Begitu sampai di halte, aku memilih untuk duduk di kursi panjang. Ada beberapa orang di halte, seorang wanita paruh baya dan sepasang suami istri bersama dua anaknya. Anak yang paling kecil berambut panjang sepertinya tengah menatapku. Aku tersenyum padanya dan dibalas dengan senyum malu-malu, lalu menggelendot manja pada ibunya. Aku jadi ingat Zee, adik perempuanku yang paling besar. Zee mirip dengannya waktu masih sekecil ini.
Zee kecil sedang tidak dalam pengawasan ibunya. Aku memanggil Zee kecil agar mendekat padaku. Ah, hanya anak ini yang bisa melihatku. "Hai, siapa namamu?"
Zee kecil malu-malu dan menggoyangkan badannya khas anak kecil, lalu mengatakan, "Kei, Namaku Kei."
"Mau bermain bersamaku?" tanyaku lembut. Kei sekali lagi tersenyum malu-malu dan memeluk ibunya dengan manja. Kei naik ke pangkuan ibunya dan mengatakan, "ibu, dia mengajakku bermain." Ibu Kei yang masih sangat muda mengikuti arah telunjuk Kei yang mengarah padaku. Ibu muda itu menoleh padaku lalu tersenyum. Ah, mereka bisa melihatku. Aku benar-benar senang luar biasa. Mungkin yang baru saja menimpaku hanyalah mimpi buruk.
"Kau akan kemana, gadis manis? Ini sudah terlalu malam." Suaranya sedikit parau. Kakak Kei yang laki-laki berjalan ke arah ibunya dan menunjukkan sebuah gambar pemandangan pedesaan yang cukup bagus untuk anak-anak seusianya. "Bagus, Sayang, tapi hijau yang ini seharusnya lebih tua, kau bisa memolesnya dengan warna hijau yang ini." Wanita muda itu menunjukkan krayon yang lebih hijau.
"Ingin ke rumah teman. Mungkin aku akan naik bus nomor 140," jawabku sambil tersenyum.
"Oh, kupikir tidak ada bus bernomor 140, mungkin maksudmu nomor 104." Walaupun aku jarang naik bus ke rumah Lilly, aku yakin minggu lalu bus nomor 140 berhenti di halte ini. Ibu muda itu segera menyadari kekalutanku lalu mengangguk saat kubilang akan menghubungi seorang teman.
Aku merogoh ponselku cepat-cepat untuk menghubungi Lilly agar menjemputku. Mungkin maksud ibu muda ini, bus 140 tidak berhenti di halte karena sudah terlalu larut malam. Sialnya baterai ponselku sudah kosong dan hanya menampilkan layar yang gelap. Akhirnya kuputuskan untuk meminjam ponsel milik ibu muda itu.
"Bolehkah aku meminjam ponselmu?"
"Oh, tentu, suamiku akan meminjamkan." Ia bergeser sedikit ke arah laki-laki yang sedang mengobrol dengan wanita paruh baya yang duduk memegangi rantai anjing buldognya. Ibu muda itu tidak segera mendapatkan ponsel tersebut. Ponsel itu perlu diperbaiki sedikit oleh suaminya karena sepertinya ada masalah.
Samar-samar aku mendengar percakapan dua orang kakak-beradik yang menggemaskan itu, Kei dan kakaknya. "Alex, gambarmu bagus, apa tidak mau menggambar wajahku?" Yang sedang berbicara berpose dengan kedua tangan di pinggang. Aku tersenyum. Kei melihatku lalu menunduk malu-malu. Alex ikut menatapku dan berbisik pada Kei. Kei menanggapi Alex dengan suara nyaring sehingga membuat Alex menutup mulut Kei. Gadis kecil itu cemberut sebentar lalu menggoda dengan menunjuk-nunjuk wajah kakaknya. Mereka lucu.
"Kakakmu bilang apa?" tanyaku pada Kei.
"Alex bilang kau mirip dengan salah satu gurunya yang cantik."
"Ah, benarkah, Alex?" Aku mendongakkan dagu Alex pelan agar menatapku.
"Sebenarnya guruku lebih cantik," ucapnya polos.
"Oke, baiklah, tidak masalah." Aku mencubit pipi Alex lembut. Dari nama dan wajah anak itu, aku langsung mengingat si cowok-menyebalkan-yang-meninggalkanku-di-bus. Alex yang cemberut dan menggemaskan ini seperti miniatur Alex si-cowok-menyebalkan-yang-meninggalkanku-di-bus. Apa ibu muda itu ada hubungan darah dengan Alex si-cowok-menyebalkan-yang-meninggalkanku-di-bus? Atau ayah Alex mungkin adalah kakak laki-laki Alex si-cowok-menyebalkan-yang-meninggalkanku-di-bus? Mungkin saja, kan? Biar kulihat wajah keduanya.
"Maaf menunggu, gadis manis. Ponsel suamiku sering bermasalah akhir-akhir ini," ucap ibu muda sambil memberikan ponselnya padaku. Kuamati wajah wanita itu beberapa detik. Mata dan bibirnya memang mirip Alex si-cowok-menyebalkan-yang-meninggalkanku-di-bus. Ya, ini menyebalkan, aku dikelilingi orang-orang yang mirip Alex si-cowok-menyebalkan-yang-meninggalkanku-di-bus.
"Tidak apa-apa, seharusnya aku berterima kasih karena sudah diberikan bantuan. Aku akan menghubungi teman." Aku menjauh sedikit dari ibu muda itu.
Ponsel yang kugenggam sudah cukup tua dan ketinggalan zaman untuk era digital seperti sekarang. Aku menghidupkan salah satu tombolnya dan menampakkan layar. Ada yang menyita perhatianku. Tahun yang tertera di layar utama, 20 Oktober 1998. Awalnya karena kupikir setelah ponsel tua itu diperbaiki atau direstart akan mengubah tanggal dan tahun secara otomatis, jadi kuabaikan saja. Aku menyalin nomor Lilly dari ingatanku ke ponsel tua itu, lalu menghubungi nomornya. Tidak ada suara seperti ponsel kebanyakan ketika sedang menelepon. Tidak ada suara sambungan seperti biasa ketika sedang menuggu panggilan diangkat. Tapi bersyukur, aku dan Lilly sudah terhubung.
"Lilly, kau harus menjemputku sekarang."
"Kau di mana? Aku sudah menunggu di halte. Aku sudah mencarimu kemana-mana. Jangan bilang kau masih di kantin?!" Lilly terdengar sedang kesal. Dan aku belum mengerti apa yang sedang gadis itu katakan.
"Tolong jangan bercanda, Lilly. Aku mohon jemput aku!"
"Aku tidak membawa kendaraan. Kalau kau masih di kantin biar aku menunggumu di halte saja. Gerbang terlalu ramai, Sayang, aku tidak ingin berdesak-desakan. Lagipula kakiku sakit, karena Mona sialan menendang betisku di koridor." Suara Lilly semakin kesal namun aku tidak peduli dengan apapun yang membuat anak itu kesal. "Mona sudah tahu kalau aku yang mengirim surat itu kepada Alex," bisiknya pelan.
Tuhan! Beritahu gadis gila ini kalau aku sedang tidak ingin mendengar keluh kesahnya yang tidak pernah selain Alex.