"Tolong jangan tambah list orang-orang yang membuatku sebal malam ini, Alex, aku tidak akan pulang denganmu."
"Takdirnya tidak akan berubah, Laura," tambahnya lagi. Beberapa detik hening. Pandanganku sekarang tertuju sepenuhnya pada Alex. Laki-laki itu sedang mengamati kerikil di bawah kakinya. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar mengamati kerikil itu atau sedang mengunjungi alam lamunan. Alex memperbaiki rambutnya yang gondrong beberapa kali. Entah Alex tahu aku sedang memandangi atau tidak, aku tidak peduli, karena saat ini aku sedang mendengar celotehan Lilly di kepalaku tentang fakta-fakta Alex.
Lilly sudah menyukai Alex sejak tahun pertama masuk sekolah. Lilly sering sekelas dengan Alex. Di tahun pertama hampir di setiap kelas. Namun karena Lilly mendadak menjadi gadis pemalu ketika berhadapan dengan segala hal tentang Alex, dia tidak pernah berani mengobrol atau bahkan menyapa kalau bukan Alex yang memulai terlebih dahulu. Bahkan Lilly sering menjauh dari Alex karena gugup atau sekedar malu karena penampilannya sedang tidak baik-baik saja.
Di tahun ini Lilly dan Alex hanya sekelas di kelas Bahasa, Kalkulus dan Biologi, dan itu membuat Lilly semakin menjengkelkan karena aku harus melaporkan tindak-tanduk Alex di kelas Fisika dan Olahraga—aku dan Alex sekelas di mata pelajaran Fisika dan Olahraga—. Sama seperti Lilly, aku tidak banyak mengobrol dengan Alex di kelas.
Semua yang Lilly tahu tentang Alex sudah pasti aku tahu juga, karena bahkan perkara makanan kesukaan, wangi parfum, serta berapa botol minuman yang Alex habiskan di lapangan basket selalu diberitahu Lilly padaku setiap kali ada kesempatan untuk mengobrol. Kelas Konseling yang diisi oleh Mrs. Rein bahkan kami habiskan untuk mengobrol soal Alex laki-laki pujaannya itu.
"Lilly sudah mengizinkanku untuk mengantarmu pulang." Alex berusaha menunjukkan isi layar ponselnya padaku. Serta merta aku menarik ponsel Alex dan melihat isi pesan itu. Tega sekali Lilly melakukan ini padaku. Satu hal yang menjadi pertanyaan mendasar di kepalaku, sejak kapan mereka berdua sampai sedekat itu dan sampai bertukar nomor ponsel? Apa ada yang kulewatkan selama ini?
Buru-buru kubuka ponselku dan berniat menghubungi Lilly, tapi tulisan 'no signal' masih betah hinggap di sana. Apa yang salah dengan ponselku?
Apa maksudnya ini? Kenapa Lilly... Oh Tuhan aku sungguh kesal. Wajah Alex yang menyebalkan itu malah tersenyum sekarang. Apa dia tidak tahu kalau itu semakin membuatku ingin menampar wajahnya sebagai pelampiasan kekesalanku malam ini.
Alex berdiri dari duduknya. Matanya belum lepas melihatku. Angin di sekeliling mendadak berembus lagi dan bulu kudukku ikut mengulah. Apa yang akan terjadi? Apa yang akan diucapkan oleh laki-laki di hadapanku ini?
"Benar, kan? Kau memang ditakdirkan pulang bersamaku." Katakan padaku kalau kalimatnya itu memang sedikit aneh. Katakan padaku kalau mata dan senyumnya itu punya maksud berbeda. Katakan kalau di sini memang akan terjadi sesuatu yang tidak beres.
"Terserah apa katamu, yang jelas aku tidak akan menyukaimu hanya karena ini." Alex tertawa dan segera membuatku khawatir apakah perkataanku terlalu lucu sampai membuatnya tertawa seperti itu.
"Aku tidak bermaksud membuatmu menyukaiku. Apa semua perempuan sepertimu, Laura?" Alex masih dengan tawanya dan itu membuatku semakin jengkel.
