Ruang Lain

tukang sedih
Chapter #2

2. "Biar Kuantar"

Sekali lagi aku memperhatikan sekitar yang sepi dan menyeramkan. Lampu jalan di hadapanku berkedip-kedip. Ketika Zach di sini lampu itu masih normal. Bahkan belum lama mengedarkan pandangan, aku langsung bergidik dan cepat-cepat lari memasuki kafe.

"Kau harus sudah sampai sebelum aku bosan menunggu," ucapku lemah dan ingin menangis. Aku berusaha memperbaiki rambutku yang berantakan di depan kaca mobil Zach yang kebetulan parkir di dekat cahaya lampu jalan. Walau bagaimanapun aku masih ingin terlihat cantik meski tanpa alas di kaki.

Lilly di seberang entah sejak kapan sudah memutus sambungan. Mungkin dia kesal karena aku lumayan tidak tahu diri. Sudah meminta tolong, memaksa pula.

Di bagian kafe sebelah timur aku menemukan Zach duduk bersama Bobby, Alex, Alan, dan Jonas. Sebenarnya aku berharap objek yang pertama kali kulihat bukanlah orang-orang itu, tapi karena gugup dan tidak punya kendali diri, entah kenapa wajah-wajah brengsek itulah yang pertama kali kulihat.

Aku masih ingat bagaimana kesalnya Bobby pada Lilly yang menolaknya dulu. Bobby mengaku kepada semua orang bahwa Lilly dan dirinya sudah berpacaran, mengganggu Lilly hampir setiap hari di kantin dan masuk ke kelas Lilly ketika guru yang mengajar belum memasuki kelas. Jonas yang pernah mempermalukan Mae, temanku dari kelas Kalkulus, juga tidak kalah mengerikan. Masih segar di ingatan ketika waktu itu Jonas menyebut-nyebut Mae sudah tidak perawan, karena waktu itu Mae menolak cinta Jonas.

Alan dan Alex juga pernah berulah, tapi aku lupa kasusnya persis seperti apa. Kalau tidak salah, Alex pernah ketahuan mengintip cewek-cewek yang sedang berganti baju di toilet dekat tangga ruang kepala sekolah. Beberapa juga mengatakan kalau Alex berkali-kali mengintipku ketika sedang mandi di toilet. Aku tidak pernah menanggapinya serius, karena dari cerita Lilly, Alex bukan orang seperti itu. Sampai sekarang, aku masih percaya kalau Alex masih lebih baik dari empat lainnya, karena Alex sendiri masih baru bergabung dengan kumpulan Bobby. Namun setelah dipikir-pikir, bisa saja Alex benar mengintipku, tidak mungkin orang-orang tahu aku sering mandi di toilet sekolah kalau tidak ada yang membeberkan ke khalayak. Waktu itu Lilly juga tidak pernah kuberitahu soal mandi di toilet.

Samar-samar aku melihat dua orang cewek yang ikut jadi pemandu sorak di tahun ini. Beberapa kali kuperhatikan dan kuingat-ingat, ternyata benar, mereka seangkatanku dan sempat sekelas dengan Oka, mantan pacarku. Salah satunya adalah Niki. Niki yang kuakui jauh lebih cantik dariku pernah menggoda Oka, walaupun sebenarnya usahanya itu sama sekali tidak membuahkan hasil. Harusnya aku tahu kenapa waktu itu Oka tidak tergoda karena kecantikan Niki, dan seharusnya aku tahu Oka tentu saja tidak sedang mempertahankanku. Karena pada akhirnya di belakang terungkap kalau Oka adalah gay. Kebetulan sekali Alan di sini. Alan adalah pacar homonya.

"Hai, Laura. Kau sendirian?" Alan berteriak dari tempatnya duduk. Setelah sadar dengan teriakannya yang menyebutku sendirian, Alan melirik pada Zach yang asyik dengan Niki dan Becca. Mungkin Alan sadar kesalahannya. "Tidak mau bergabung bersama kami?" tanya Alan lagi. Kali ini tidak berteriak karena aku sudah mendekati mereka. Aku mulai berpikir untuk tidak pergi begitu mereka melihatku, karena sepertinya Zach tidak suka melihatku di sana. Sekarang membuatnya risih adalah kesenanganku. Oh, Zach, tidak akan kubiarkan kau merasa nyaman.

"Bergabunglah, Sayang, setelah Zach kau mungkin bisa 'mencoba' Alan. Sepertinya dia sudah sadar dan merasa bersalah karena merebut Oka-mu." Itu suara Bobby. Semua tertawa kecuali Alan dan Alex. Alan menepuk kepala Bobby kesal, lalu memelototi mereka yang tertawa.

"Oh, ya, Alan baru saja mengakhiri hubungannya, kan?" Si brengsek Zach yang bersuara kali ini. "Kau bisa pilih mantan pacarmu Oka atau Alan, Laura, karena yang kudengar Oka juga sudah sadar dari kesalahannya." Sumpah, aku ingin memasukkan semua benda yang ada di atas meja untuk menyumpal mulut Zach.

Alan bangkit dan menarikku dari tempat itu. Aku terpaksa mengikut karena tubuhnya yang besar hampir mengangkat tubuhku yang kecil. "Zach, kau akan menyesali ini!" teriakku dari balik tubuh Alan yang menjulang. Orang-orang di kafe menatapku dan kumpulan Bobby bergantian dengan tatapan sebal. Namun Zach dan yang lain masih menertawakan Alan dan aku tanpa mempedulikan orang-orang di kafe yang memaki.

Aku dan Alan berdiri di dekat pintu masuk kafe. Alan tidak mengatakan apa-apa. Beberapa kali Alan melihat ke arah Bobby dan yang lain, sementara aku berusaha menjauh dari Alan dan menarik kedua tanganku dengan kasar dari genggamannya.

Lihat selengkapnya