Aku baru bisa bernafas lega ketika memasuki pekarangan Mrs. Lisa. Hari ini adalah hari yang sangat panjang dan melelahkan. Bosku di kafe habis-habisan mengomeliku karena terlambat masuk kerja. Beruntung tidak sampai dipecat.
Tiba-tiba ponselku berdering tanda pesan masuk. Di baris kedua chat setelah Ia menanyakan 'bagaimana?', orang itu meminta untuk bertemu. Aku yakin ini pesan dari Alex.
Aku senang bukan main karena merasa sudah sangat membantu hubungan asmara sahabatku Lilly. Bahkan tanpa melakukan usaha yang berarti, sang Pujaan datang sendiri. Namun sayang sekali aku tidak bisa menemui Alex saat ini karena sudah terlalu sore. Langit sudah hampir gelap.
'Aku tidak bisa menemuimu hari ini,' jawabku di kolom pesan. Namun belum sempat memasukkan kembali ponselku ke saku jeans, suara dering pesan masuk terdengar, itu dari Alex lagi.
'Kau tidak bisa mengabaikanku begitu saja,' dan 'kau dimana? Aku sudah menunggu di halte dekat rumah Mrs. Lisa,' tertera di sana.
Apa? Bagaimana laki-laki itu tahu aku berada di sini? Maksudku...
"Hei di sini kau rupanya!" pekik Alex sambil melihat-lihat rumah Mrs. Lisa, kemudian bertanya "jadi kau tinggal di sekitar sini?"
Kupikir Alex pasti sudah tahu kalau aku tinggal di Serdam—karena aku terkenal karena hal itu. Entah bagaimana aku berpikir kalau pertanyaan Alex itu hanya bentuk basa-basi untuk mendapatkan informasi di manakah sebenarnya tempat tinggalku. Pernah satu kali di kelas Fisika, aku dan Tere bertengkar soal tempat yang baik untuk mengerjakan tugas kelompok. Tere dan teman sekumpulannya berpikir kalau aku adalah musuh bebuyutan mereka karena banyak hal mengerikan yang kusadari sebagian besar adalah kesalahanku. Tere menyukai Zach sebelum kami berpacaran. Masalah yang satu ini tentu bukan kesalahanku sepenuhnya, bukan?
Selain itu, sebelum Tere bergabung dengan kumpulannya yang sekarang, aku dan Lilly setahun lalu sering mengolok-olok Tere karena suatu hal dari bentuk tubuhnya yang aneh. Setelah aku dan Lilly banyak berpisah di tahun kedua, keadaan berbalik. Tere bersama orang-orang yang pernah kusakiti hatinya bergabung untuk memusuhiku. Tere dan teman-temannya yang kaya itu bertaruh kalau aku adalah anak yang bukan dari keluarga kaya. Tere waktu itu mencetuskan untuk mengerjakan tugas kelompok di rumahku. Jelas saja aku menolak dan tidak menjelaskan apa yang menjadi penyebabnya. Alex yang tidak pernah peduli dengan tugas-tugas entah bagaimana waktu itu berpihak pada Tere dan memaksakan kehendak mereka. Jalan keluarnya, aku meminta untuk bertukar tempat dengan siswa lain.
"Eh, tidak. Aku hanya memarkir kendaraanku di sini," jawabku singkat.
Kini perhatian Alex teralihkan ke pesawat capungku. "Apa itu kendaraan yang kau maksud?" Aku mengangguk dan mengikuti Alex yang berjalan ke arah Alex.
"Ya. Namanya Alex." Kurasa itu penting karena kebetulan nama mereka sama.
"Oh, ya? Kenapa Alex? Kekasihmu bernama Alex?" godanya sambil tertawa.
"Mendiang ayahku yang memberi nama," sahutku cepat dan menatap Alex dengan tatapan kesal yang kubuat-buat.
"Ayahmu melakukannya dengan baik."
Aku hanya tertawa. Alex memang lumayan susah ditebak. Kemarin Alex begitu menyebalkan dan berpikir kalau laki-laki itu tidak punya selera humor sama sekali. Satu hal yang membuatku baru menyadari tentang Alex, dan mematahkan sebuah fakta dalam daftar fakta Alex yang sering aku dan Lilly bicarakan. Warna mata laki-laki itu tidak benar-benar berwarna biru muda, itu seperti abu-abu dengan manik yang indah. Kukira mata seperti itu hanya akan kutemukan di film-film anime. Dan satu lagi, yang mungkin diam-diam akan kutambah dalam daftar fakta Alex. Wajahnya mirip aktor Sam Claflin ketika tersenyum. Ah, aku sampai mengingat film Me Before You yang kutonton bersama Lilly. Kalau Lilly benar-benar memperhatikan Alex, seharusnya ia sadar soal senyum Alex yang seperti Sam Claflin.
"Boleh aku mencoba Alex-mu, Laura?"
"Aku hanya memakainya ketika harus memasuki Serdam. Ya, hanya kugunakan untuk melewati perbatasan," jawabku singkat dan duduk di roda Alex.
"Kalau begitu ajak aku ke desamu." Kupikir Alex akan langsung ke pokok permasalahan, soal bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Lilly. Namun sedari tadi aku tidak menemukan arah perbincangan menuju ke sana. Dan soal mengajaknya ke desa, bahkan Lilly saja tidak pernah kuperbolehkan untuk ikut.
"Semua orang di kota pasti sudah tahu kalau itu sama saja dengan bunuh diri." Aku memberi tekanan di akhir.
"Memangnya mereka akan tahu kalau kau membawaku di dalam pesawat?"
"Memang tidak tahu. Tapi kalau sampai tahu bagaimana? Bukan kau saja yang mati, aku juga."
"Aku sedang ingin mengajakmu bertualang." Apa artinya itu? Aku benar-benar tidak paham.
"Bertualang? Desaku bukan tempat bertualang."
"Ayolah, Laura, sekali saja!"Aku tidak tahu laki-laki ini bisa semenggemaskan itu ketika memohon. Hari ini ia penuh ekspresi.