Ruang Lain

tukang sedih
Chapter #5

5. Pagi Hari di Halte

Aku merasakan pundakku diguncang pelan beberapa kali, lalu ada yang berbisik dengan suara lembut. Aku yakin itu bukan suara Kei atau ibunya. Tapi aku kenal suara itu dan akhir-akhir ini sering terdengar. "Kita sudah sampai, Laura. Bangun!" Ah, itu suara Alex. Si Alex sialan.

Butuh beberapa detik agar aku sadar kalau kami masih berada di dalam bus. Ada Alex, dan kami masih di dalam bus. Itu artinya, aku hanya bermimpi. Kejadian yang berulang di TKP, keluarga Kei, menghubungi Lilly dari waktu yang berbeda, semua hanya mimpi. Aku senang luar biasa dan memeluk Alex seerat yang kubisa. Alex hanya terpaku dan aku yakin kalau laki-laki itu sama sekali tidak berniat untuk membalas pelukanku. Persetan dengan Alex dan wajah belagak coolnya itu, yang penting aku sudah selesai dengan mimpi buruk sialan. Aku ingin segera sampai di rumah Lilly.

Aku mendahului Alex turun dari bus. Supir yang ada di mimpiku sepertinya tidak berbeda dengan kakek tua yang sudah bungkuk di depan itu.

"Kenapa melakukan itu?"

"Terimakasih." Aku tidak tahu kenapa sampai berterimakasih padanya, yang jelas Alex cukup membantu. Aku menarik jemarinya dan meletakkan pada keningku yang dingin lalu berkali-kali menciumnya. Aku ingin memeluknya sekali lagi. Namun ia menghindar.

"Ini belum berakhir, Laura." Apa suaranya selalu sedatar itu? Selalu mengerikan? Aku seperti berbincang dengan seonggok mayat hidup. Namun 'kau akan mengunjungi mereka lagi' yang keluar dari mulutnya itu sangat menyita perhatianku. Apa si brengsek ini tahu kalau aku bermimpi? Apa aku berteriak-teriak saat tidur?

"Alex? Apa maksudnya itu? Apa kau mengetahui sesuatu?" tanyaku dengan nada suara sangat menginterogasi.

Dari ekspresinya aku tahu Alex ingin mengatakan sesuatu, namun tertahan. "Tidak."

Kini aku berusaha mengacuhkan Alex dan wajah membingungkannya itu. Alex masih berdiri mematung di hadapanku. Mulutnya beberapa kali ingin mengucapkan sesuatu, tapi masih belum juga laki-laki itu bersuara. Bodohnya aku malah menunggu selang beberapa puluh detik. Alex berjalan ke arah bangku panjang halte dan bersandar di dinding halte. Dia tidak mengenterupsiku untuk duduk bersamanya. Ah, lagipula aku harus ke rumah Lilly, hanya lima rumah setelah belok kanan dari persimpangan yang tak jauh dari tempatku berdiri.

Masalahnya adalah, aku segan luar biasa dengan orangtua Lilly. Mereka akan mengira kalau aku bukan gadis baik-baik karena pulang terlalu larut. Tapi...

"Hei, sebentar lagi pagi. Lebih baik kau tidur bersamaku di halte ini."

'Tidur bersamaku di halte ini' sepertinya bukan ide buruk. Alex sejauh ini tidak melakukan kejahatan padaku. Lagipula besok pagi aku bisa bolos sekolah karena Mrs. Lisa sedang sakit dan Mr. Aland sangat sibuk dengan tim basketnya di lapangan.

Masalah untuk besok pagi selesai. Masalah selanjutnya adalah, di sini terlalu terbuka. Bukan karena aku tidak terbiasa dengan udara dingin dan tidak terbiasa tidur di tempat tak empuk seperti kursi panjang bodoh ini, tapi sungguh, gaun yang kukenakan terlalu tipis dan badanku gatal karena gaun ini bersentuhan terlalu lama dengan kulitku. Dan sialnya lagi, mataku sangat segar karena sudah tertidur di bus. Kalau aku sudah mengantuk dan segera tidur, mungkin bisa mengabaikan udara dingin dan gaun hasil curian Eru yang sangat tidak nyaman di kulit. Alex kini sudah sangat nyaman di posisinya, dengan jaket dan celana panjang, lengkap dengan sepatu, sementara aku susah payah dengan posisi serba salah.

"Kenapa kau mau mengantarku pulang? yaaa aku ingin jawaban lain selain Lilly yang meminta." Sekarang aku tidak akan membiarkan si Alex ini tidur dengan nyaman. Aku tidak mau menyaksikan semua kengerian tempat ini sendiri. Angin bertiup dan suara dedaun yang terbang cukup berisik di telinga. Suara jangkrik dan katak bersahut-sahutan beberapa kali. Sekarang aku bertanya-tanya apa selama ini mereka tidak salah menyebut tempat ini sebagai kota, karena Serdam bahkan pernah lebih ramai dari ini saat malam.

"Aku kasihan padamu," jawabnya singkat dan masih dengan nada menyebalkannya yang datar.

"Itu bukan jawaban dari orang sepertimu." Aku menatap Alex. Lebih tepatnya melotot. Aku lupa kalau laki-laki yang satu ini tidak seperti laki-laki kebanyakan yang apabila ditatap seperti itu akan menunduk atau paling keren memandang objek lain selain wanita yang menatapnya. Tapi Alex menatapku balik.

"Aku kasihan padamu."

Aku kini memandang yang lain. Lampu oranye di atas kepala Alex. setidaknya lampu itu menyelamatkanku dari tatapan Alex yang tidak bisa kutatap lama-lama.

"Hanya itu?"

Lihat selengkapnya