"Ada apa memangnya?"
"Menganggap kebaikan laki-laki selalu punya makna," gumamnya. "Padahal banyak di antara kami mungkin hanya ingin menolong. Apa salahnya berbuat baik?"
Untuk pertama kalinya aku ingin membenturkan kepalaku ke tembok karena malu. Aku adalah manusia memalukan, tapi tidak pernah rasanya sememalukan ini. Aku memilih untuk tidak menggubris Alex dan berjalan mendahuluinya. Seharusnya aku berjalan di belakang Alex karena aku tidak tahu kendaraannya diparkir di mana. Aku berhenti dan menoleh Alex di belakang. Alex ikut berhenti.
"Di mana kendaraanmu?"
"Aku tidak..." Jangan bilang tidak membawa kendaraan, "membawa kendaraan."
"Apa? Jadi kenapa bersedia mengantarku pulang?"
Alex berjalan di depan dan menuntunku ke halte yang tidak begitu jauh dari persimpangan. Kenapa tidak kepikiran untuk naik bus saja tadi? Ah, kupikir bus ke rumah Lilly sudah tidak ada.
Saat ini aku mulai berpikir kalau Alex benar-benar ingin berbuat jahat. Bagaimana kalau aku akan diperkosa di jalanan sepi ini? Bagaimana kalau Alex berencana merampokku? Dan bagian terburuknya, Alex barangkali ingin menculikku dan membawaku ke rumah remang-remang milik bibinya. Oh benar, yang terakhir sepertinya masuk akal. Sejauh yang kutahu, Alex sudah tinggal di rumah bibinya yang punya rumah pelacur sejak tahun pertama masuk sekolah. Ayah dan ibunya bercerai, dan kalau tidak salah ayah Alex meninggal semenjak bercerai.
Versi lain yang pernah kudengar, Alex dibuang oleh keluarganya dan dengan senang hati bibi pelacurnya itu menampung Alex untuk dijadikan 'mesin pencari uang'. Alex sudah bekerja banting tulang bahkan sebelum berpisah dari kedua orangtuanya. Siang hari sepulang sekolah Alex bekerja di toko roti dekat sekolah dan malamnya bekerja di bengkel.
Aku bingung kenapa Bobby dan teman-temannya yang kaya itu mau merekrut Alex sebagai anggota mereka. Karena selain miskin, latar belakang keluarga Alex cukup kelam. Dan setahuku Bobby selalu selektif mencari teman. Aku cukup mengenal Bobby, karena di tahun pertama laki-laki bajingan itu sempat menggodaku, dan menjadi awal perkenalanku dengan Lilly. Waktu itu aku dan Lilly berpikir kalau kami senasib dan sangat membenci Bobby.
Kalau versi Lilly berbeda lagi, dan mungkin versi kali ini lebih akurat, karena setiap kali Lilly berceloteh soal Alex dan kuperhatikan faktanya di 'lapangan', tidak banyak yang meleset. Tidak mungkin Lilly salah soal latar belakang Alex, kan? kalau kebiasaan Alex saja Lilly sudah khatam.
Menurut cerita Lilly, ayah Alex yang pengangguran membunuh kekasih gelap ibu Alex dan ibu Alex karena ketahuan bercinta di rumah mereka. Ayah Alex masuk sel tahanan dan mati bunuh diri bahkan tidak sampai sehari masuk sel. Dan kenyataannya, ayah Alex lebih dulu selingkuh, jauh sebelum ibunya. Ayahnya lah yang pertama sekali mempersilahkan orang ketiga masuk ke rumah tangga mereka.
Ah, kenapa aku repot-repot memikirkan itu? Sampai tidak sadar kalau kami sudah berada di halte.
"Alex.." Alex berbalik dan menatapku dengan tatapan aneh. Tidak bisakah dia menatapku dengan tatapan yang biasa saja. Apa aku salah karena sudah memanggil namanya?
"Ada apa, Laura?" sahutnya dengan suara parau dan datar.