Masih pukul delapan lebih sedikit ketika aku sampai di halte. Ada beberapa orang di halte. Di antaranya adalah anak sekolah dan seorang nenek yang sedang duduk dan mengobrol dengan Alex. Begitu Alex melihatku datang, nenek itu menoleh ke arahku yang sepertinya memang diperintah oleh Alex. Setelahnya wanita tua itu tersenyum padaku dan melanjutkan percakapannya dengan Alex .
Sejauh yang kutangkap, nenek itu tengah menceritakan kisahnya ketika masih sangat muda. Zaman di mana semua serba susah, tidak ada kendaraan, tidak ada telepon seluler, tidak ada jaringan internet yang kini sudah meracuni pikiran cucu-cucunya yang masih kecil, tidak ada orang-orang yang sibuk berinteraksi dengan manusia lainnya di tempat jauh sementara manusia yang berada di dekatnya merasa terabaikan.
Ia mengobrol tentang saat-saat semua masih berjalan baik-baik saja—baik-baik saja versi sang nenek. Aku hanya ikut mendengarkan, apalagi saat sang nenek sudah menghadap ke arahku beberapa kali dan ke arah Alex secara bergantian. Aku mengangguk-angguk seraya menyetujui setiap pendapat sang nenek yang kebanyakan mengutuk teknologi zaman sekarang. Tidak seperti Alex yang sesekali menyanggah apa yang sudah sang nenek lontarkan.
"Sayang sekali kalian tidak hidup di zamanku dulu." Entah sudah yang keberapakalinya wanita tua itu mengulang kalimat yang sama. Ia mengatakan bahwa hubungan asmara di zamannya itu jauh lebih menyenangkan dibandingkan sekarang. Lebih mendebarkan. Lebih asyik. Lebih sederhana namun manis. Aku tidak tahu kenapa sang nenek juga membagikan kisah cintanya di sini, dengan keadaan seperti ini, di halte. Aku hanya menikmatinya, Alex juga sepertinya begitu.
"Kalau di zaman sekarang, belum juga sebulan berlalu, tidak laki-laki, tidak perempuan sudah menemukan kekasih baru setelah berpisah dengan kekasihnya yang lama. Mungkin karena zaman sudah menuntut seperti itu, ya?" tanya nenek sambil melirikku dan Alex bergantian. Aku hanya mengangguk-angguk setuju. Namun Alex menyanggah hal tersebut, ia mengatakan itu adalah suatu kemajuan yang patut diacungi jempol. Alex berpendapat bahwa ada baiknya kita bangkit dari keadaan terpuruk itu, lalu mencari yang lebih baik dan melupakan yang sudah berlalu. Ya. Aku setuju sekali. Seperti yang sedang kualami akhir-akhir ini, Zach mencampakkanku, dan solusi terbaiknya aku harus segera bangkit dari keterpurukan itu, bukan meratapi apalagi mempertahankannya. Kenyataannya, aku hanya mengangguk-angguk ketika sang nenek mengungkapkan opininya dengan semangat yang menggebu-gebu.
"Cinta bukan soal kemajuan, tidak akan pernah ada sangkut pautnya dengan kemajuan. Kalau kau cinta, maka harus kau perjuangkan!" tandasnya lagi tak kalah menggebu-gebu. "Ah, tahu apa anak zaman sekarang soal perjuangan," tambahnya lagi. Alex sampai melirikku dan tersenyum karena semangat sang nenek
"Bagaimana kalau kau tahu kalau yang sedang kau perjuangkan bukanlah takdirmu?" Alex yang bertanya.
"Tidak ada yang tahu soal takdir. Tuhan tidak berikan kemampuan itu kepada manusia agar mereka berjuang." Sang nenek menatap Alex lekat-lekat. Alex akhirnya terdiam dan hanya menatap sepatunya sampai sang nenek beralih menatapku.
Hingga akhirnya perbincangan itu terhenti, sebuah mobil berhenti di depan halte dan membuat sang nenek menoleh. Aku tidak menyangka kalau wanita tua itu dijemput oleh anak dan cucu-cucunya dengan sebuah mobil mewah yang jujur saja baru pertama kali kulihat di kota ini. Anaknya yang menyetir, menjemput sang ibu dengan wajah paling bersahabat yang pernah kulihat. Pria itu mengatakan pada si nenek, "Hana dan Matt mencarimu, kenapa pergi tanpa memberitahuku?" tanyanya lembut sambil tersenyum kepadaku dan Alex.
"Mereka terlalu asyik dengan benda yang kau beli minggu lalu. Aku sampai tidak dipedulikan lagi." Asusmsiku benda yang dimaskud oleh sang nenek adalah ponsel pintar. Pria itu menggoda ibunya dengan ikut-ikutan cemberut. Aku selalu memimpikan suatu hari, dimana aku diberi kesempatan untuk mengurus ayah dan ibuku seperti yang dilakukan oleh pria itu. Memberikan kasih sayang dan kebahagiaan kepada mereka walau tidak akan pernah sesempurna yang pernah mereka berikan kepadaku. Kenyataannya, aku tidak diberi kesempatan.
