyalakan lampu untuk memastikan semuanya sudah tidur, Billy adikku yang paling kecil terbangun dan berlari ke arahku.

"Sudah larut malam, apa kau masih harus pergi?" Billy memperbaiki poniku yang sedikit berantakan dan matanya menatapku seolah meminta agar tidak usah pergi malam ini.

"Teman-temanku sudah menunggu, lagipula aku akan pulang lebih cepat. Kau tidurlah, besok harus sekolah."

"Mama pasti marah kalau tahu kau pergi selarut ini," ucapnya dengan bibir bergetar seperti ragu mengucapkan itu.

"Eru sudah mengizinkan. Kau tidurlah, sayang, yang lain akan terbangun karena suaramu." Aku mengelus puncak kepalanya. Billy hampir menangis. Selalu saja begitu. Seharusnya dia terbiasa karena ini bukan pertama atau kedua kalinya aku selarut malam ini ke kota.

"Eru, benarkah?" Billy yang sependek aku ketika berjongkok menoleh pada Eru yang berdiri di depan pintu. Billy dan adik-adikku yang lain selalu lebih percaya Eru daripada aku. Kalau Eru sudah mengizinkanku atau ikut denganku pergi kemana saja, maka adik-adikku terutama Billy percaya kalau itu baik untukku.

"Ya. Dia akan baik-baik saja" jawab Eru sambil tersenyum hangat seperti biasa ia tunjukkan pada adik-adikku.

"Sekarang pergilah tidur." Aku mengecup kening Billy sebelum akhirnya bocah kecil itu kembali ke tempat tidurnya.

"Kau benar-benar mengizinkanku, kan?" Aku berbisik sambil menatap Eru jahil. Setelah memadamkan lampu dan menutup pintu kamar, aku mengecek ponsel yang sejak tadi berharap ada notifikasi dari Zach.

Eru tertawa hambar. Tanpa melihatku dia berkata, "jangan bertanya lagi." Suara Eru kini mendadak serius, sampai-sampai aku menyesal bertanya.

"Ah, ayolah, Eru, kenapa jadi serius begini? Seperti biasa Zach pasti akan mengantarku ke rumah Lilly."

"Kau belum lama mengenal laki-laki itu. Kenapa begitu percaya, Laura?"

"Zach kelihatan baik." Aku kini menatap Eru meski dia belum menatapku balik. "Eru lihat aku! Jangan terlalu mengkhawatirkanku. Aku bisa menjaga diri." Eru masih belum beranjak dari posisinya yang menunduk. Hari ini berbeda, kenapa semua orang menjadi berlebihan seperti ini?

"Yang memberimu uang sebanyak yang kau mau sudah kau sebut baik." Eru akhirnya mengangkat wajahnya dan membuatku benar-benar tertawa terbahak-bahak. Wajahnya selalu lucu kalau marah seperti ini. Alisnya bertaut, dahinya berkerut dan bibirnya mengalahkan moncong bebek.

Lihat selengkapnya