Ruang Lain

tukang sedih
Chapter #8

8. Mimpi Lainnya

"Kamarmu bagus," ucap si sialan ini pelan. Aku memilih untuk tidak mempedulikan. Laki-laki itu kemudian hanya diam.

"Kau punya ilmu sihir, Alex?"

"Aku tidak mengerti," ujar Alex datar.

"Kenapa aku sampai mau membawamu kemari?"

"Kau baru menyadari setelah pacarmu yang tidak menarik itu bertanya?" tanyanya tanpa rasa bersalah. Kalau mengusirnya dari rumahku bukan masalah besar, maka saat ini aku pasti akan melakukannya.

"Eru bukan pacarku."

"Tidak peduli siapa dia, yang jelas kau terlalu takut kepadanya. Kau takut mengecewakannya."

Aku memilih untuk diam saja, merapikan sofa panjang di dalam kamarku. "Kau tidur di sini."

"Aku sudah nyaman." Alex menarik gulingku lalu menutupi wajahnya dengan itu. Sejak memasuki kamarku, Alex sudah merebahkan tubuhnya di kasurku dan membuatnya kotor karena bekas sepatu.

Aku sudah sangat lelah hari ini, jadi kuputuskan untuk menuruti permintaannya saja. Besok aku harus membawanya pergi pagi-pagi sekali sebelum adik-adikku bangun. Sebelum tidur, aku memperbaiki pintu yang tersembunyi di belakang lemariku. Pintu itu menghubungkan kamarku dengan gudang belakang rumah. Setahun sebelum meninggal, ayahku memberitahu kegunaan pintu itu, adalah sebagai jalan keluar ketika sesuatu yang buruk terjadi kepada kami.

"Tampaknya kau sering menggunakan pintu serbaguna itu, Laura. Alas lemarimu sudah rusak karena terlalu sering digeser." Kupikir Alex sudah tidur sejak ia menutup wajahnya dengan gulingku.

"Setahun lalu hampir setiap malam aku menggunakannya."

"Apa yang kau lakukan malam hari di luar rumah?" tanyanya tanpa niat.

"Bekerja. Aku bekerja malam hari. Tapi sekarang sudah tidak," jawabku asal sambil mengelap bekas goresan lemari di lantai.

"Bukankah kau sudah bekerja paruh waktu?" Aku bekeja di kafe dekat sekolah, jadi banyak dari mereka yang tahu kalau aku bekerja paruh waktu. Bekerja paruh waktu sudah menjadi tren beberapa tahun belakangan, jadi itu bukanlah hal yang memalukan.

"Setahun yang lalu itu tidak cukup. Sekarang posisiku di kafe sudah lebih baik dan penghasilanku lumayan." Aku duduk di kursi panjang sambil meluruskan kakiku yang sangat pegal. "Lagipula adik-adikku membutuhkanku di malam hari. Memeriksa pekerjaan rumah mereka, menyiapkan makan malam, menemani mereka tidur. Setahun lalu hidupku benar-benar hancur, Alex. Yang kau lihat saat ini sudah jauh lebih baik." Alex hanya termangu, tidak mengatakan apapun. Ia memandang ke arahku dengan tatapan aneh yang aku tidak suka. Laki-laki itu belum berhenti menatapku, sampai suaraku terdengar kembali, "apa rencanamu besok pagi?" Suaraku pelan namun berhasil membuyarkan tatapannya itu.

"Aku akan langsung pulang." Besok adalah Selasa Rohani, tidak ada jam pelajaran di pagi hari. Setelah acara kerohanian selesai, itu pukul 10.00, barulah jam pelajaran dimulai. Terhitung hanya sembilan kali aku mengikuti kegiatan rohani di sekolah, itupun hanya di tahun pertama. Di tahun ini belum pernah, atau besar kemungkinan tidak akan pernah. Aku benci suasana membosankan seperti di acara Selasa Rohani, dimana orang-orang di depan memberikan pencerahan yang sebenarnya lebih mirip nyanyian merdu pengundang tidur. Alexpun sepertinya sama, bahkan aku bertaruh kalau dia bahkan tidak pernah ikut acara Selasa Rohani.

"Ya, kau tidak akan ikut acara Selasa Rohani," sambarku sambil tertawa.

"Aku membantu Frans menyiapkan konsumsi." Frans adalah penjaga sekolah yang umurnya sudah sangat tua. Jalannya hampir bungkuk dan warna rambutnya sudah putih sempurna. Aku pernah beberapa kali melihat Frans dibentak oleh siswa senior dan memukul bokong laki-laki tua itu berkali-kali ,lalu mereka tertawa. Setelahnya Frans terduduk di depan orang-orang yang menertawainya. Aku pernah melihat Alex menolong Frans dan menghajar salah satu senior itu sampai babak belur.

"Yang jelas kau tidak ikut Selasa Rohani."

"Membantu kelangsungan acara sudah termasuk ibadah."

"Kupikir kita tidak membicarakan soal ibadah," ucapku dengan nada tidak suka. Selama ini Eru selalu kalah kalau kuajak berdebat. Sebenarnya kalau Eru mau, ia bisa menang berdebat denganku. Namun sekarang aku berhadapan dengan manusia yang lebih keras kepala daripada aku. Ya, apa namanya kalau tidak keras kepala? Jelas-jelas dirinya tidak pernah ikut Selasa Rohani, masih saja tidak mau mengakui 'Ya, aku memang tidak pernah ikut Selasa Rohani' tanpa menyebut-nyebut soal membantu bidang konsumsi. Semua jelas bisa selesai dengan mudah.

"Kau ikut Selasa Rohani untuk beribadah, Laura. Tidak untuk yang lain."

"Tidak semua orang berpikir seperti itu. Tidak sedikit dari mereka yang datang untuk menyetor wajah dan agar dianggap baik"

"Oh, maaf, itu di luar pemikiranku." Alex mengangkat telapak tangannya dan tertawa. Tawa yang sangat menyebalkan. Alex menelungkupkan tubuhnya untuk tidur. Aku hanya bisa memutar bola mata kesal sebelum melihat jam dinding di kamarku. Sudah pukul sepuluh lewat dan aku belum mengantuk. Entah bagaimana, aku masih ingin mengobrol dengan Alex. Hingga aku mendapatkan satu topik dari kepalaku yang mudah-mudahan akan menjadi obrolan panjang. Lagipula aku terbiasa bangun pagi. Sayang sekali rasanya melewatkan malam seperti ini, punya teman mengobrol sebelum tidur. Aku dan ayah sering melakukan hal seperti ini dulu. Bahkan ketika ayah pulang larut malam dan terlalu lelah bekerja, ayah akan menyempatkan diri untuk mengobrol sampai aku tertidur. "Soal Lilly, aku sudah cerita padanya."

Lihat selengkapnya