"Hana dan Matt sangat menyesal. Mereka tidak akan mengabaikanmu lagi. Ayo, kita pulang, Bu!"
Sang nenek menatap kami berdua dengan wajah yang tak bisa kutebak ekspresi macam apa itu. Namun akhirnya ia tersenyum dan mengatakan, "semoga kalian seberuntung aku dalam hal percintaan." lalu berbalik dan menurut kepada tuntunan anaknya. Apa dia pikir aku dan Alex adalah sepasang kekasih sampai mengucapkan sesuatu mengenai kebruntungan soal percintaan?
Mobil mewah itu segera menghilang di ujung jalan. Kami hanya terdiam sebelum akhirnya suara Alex tiba-tiba terdengar. "Silahkan catat!" Alex memberikan buku catatannya.
"Aku tidak tahu kalau kau adalah siswa rajin," gumamku sambil mengecek buku catatan yang diberikan Alex.
"Itu milik Alan. Aku meminjamnya beberapa hari yang lewat." Aku hanya mengangguk dan langsung mengutuk diri karena terlalu terburu-buru mengatakan kalau Alex rajin. Tentu saja itu bukanlah dirinya. Aku kini sibuk dengan catatanku, di bawah pencahayaan lampu halte yang remang-remang.
Halte kini lebih ramai dari yang tadi. Di antara mereka berbisik-bisik dan menatap ke arahku dan Alex. Aku tentu tahu masalah mereka. Alex pun mungkin sangat tahu, kami memenuhi hampir setengah kursi panjang halte, sementara mereka berdiri sambil menunggu bus. Alex mengentrupsiku untuk tidak mempedulikan mereka dan fokus kepada tugas.
Alih-alih mencatat, aku teringat soal Frans. Gara-gara nenek itu, aku sampai lupa tujuan utamaku mendatangi Alex malam-malam begini. Sambil menulis aku membuka percakapan. "Apa kau di rumah sakit saat aku menghubungi tadi siang?"
"Ya. Setelah berpisah denganmu dari pembuangan sampah, perasaanku tidak enak."
"Lalu kau pulang..."
"Lalu aku pulang dan melihat Frans tidak sadarkan diri. Aku membawanya ke rumah sakit." Masih sangat jelas ada sembab di mata Alex. Namun aku tidak bisa menambah kesedihannya dengan menatapnya dengan tatapan iba seperti ini. Sungguh, Alex benar-benar tampak kacau. "Ah, lanjutkan saja mencatat!" Aku hanya menurut dan kembali menekuni tugas-tugas ini. Sejauh ini aku sama sekali tidak paham dengan apa yang sudah kusalin dari buku tugas Alan. Pikiranku sudah terfokus kepada Alex.
Satu-persatu orang-orang yang menunggu bus di halte pergi. Saat ini hanya meninggalkan sepasang kekasih yang kupikir masih jauh lebih muda daripada aku. Mereka tengah mengomentari foto salah satu teman sekelas mereka. Aku bisa tahu dari percakapan mereka yang lumayan mengganggu konsentrasiku menyalin tugas dari buku tugas Alan. Aku memang sangat payah dalam hal berkonsentrasi, bahkan dalam urusan mencatat seperti ini saja aku bisa sangat terganggu.
Jadi, untuk sekarang alasanku untuk berhenti mencatat sudah bisa diterima. Kuputuskan untuk menyudahinya saja dan berusaha menghibur Alex yang melamun dan menatap aspal di depan. "Kau bisa tumpahkan kesedihanmu sekarang, Alex." Sepertinya aku mengagetkan Alex.
"Tidak ada yang perlu diratapi, Laura. Frans tentu sudah senang di sana."
"Ketika aku berada di posisimu tiga tahun lalu, saat ayahku meninggal, adikku yang mengatakan itu padaku. Adikku yang paling kecil, saat itu masih berumur empat tahun."
"Setiap orang punya cara sendiri untuk berdamai dengan keadaan. Mungkin kau memilih untuk menangis."
"Tetapi aku berharap, aku yang mengatakan itu kepada adik-adikku."
"Aku ingin bertemu dengan adik-adikmu." Begitu mengatakan usul gila itu, rasanya aku ingin sekali menarik biji matanya. Ketika dipandang tidak suka seperti sekarang, ia malah tertawa dan mengatakan bahwa usulnya itu sangat bagus. "Ya, aku harus bertemu dengan adik-adikmu terutama yang bernama Billy itu."
"Sudah kubilang, tidak ada yang kedua kali, Alex!"
"Mungkin tidak sekarang, tetapi nanti."
"Tidak sekarang ataupun nanti!"