Mrs. Lisa menatapku dari jendela depannya tanpa mengatakan apapun. Aku tahu sedikit lagi dia akan mengomel, karena dari penampilanku dia tahu aku tidak akan masuk sekolah hari ini. Mrs. Lisa mengenakan syal dan baju tebal, menandakan kalau ia memang masih sakit dan tidak bisa mengajar hari ini.
"Darimana saja, Laura? Zee menghubungiku pagi ini," tanyanya sambil meneguk sesuatu yang mengisi cangkir putihnya itu. Aku sudah beritahu adik-adikku, menghubungi Mrs. Lisa adalah pilihan terakhir kalau aku sedang tidak ada di rumah.
"Semalam aku hanya izin pada Billy. Dan aku dari rumah Lilly," jawabku sekenanya. Aku tahu itu bukan akhir dari pertanyaan-pertanyaan yang mengisi otaknya. Mrs. Lisa memanggilku dengan mengayunkan jemari tangannya yang mengisyaratkan 'kemari!' itu. Mrs. Lisa tidak ada bedanya dengan guru Kalkulus pada umumnya. Galak. Hanya saja guru yang satu ini memang sangat suka mencampuri urusanku. Lilly bilang Mrs. Lisa hanya melakukan hal-hal tersebut padaku, tidak untuk siswa lain. 'Dia peduli padamu, Laura,' begitu kata Lilly setiap kali aku mengeluh soal Mrs. Lisa.
"Tentu aku tidak akan bertanya kalau kau memang seperti pulang dari rumah Lilly," sindirnya. Ya, gaun ini sudah menjadi jawaban kalau aku tidak pulang dari rumah Lilly.
"Boleh aku pergi sekarang?" tanyaku pelan.
"Ya, silahkan!" sambil meneguk minumannya, Mrs. Lisa duduk di kusen jendelanya yang lebar, lalu melihat ke arah Alexku sekilas. "Kau bisa menginap di rumahku kalau urusanmu selesai terlalu larut malam," tambahnya lagi.
"Baiklah."
"Oh, ya, Laura!" pekiknya lagi. Aku sudah menaiki pesawat capungku. Mrs. Lisa mendongakkan tubuhnya keluar jendela sambil mengatakan, "singgahlah sebentar di rumahku, anakku baru saja pulang dari Boston. Dia penasaran dengan pesawat capung ini."
"Besok sepulang bekerja aku akan mampir, Mrs. Lisa."
"Oh, tentu, adik-adikmu pasti sudah menungu."
***
Sampai di rumah aku segera menemukan Billy tengah memasang wajah cemberut di ruang tamu. Pastilah Billy sudah mendapat hasutan dari Zee dan mengatakan yang bukan-bukan selama aku pergi. Karena di antara mereka semua, yang paling tidak suka aku bersekolah dan keluar masuk Serdam adalah Zee. Beruntung Zee, Jessie dan Bastian belum pulang, kalau tidak, maka mereka akan menyerangku dengan wajah-wajah menyebalkan yang membuatku semakin lelah setiap kali pulang sekolah atau bekerja. Oh, apa Eru tidak ke rumah pagi ini? Seharusnya dia akan mampir untuk sarapan karena akhir-akhir ini orang tuanya tidak berada di rumah dan pelayan mereka sedang tidak bekerja, sementara Eru tidak suka masakan Shanaz. Apa Zee tidak memasak makanan?
"Eru buru-buru pergi sekolah, dia hanya mampir untuk pamit," jawab Billy ketika kutanya apakah Eru datang pagi ini.
"Zee masak apa pagi ini?" tanyaku lagi.
"Zee tidak memasak," jawab Billy.
Apa-apaan itu? Apa mereka tidak bisa memasak setidaknya telur untuk perut mereka sendiri?
"Jangan marah dulu, aku sarapan di sekolah pagi ini, Jessie dan Bastian juga."
Sekitar satu jam kemudian, Jessie dan Bastian pulang sekolah. Sesuai dugaanku, wajah mereka merengut ketika tahu aku sudah berada di rumah. Aku berusaha mengacuhkan atmosfer kekesalan Bastian dan Jessie. Sekarang mereka duduk di depan tv untuk mengacuhkan keberadaanku. Kulihat Billy bergabung dengan Jessie dan Bastian begitu keluar dari kamarnya. Kalau saat ini aku meminta maaf dan berusaha membela diri tentang kepergianku malam itu, maka masalahnya akan semakin runyam. Mereka sudah dihasut oleh Zee. Jadi kuputuskan untuk mengabaikan kekesalan mereka.
Aku memasuki dapur dan memasak sesuatu yang bisa disantap sebagai penawar untuk perutku yang masih berteriak minta diisi. Dan memasak pasta kesukaan Bastian sepertinya bukan ide buruk.